MaxFM, Waingapu – Sekali peristiwa terjadi bahaya kelaparan yang menimpa ketujuh anak yatim piatu. Mereka tidak bisa meminta tolong kepada siapa pun karena seluruh kampung itu rata-rata lapar. Terpaksa mereka memasuki hutan belantara untuk mencari sesuatu yang bisa dimakan. Setelah jauh masuk ke dalam, hutan semakin pekat karena tidak ada sinar matahari yang masuk. “Kita sesat nanti”, kata yang sulung. “Kalau begitu kita beristirahat dulu sambil memikirkan jalan keluar”, usul anak yang nomor dua.
Mereka duduk di bawah pohon sambil memikirkan daya apa yang mereka lakukan. Setelah beberapa hari, perut mereka semakin keroncongan karena belum diisi selama ini. Yang bungsu angkat bicara. “Saya punya usul”, katanya. “Apa usulmu”, tanya yang lain. Si bungsu menjawab, “Kita naik pohon untuk melihat jauh siapa tahu ada rumah di sekitar hutan ini”.
Mereka ramai-ramai naik pohon. Benar juga. Dari jauh mereka melihat asap api mengepul dari rumah Apu Milimongga. Mereka turun dan mencari rumah Apu Milimongga. Tiba di muka rumah, mereka mmemanggil tuan rumah. “Hooo…, Apu”. “Ooo”, jawab Apu Milimongga dari dalam rumah. “Kami mencari makanan di hutan ini, namun kami tidak temukan sedikit pun. Apu bisa tolong kami? Sehari-harian kami belum makan”, kata mereka.
“Kalau begitu tinggal di rumah saya saja. Kebetrulan saya punya persediaan makanan yang cukup”, jawab Apu Milimongga. Ketujuh bersaudara saling beradu pandang penuh kecurigaan. Tapi karena sudah tidak menahan lapar mereka pun masuk. Apu Milimongga menjamu mereka sampai kenyang. Dia berbesar hati karena nanti malam dia akan melahap anak-anak malang itu.
Apu Milimongga juga mempunyai tujuh orang anak yang berusia sebaya dengan ketujuh anak yatim piatu. Mereka memiliki topi dan sepatu hitam untuk melangkah cepat. Kalau tidur biasanya mereka memakai topi dan sepatu.
Melihat gelagat Apu Milimongga ketujuh anak yatim piatu mulai curiga. Mereka menyesal karena sudah terperangkap di rumah Apu Milimongga yang terkenal pemakan daging manusia. Tambahan pula sewaktu tidur anak-anak Apu Milimongga dilarang tidur besama dengan mereka.
Merasa Apu Milimongga dan ketujuh anaknya sudah tidur, ketujuh anak yatim piatu mulai berbisik-bisik sama sendiri bagaimana mencari akal agar luput dari bahaya. Dan mereka pun mendapat akal. Dengan hati-hati mereka menanggalkan topi dan sepatu anak-anak Apu Milimongga kemudian mereka memakainya dan pura-pura tidur.
Tengah malam Apu Milimongga bangun dan melangkah ke arah anak-anak. Derap langkahnya didengar oleh ketujuh anak yatim piatu yang sedang diliputi rasa takut. Terutama Ketika Apu Milimongga meraba-raba badan mereka. Akhirnya tipu muslihat anak-anak yatim piatu berhasil mengelabui Apu Milimongga. Mereka dilewati karena semua memakai topi dan sepatu. Maka yang menjadi sasaran adalah ketujuh anak yang tidak memakai topi dan sepatu yang tidak lain adalah anaknya sendiri.
Dalam kegelapan malam Apu Milimongga melahap anak-anaknya sendiri sambil tertawa terbahak-bahak. “Ha… mboka hahamu… ha mboka hahamu manggunyaka bokunggu” *) Setelah kenyang melahap anaknya sendiri Apu Milimongga tidur pulas.
Perlahan-lahan ketujuh anak yatim piatu bangun dan bergegas pulang ke rumah mereka. Dengan melangkah hanya beberapa kali berkat sepatu ajaib mereka sudah tiba kembali. Para tetangga dan kerabat menyambut mereka dengan gembira seraya menanyakan di mana mereka selama ini. Mereka menjelaskan bahwa mereka tersesat di hutan sewaktu mencari makanan dan akhirnya terperangkap di rumah Apu Milimongga yang terkenal pemakan manusia. Dan untung mereka bisa memperdaya Apu Milimongga sehingga memakan anaknya sendiri.
Bangun pagi Apu Milimongga tidak melihat seorang anak pun. Maka sadarlah dia bahwa yang dimakan itu anak-anaknya sendiri. Dia membuntuti anak-anak itu hingga di rumah mereka. Sementara itu seluruh isi kampung sudah bersiap-siap melawan Apu Milimongga. “Di mana cucu-cucu saya?”, tanya Apu Milimongga kepada seluruh isi kampung. Yang dimaksudkan adalah ketujuh anak yatim piatu. “Tidak ada”, jawab para penghuni kampung. Merasa ditipu Apu Milimongga garang dan mengancam. Seluruh isi kampung ramai-ramai mengeroyok dia hingga tewas.***
*) Catatan: Bahasa Apu Milimongga masih terbata-bata seperti anak-anak yang baru belajar bicara. “Terlalu enak daging kamu cucu-cucuku”, itu makna kata-kata yang terbata-bata. Hal ini mengingatkan kita pada manusia purba Homo Neanderthalensis yang hidup 250.000 tahun yang lalu, atau Homo Sapiens yang hidup 40.000 tahun yang lalu, juga masih bicara terbata-bata.
Penulis : Frans W. Hebi [Narasumber tetap acara Bengkel Bahasa di Radio MaxFM Setiap hari Rabu, Penulis Buku Jejak Langkah Frans W. Hebi – Wartawan Pertama Sumba]
Tulisan ini sudah disampaikan di Sekolah di Radio MaxFM – Pelajaran Bahasa Indonesia