MaxFM, Waingapu – Pemerintah Kabupaten Sumba Timur melalui dinas-dinas teknis terus melakukan langkah-langkah percepatan penanganan terhadap penurunan angka stunting di Kabupaten Sumba Timur, dengan menjadikan pola asuh, pola makan, dan sanitasi sebagai prioritas. Hasilnya dalam kurun waktu tujuh tahun, sudah ada penurunan sebesar 26 persen.
Hal ini disampaikan Wakil Bupati Sumba Timur, Umbu Lili Pekuwali dalam jumpa pers usai kegiatan aksi konvergensi percepatan penurunan stunting dengan tema cegah stunting itu penting yang berlangsung di Gedung Nasional Umbu Tipuk Marisi, Kamis (2/7/2020). Ditegaskannya penanganan stunting memang membutuhkan kerja keras dan kerja bersama semua lembaga termasuk elemen masyarakat.
“Untuk pola asuh, melalui dinas-dinas terkait, termasuk pemerintah kecamatan dan desa, terus dilakukan sosialisasi agar masyarakat kita memiliki pemahaman yang baik,” urainya.
Selanjutnya mengenai pola makan, pemerintah melalui Dinas Pertanian maupun dinas kesehatan terus melakukan pendampingan, termasuk dengan dukungan asupan makanan melalui pemberian makanan tambahan. Sedangkan untuk sanitasi dilakukan peningkatan akses terhadap ketersediaan air bersih di masyarakat, termasuk melalui pembangunan sumur bor di tempat-tempat dengan elevasi yang tinggi.
Mengenai program langsung ke masyarakat, Umbu Lili menguraikan tahun ini Pemerintah Kabupaten Sumba Timur mengalokasikan dana untuk melakukan intervensi langsung ke 25 desa dan juga mendorong se mkua desa untuk mengalokasikan minimal 30 persen dana desa untuk penanganan masalah stunting, agar di akhir tahun 2021 mendatang angka stunting di Sumba Timur bisa berada di posisi 20 persen sebagaimana dalam target RPJMD Kabupaten Sumba Timur 2016-2021.
“Angka 25 persen anak stunting di Sumba Timur saat ini memang masih cukup tinggi. Tetapi menurunkan angka stunting 26 persen dalam kurun waktu tujuh tahun itu juga sesuatu yang patut kita apresiasi bagi dinas-dinas teknis yang sudah bekerja keras untuk itu,” tandasnya.
Kabid Sosial Pemerintahan Bappeda Provinsi NTT, Johny E. Ataupah dalam paparan materinya menegaskan Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) untuk tahun ini telah mengalokasikan dana sebesar Rp 30 Miliar untuk penanganan stunting di NTT, karena itu dana ini akan dimanfaatkan secara maksimal melalui Dians teknis terkait agar mampu menurunkan angka stunting di Provinsi NTT.
“Dananya memang ada di Dinas Kesehatan, maupun Dinas Pertanian dan lainnya. Tetapi kami di Bappeda sebagai pengendali perencanaan tetap mengambil peran pengendalian agar benar-benar fokus pada target yang ditetapkan setiap tahunnya,” urainya.
Johny menguraikan pihaknya dari sisi perencanaan sudah mengidentifikasi secara jelas setiap permasalahan yang ada di seriap desa di seluruh NTT, sehingga jika ada pihak lain seperti perbankan maupun perusahaan yang mau menyalurkan bantuan CSR nya, dapat berkolaborasi dengan pemerintah sehingga alokasi dana CSR yang diperuntukkan bisa disesuaikan dengan kebutuhan di desa.
“Tidak semua desa masalahnya ada pada pola makan, tetapi juga ada pada pola asuh maupun sanitasi. Jadi tidal semuanya membutuhkan dana yang sama besar. Karena kita sudah peranan semua desa dengan permasalahannya masing-masing,” urainya.
Karenanya target dan komitmen Pemprov NTT adalah bagaimana semua elemen mengambil peran dan tanggung jawab pada tugas masing-masing, sehingga pada akhirnya bisa sampai pada titik pemberdayaan ekonomi masyarakat yang berkelanjutan. “Pemprov NTT punya tujuh program prioritas dan salah satunya adalah pengentasan kemiskinan dan stunting, karena kemiskinan dan stunting tidak bisa dipisahkan,” tegasnya.
Ketua Pokja Penanganan Stunting Provinsi NTT, Sarah Leri Mboeik pada kesempatan tersebut menjelaskan spirit dari pencegahan stunting adalah konvergensi, karena tanpa keberlanjutan dan kebersamaan semua elemen dalam melakukan penanganan terhadap masalah stunting, tidak akan terjadi percepatan penurunan angka stunting di NTT.
Menurutnya penurunan angka stunting di NTT dalam empat tahun terakhir selalu menunjukkan trend positif, karena angkanya terus menurun setiap tahunnya. Namun penurunan pada tahun 2019 hanya sebesar tiga persen atau lebih rendah dari tiga tahun sebelumnya yang selalu menurun di kisaran lima persen. Karena itu, ke depan semua elemen harus tetap bekerja keras untuk mewujudkan angka stunting di NTT terus menurun.
Mantan senator RI asal Provinsi NTT ini juga mengapresiasi petugas gizi dan petugas kesehatan di Puskesmas dan desa-desa yang terus bekerja maksimal di tengah Pandemi Covid-19 untuk memastikan penanganan kesehatan terhadap anak-anak dengan masalah gizi kurang maupun gizi buruk dengan baik. Sebab gizi kurang dan gizi buruk adalah akar dari adanya stunting.
“Kami dari Pokja Penanganan Stunting Provinsi NTT mengapresiasi semua pemerintah Kabupaten di NTT yang sudah berpartisipasi aktif melakukan sejumlah aksi untuk permasalahan stunting. Kecuali Sumba Barat Daya yang masih butuh kerja ekstra,” tegasnya.
Bupati Sumba Barat Daya, dr. Kornelis Kodi Mete yang dikonfirmasi usai kegiatan mengakui angka stunting di SBD masih yang tertinggi di NTT dan pihaknya sudah membangun komitmen untuk bersama semua elemen masyarakat di SBD melakukan penanganan serius terhadap masalah stunting.
“Kita akan bersama semua elemen termasuk pemerintah desa di SBD untuk bekerja keras menurunkan angka stunting, termasuk alokasi dana desa untuk masalah stunting. Karena memang saat ini angka stunting di SBD masih yang tertinggi di NTT,” tegasnya.
Usai pemaparan dan diskusi, kegiatan rembuk stunting ini juga diisi dengan penandatanganan komitmen pemerintah Kabupaten Sumba Timur yang ditandatangani Wakil Bupati Sumba Timur, Umbu Lili Pekuwali, bersama Ketua DPRD Kabupaten Sumba Timur, Ali Oemar Fadaq, perwakilan camat dam kepala desa terhadap langkah bersama penanganan stunting di Sumba Timur, serta pembacaan komitmen pengalokasian dana desa minimal 30 persen untuk penanganan stunting oleh penjabat kepala desa Hambapraing, Trince Jawamara.(ONI