Scroll to Top
Menakar Progresifitas Pembangunan di Sumba: Perbandingan di antara 4 Kabupaten di Sumba (Bagian 2)
Posted by maxfm on 12th Februari 2020
| 3444 views
Stepanus Makambombu, Direktur Stimulant Institute Sumba [Foto: Heinrich Dengi]

MaxFM, waingapu

Progresifitas Pembangunan diantara 4 kabupaten

Merujuk pada pencapaian IPM sebagai ukuran kemajuan dan kualitas pembangunan sebuah daerah, nampaknya Kabupaten Sumba Timur lebih baik dari Kabupaten Sumba Barat, SBD dan Sumba Tengah karena memiliki nilai IPM yang lebih tinggi saat ini.

Namun jika melihat tingkat pertumbuhan IPM selama lima tahun terakhir, maka Sumba Timur adalah yang terendah, sehingga dalam beberapa tahun kedepannya IPM Sumba Timur akan bisa dilampaui oleh ketiga kabupaten lainnya. Mengambil contoh pencapaian IPM selama 5 tahun terakhir ini, dimana Sumba Timur hanya mampu menaikkan lebih kurang satu satuan nilai IPM, bandingkan dengan 3 kabupaten lainnya justru mampu menaikkan IPM lebih cepat setiap 2 tahun lebih kurang satu satuan nilai IPM. Andaikan saja pertumbuhan IPM saat ini konstan dalam 10 tahun ke depan maka IPM Sumba Timur akan berada di belakang 3 kabupaten lainnya.



Rendahnya pertumbuhan IPM Sumba Timur selama kurun 5 tahun terakhir menjadi pertanyaan? Apa kelebihan 3 kabupaten lainnya sehingga memiliki pertumbuhan IPM yang jauh lebih tinggi dari Sumba Timur?

Secara finansial, ekonomi dan sumber daya pengelola Sumba Timur berada di atas tiga kabupaten lainnya. Nilai APBD yang di kelola saat ini jauh lebih besar mencapai lebih kurang Rp 1 triliun dibadingkan 3 kabupaten lainnya berada dibawahnya. Kekuatan APBD yang besar berbanding lurus dengan total output produk domestik regional bruto (PDRB) yang dihasilkan mencapai lebih kurang Rp 5 triliun. Belum lagi didukung dengan kekuatan jumlah Aparatur Sipil Negara (ASN) lebih besar lebih kurang 4.979 dibandingkan dengan jumlah ASN dengan 3 kabupaten lainnya jauh berada dibawahnya.

Beberapa kekuatan di atas ternyata tidak berpengaruh besar terhadap pertumbuhan output yang dihasilkan. Gap pertumbuhan PDRB selama kurun waktu 5 tahun terakhir juga tidak signifikan antara Sumba Timur dan 3 kabupaten lainnya, dimana capaian Sumba Timur sebesar 8,2 persen, berturut-turut diikuti SBD 7,9 persen Sumba Barat 7,1 persen dan terendah Sumba Tengah 6,7 persen. Kekuatan di atas juga ternyata belum mampu memberikan daya ungkit yang signifikan untuk pertumbuhan IPM yang lebih tinggi.




Sebaliknya, meskipun 3 kabupaten lainya dengan pertumbuhan PDRB yang lebih rendah justru berkontribusi signifikan terhadap pertumbuhan IPM masing-masing kabupaten. Progresifitas paling besar di antara keempat kabupaten di pulau Sumba dalam peningkatan IPM dialami kebupaten Sumba Tengah, kemudian diikuti SBD dan Sumba Barat dengan capaian pertumbuhan yang sama.

Apabila IPM di atas diuraikan berdasarkan komposit penyusunnya akan diperoleh gambaran di mana kekuatan dan kelemahan masing-masing kabupaten.

Pertama, dalam hal derajat kesehatan, yang diukur dari lamanya usia harapan hidup paling tinggi dimiliki oleh Kabupaten SBD, yaitu mencapai 68,02 tahun; kemudiaan diikuti masing-masing Sumba Tengah 67,96 tahun; Sumba Barat 66,58 tahun; dan terakhir Sumba Timur 64,45 tahun.

Jika diamati tingkat pertumbuhan UHH selama kurun waktu 5 tahun terakhir menunjukkan tingkat pertumbuhan UHH paling tinggi dialami Kabupaten Sumba Timur sebesar 0,7 persen, kemudian diikuti masing-masing Sumba SBD 0,3 persen, Sumba Barat dan Sumba Tengah dengan nilai yang sama yaitu 0,1 persen. Meskipun pertumbuhan UHH penduduk Sumba Timur merupakan yang tertinggi namun karena gap UHH antara keempat kabupaten saat ini cukup besar, maka dalam 5 tahun kedepan posisi SBD sebagai kabupaten dengan UHH tertinggi tidak akan berubah. Tingginya UHH penduduk di SBD juga karena didukung oleh angka kesakitan penduduk yang lebih rendah di antara tiga kabupaten lainnya. Pada tahun 2019 angka kesakitan penduduk mencapai 28,08 persen, sementara rata-rata angka kesakitan selama 5 tahun terakhir sebesar 22,4 persen. Pencapaian ini berada dibawah rata-rata 3 kabupaten lainnya.




Kedua, rata-rata lama sekolah penduduk di semua kabupaten di Pulau Sumba dapat disetarakan baru pada tingkat tamat sekolah dasar (SD), bahkan Kabupaten Sumba Tengah belum lulus SD karena baru mencapai usia lama sekolah 5,76 tahun. Tetapi jika dilihat rata-rata pertumbuhan lama usia sekolah memperlihatkan progresifitas peningkatan justru terjadi di Kabupaten Sumba Tengah. Pertumbuhan rata-rata lama usia sekolah selama 5 tahun terakhir ini yang mencapai 2,5 persen. Seandainya pertumbuhan ini konstan selama 5 tahun ke depan, maka lama usia sekolah penduduknya pada tahun 2025 akan mencapai 7,8 tahun. Capaian ini justru menjadi yang tertinggi di antara 3 kabupaten lainnya. Karena pada tahun yang sama capaian lama usia sekolah di Sumba Timur dan Sumba Barat Daya baru mencapai 7 tahun dan terendah Sumba Barat mencapai 6,7 tahun.

Ketiga, pengeluaran per kapita per bulan yang diamati dari kemampuan daya beli untuk memenuhi kebutuhan dasar tertinggi saat ini berhasil dicapai oleh Kabupaten SBD sebesar Rp 350.906, bahkan jika dilihat rata-rata pertumbuhan selama 5 tahun terakhir juga mencapai yang tertinggi, yaitu mencapai 12 persen per tahun; kemudian diikuti masing-masing Sumba Tengah 5,4 persen; Sumba Timur 5 persen dan terendah Sumba Barat. Jika kemampuan daya beli penduduk SBD tersebut ditransformasi pada tingkat rumah tangga, dengan asumsi jumlah anggota rumah tangga lebih kurang 6 orang dikalikan dengan Rp 350.906, maka diperoleh kemampuan daya beli setiap rumah tangga mencapai Rp 2.105.438 per bulan. Kemudian diikuti masing-masing Sumba Timur Rp 1.987.770; Sumba Barat Rp 1.958.004; dan terendah Sumba Tengah Rp. 1.402.125. Selengkapnya seperti pada tabel 1.

Progresifitas Kabupaten SBD dalam meningkatkan kemampuan daya beli ternyata diikuti dengan kemampuan menurunkan persentasi angka kemiskinan. Dibadingkan dengan tiga kabupaten lainnya, SBD adalah paling progresif dalam menurunkan persentasi kemiskinan rata-rata mencapai -1,9 persen per tahun, kemudian diikuti Sumba Barat -0,7 persen per tahun. Sementara Sumba Tengah dan Sumba Timur justru persentasi kemiskinannya mengalami peningkatan masing-masing sebesar 5 persen dan 0.1 persen per tahun. Progresifitas SBD dan Sumba Barat dalam menurunkan angka kemiskinan diikuti pula dengan kemampuan mempersempit gap kemiskinan diantara penduduk tidak lebih dari dua digit. Kesimpulannya pembangunan yang sementara berjalan pada kedua kabupaten tersebut beriringan pula dengan distribusi hasil pembangunan yang relative lebih baik. Sebaliknya, berbeda dengan Sumba Timur dan Sumba Tengah gap kesenjangan kemiskinan diantara penduduk semakin lebar, kecuali Sumba Tengah dalam hal kedalaman kemiskinan dimana pencapaiannya sama dengan Sumba Barat, tetapi untuk tingkat keparahan kemiskinan telah melampaui angka dua digit. Kesimpulannya pembangunan yang sementara berjalan pada kedua kabupaten tersebut beriringan pula dengan penciptaan gap kesenjangan yang tinggi.



Otonomi Daerah dan Dana Desa

Label kabupaten miskin nampaknya masih sulit untuk ditanggalkan dengan melihat angka-angka di atas, meskipun beberapa kabupaten menunjukkan adanya progresifitas dalam menurunkan angka kemiskinan. Tetapi jika merujuk pada gap kemiskinan antara penduduk miskin masih menunjukkan angka yang cukup tinggi berada di atas rata-rata propinsi bahkan beberapa kabupaten telah menembus angka dua digit tingkat kedalaman dan keparahan kemiskinannya. Kemiskinan dan kesenjangan bukan sekadar persoalan angka semata, melainkan menimbulkan masalah yang lebih besar. Karena berpotensi menghilangkan masa depan seseorang.

Pertanyaan yang lebih dekat dengan kita saat ini adalah apa dampak dari otonomi daerah? Setelah sekian lama berjalan, sejumlah kewenangan diberikan yang disertai dengan pendanaan yang tujuannya mendekatkan pelayanan mestinya dapat mempersempit gap kemiskinan. Belum lagi sejak keluarnya UU No.6 tahun 2014 tentang Desa, sebagai kebijakan “kembaran” dari kebijakan otonomi daerah, meskipun memiliki perbedaan paradigmatik (Jaweng, 2011). Gap kemiskinan di atas mestinya bisa dipersempit, mengingat basis pergerakan dana desa lokusnya di desa, sehingga kesempatan warga desa mengakses dan mengkapitalisasi dana tersebut lebih terbuka dan lebih bermakna bagi kehidupan mereka. Tidak hanya sampai di sini, selain dana yang sudah diperoleh daerah sebagai implikasi dari dari otonomi daerah dan otonomi desa, masih ada program perlindungan sosial dalam bentuk batuan tunai seperti PKH dan Rastra dengan jumlah penerima manfaat tidak kurang dari 45 – 50 persen rumah tangga penerima manfaat per kabupaten (BPS: Statistik Kesejahteraan, 2019). Ternyata kesempatan baru bagi daerah untuk mengelola ruang, uang dan kuasa dengan dosis yang lebih tinggi di era desentralisasi belum memberikan pengaruh yang signifikan (Tempo, 16/08/19).




Sampai sejauh ini jika dihubungkan kemampuan dana desa dalam mempersempit kesenjangan di antara penduduk miskin, maka Kabupaten Sumba Barat dan SBD memperlihatkan dampak positif dari distribusi dana desa. Kedua kabupaten ini berhasil menekan angka kesenjangan antara penduduk miskin dibawah dua digit. Sementara angka kesenjangan yang terjadi di Sumba Timur dan Sumba Tengah masih berada diatas dua digit. Nampaknya tambahan dosis kewenangan untuk mengelola ruang, uang dan kuasa melalui dana desa masih belum mampu mengatasi gap kesenjangan di antara penduduk miskin yang berada di kedua kabupaten tersebut. Belajar dari kabupaten/kota dan desa yang berhasil di era desentralisasi dan otonomi desa, nampaknya pemimpin yang inovatif pada aras kabupaten dan desa menjadi syarat mutlak yang dibutuhkan untuk mengelola ruang, uang dan kuasa agar lebih efektif, efisien dan bermakna bagai mayoritas penduduk.
(Penulis: Stepanus Makambombu, Direktur Stimulant Institute Sumba)

Show Buttons
Hide Buttons