Scroll to Top
Menakar Progresifitas Pembangunan di Sumba: Perbandingan di antara 4 Kabupaten di Sumba (Bagian 1)
Posted by maxfm on 6th Februari 2020
| 5312 views
Stepanus Makambombu, Direktur Stimulant Institute Sumba [Foto: Heinrich Dengi]

MaxFM, Waingapu – Pengantar : Pelaksanaan Otonomi Daerah di Indonesia sudah berjalan selama hampir dua dasawarsa. Ada 508 kabupaten/kota di Indonesia yang sementara melaksanakan kebijakan tersebut (https://otda.kemendagri.go.id/media-otda-page/). Melalui kebijakan tersebut daerah-daerah berlomba menuju kemandirian sebagaimana tujuan dari otonomi daerah. Bagaimana hasilnya? Secara makro, data kementrian keuangan menunjukkan 80,1 persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) masih bergantung pada transfer pusat, sementara indikator kemandirian yang dicerminkan dari Pendapatan Asli Daerah (PAD) baru mencapai 12,87 persen. Ini menujukkan betapa besarnya tingkat ketergantungan pemerintah daerah pada transfer keuangan dari pemerintah pusat.

Namun secara mikro, peta jalan menuju kemandirian memperlihatkan adanya titik terang kemajuan. Beberapa hasil riset menunjukkan ada beberapa daerah otonom mampu menterjemahkan spirit dan amanat otonomi daerah dalam serangkaian kebijakan yang berkontribusi positif terhadap perbaikan layanan publik, kondisi sosial, ekonomi dan kualitas hidup masyarakat dan pembangunan didaerahnya (Buehler, 2010; Aribowo, 2012; Sujarwoto, 2012; Savirani, 2013; Hanif, 2013; Pribadi, 2013; Kurniawan, 2013; Yunairi dkk, 2013). Temuan menarik, bahwa pencapaian ini dipicu oleh kebijakan-kebijakan inovatif yang diprakarsai pemimpin daerah sebagai lokomotif kemajuan. Ini menunjukkan kepemimpinan yang memiliki spirit inovasi adalah modal penting untuk menghasikan kebijakan-kebijakan “tidak biasa”. Kota Yogyakarta misalnya, menduduki urutan pertama dari 508 Kab/Kota di Indonesia dengan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang mencapai 85,49, sementara rata-rata nasional baru mencapai 71,39. Tingginya capaian IPM yang berhasil dicapai Kota Yogyakarta menggambarkan kualitas hidup penduduk dan level pembangunan di daerah tersebut lebih baik dari daerah-daerah lainnya. Produk-produk inovasi Kota Yogyakarta masuk dalam kategori “Top 99 Inovasi Pelayanan Publik 2019” dari Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (https://jogjaprov.go.id).

Sejauh ini cara cepat mengukur kemajuan sebuah daerah dengan menggunakan instrumen IPM. Asumsinya, apapun yang dikerjakan pemerintah melalui pembangunan (fisik dan non fisik) mulai dari proses perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi pada akhirnya bermuara pada perbaikan kesejahteraan masyarakat. Kesejahteraan dimaksud bisa diukur dari capaian IPM. Sekilas gambaran kemajuan daerah-daerah di atas paska implementasi otonomi daerah menarik dijadikan tolok ukur untuk melihat kondisi pada level lokal, khususnya keempat kabupaten yang berada di Pulau Sumba. Keempat kabupaten tersebut merupakan bagian dari 508 kabupaten di Indonesia yang sementara menjalankan kebijakan otonomi daerah selama hampir dua dasawarsa, kecuali Sumba Tengah dan Sumba Barat Daya (SBD) sebagai kabupaten baru hasil pemekaran tahun 2007/2008. Meskipun baru menjalani masa otonomi daerah selama lebih dari satu dasawarsa namun menarik untuk melihat kemajuan-kemajuan yang terjadi di kedua kabupaten tersebut maupun pada kabupaten induknya. Kabupaten manakah yang lebih progresif pembangunannya berdasarkan IPM dan indikator kemajuan lainnya?




Pertumbuhan IPM
Berdasarkan pencapaian IPM saat ini, Sumba Timur merupakan kabupaten dengan IPM tertinggi di Pulau Sumba, yang mencapai 64,65; kemudian diikuti Sumba Barat 62,91; Sumba Barat Daya (SBD) 61,89 dan Sumba Tengah sebagai kabupaten dengan IPM terendah 60,07 (BPS, 2019). Meskipun IPM Sumba Tengah terendah dalam konstelasi 4 kabupaten di Pulau Sumba, tetapi memiliki rata-rata pertumbuhan IPM tergolong tinggi selama kurun waktu 2015 – 2019 yaitu mencapai 0,8 persen per tahun, sebagaimana dapat dilihat pada grafik 1. Jika rata-rata pertumbuhan IPM masing-masing kabupaten konstan selama 5 tahun ke depan, maka Sumba Timur tetap menjadi kabupaten dengan IPM tertinggi yang mencapai 65,79. Namun pencapaian ini akan disamai oleh Sumba Barat sebesar 65,55, kemudian di susul SBD 64,47 dan Sumba Tengah 62,95.

Hal yang menarik bahwa rata-rata pertumbuhan IPM di 3 kabupaten di P Sumba memiliki nilai yang sama dengan rata-rata pertumbuhan IPM propinsi yang mencapai 0,7 bahkan pencapaian Sumba Tengah berada diatas pertumbuhan propinsi, kecuali Sumba Timur yang berada di bawah rata-rata propinsi, yaitu 0,3. Oleh sebab itu, jika dalam jangka waktu yang lebih panjang pertumbuhan IPM keempat kabupaten tetap konstan dapat diprediksi IPM Sumba Timur akan menjadi yang terendah.




Usia Harapan Hidup
Usia harapan hidup (UHH) merupakan bagian dari komposit penyusunan IPM. Didefinisikan sebagai waktu hidup seseorang sejak lahir sampai meninggal. Sederhananya, semakin lama usia hidup seseorang di muka bumi mencerminkan tingkat kesehatan orang tersebut semakin baik. Jika pengertian ini dipakai pada level kabupaten maka kabupaten dengan penduduk yang memiliki rata-rata usia harapan hidup yang lebih lama menunjukkan kualitas kesehatan (pola hidup) masyarakat setempat baik.

Saat ini UHH penduduk di keempat kabupaten menunjukkan SBD memiliki UHH tertinggi yang mencapai 68,02 tahun, berturut-turut diikuti Sumba Tengah 67,96 tahun, Sumba Barat 66,58 tahun, dan Sumba Timur 64,5 tahun. Capaian UHH 3 kabupaten berada diatas capaian propinsi yang baru mencapai 66,38 tahun, kecuali Sumba Timur yang masih berada dibawah pencapaian propinsi (BPS, 2019). Meskipun pencapaian UHH Sumba Timur tergolong rendah namun memiliki rata-rata pertumbuhan yang tinggi mencapai 0,7 per tahun, sebagaimana dapat diihat pada grafik 2. Rata-rata pertumbuhan UHH yang dicapai Sumba Timur dan SBD berada di atas rata-rata pertumbuhan propinsi yang hanya mencapai 0,1 persen per tahun.

Jika tingkat pertumbuhan UHH masing-masing kabupaten konstan selama 5 tahun ke depannya, maka UHH penduduk SBD masih tetap yang tertinggi mencapai 69,22 tahun meskipun rata-rata pertumbuhannya tidak setinggi pertumbuhan UHH Sumba Timur. Selanjutnya diikuti oleh Kab Sumba Tengah, Sumba Timur dan Sumba Barat. Sementara itu meskipun rata-rata pertumbuhan UHH Sumba Timur, mengalami tingkat pertumbuhan yang tinggi namun belum cukup untuk melampaui capaian UHH penduduk. Tetapi dengan pertumbuhan UHH Sumba Timur yang tinggi sekurang-kurangnya menggambarkan bahwa kualitas kesehatan penduduk Sumba Timur semakin membaik.



Rata-rata lama Sekolah
Komposit penyusun IPM lainnya adalah rata-rata lama sekolah. Angka ini menunjukkan rata-rata capaian tingkat pendidikan tertinggi yang dicapai oleh seluruh penduduk di sebuah daerah. Semakin tinggi rata-rata capaian lama sekolah yang berhasil ditempuh oleh penduduknya menunjukkan kualitas sumber daya manusia di daerah tersebut semakin baik.

Pencapain terkini menunjukkan bahwa rata-rata lama sekolah tertinggi di keempat kabupaten dicapai oleh Sumba Timur yaitu 6,74 tahun; kemudian disusul Sumba Barat 6,52 tahun; SBD 6,32 tahun dan terakhir Sumba Tengah 5,76 tahun (BPS, 2019). Meskipun Sumba Tengah dan SBD memiliki rata-rata lama sekolah lebih rendah dari dua kabupaten lainnya, namun kedua kabupaten ini memiliki rata-rata pertumbuhan lama sekolah yang tinggi, yaitu masing-masing 2.5 dan 1,7. Sementara Sumba Timur dan Sumba Barat berada di bawahnya, masing-masing 0.8 persen dan 0.4 persen, sebagaimana dapat dilihat pada grafik 3.

Jika tingkat pertumbuhan rata-rata lama sekolah masing-masing kabupaten konstan selama 5 tahun ke depannya, maka dapat diprediksi pada tahun 2025 Kabupaten Sumba Tengah akan menjadi kabupaten dengan rata-rata lama sekolah tertinggi, yaitu mencapai 7.8 tahun. Selanjutnya diikuti oleh Kab Sumba Timur dan SBD selama 7 tahun dan Sumba Barat adalah yang terendah selama 6,7 tahun.

Pengeluaran Per Kapita
Komposit terakhir yang menjadi komponen penyusun IPM adalah pengeluaran per kapita per bulan. Hal ini berkaitan dengan kemampuan daya beli untuk memenuhi kebutuhan dasar (basic needs), yaitu makanan dan non makanan. Daya beli dimaksud berkorelasi dengan garis kemiskinan. Yaitu sebuah patokan yang ditetapkan untuk menilai seseorang masuk dalam kategori miskin atau tidak miskin. Jika pengeluaran per kapitanya berada di bawah garis kemiskinan dikategorikan sebagai orang miskin. Sebaliknya jika pengeluaran per kapitanya berada di atas garis kemiskinan dikategorikan sebagai bukan orang miskin. Penentuan garis kemiskinan bersifat dinamis setiap tahun dan berbeda setiap daerah sesuai dengan tingkat inflasi di daerah tersebut.

Merujuk pada konsep di atas dapat dilihat bahwa pengeluaran per kapita/bulan tertinggi dimiliki Kabupaten SBD, yaitu sebesar Rp 350.906; kemudian berturut-turut diikuti Sumba Timur Rp 331.295; Sumba Barat Rp 326.334 dan Sumba Tengah Rp 280.425 (BPS, 2019). Data ini menunjukkan bahwa kemampuan daya beli penduduk SBD dalam memenuhi kebutuhan dasar berada di atas tiga kabupaten lainnya. Kemampuan daya beli penduduk SBD tidak hanya mencapai nilai tertinggi dalam tahun berjalan melainkan disertai juga dengan rata-rata pertumbuhan tertinggi selama kurun waktu 5 tahun terakhir mencapai 12 persen per tahun. Pencapaian ini bahkan di atas rata-rata pertumbuhan propinsi yang baru mencapai 10 persen per tahun, sebagaimana dapat dilihat pada grafik 4. Sementara rata-rata pertumbuhan daya beli masyarakat di tiga kabupaten lainnya lebih kurang hanya separuh dari yang berhasil dicapai SBD.

Jika rata-rata pertumbuhan daya beli masing-masing kabupaten konstan selama 5 tahun ke depannya, maka SBD tetap menjadi kabupaten dengan kemampuan daya beli tertinggi pada tahun 2025 yang diperkirakan akan mencapai Rp 605.560, bahkan di atas pencapaian NTT yang hanya mencapai Rp 571,246 pada tahun yang sama, kemudian berturut-turut diikuti Sumba Timur Rp 430,685, Sumba Barat Rp 422.274 dan Sumba Tengah Rp 371.283.



Kemampuan menurunkan tingkat kemiskinan
Dimensi penting dalam menilai keberhasilan pembangunan sebuah daerah adalah kemampuannya dalam menyelesaikan isu kemiskinan. Setiap rezim pemerintahan menginginkan kemiskinan sedapat-dapatnya diturunkan bahkan dihilangkan jika memungkinkan. Kenyataannya mustahil menghilangkan hal tersebut, bukan saja karena kurangnya sumber daya maupun tata kelola penyelenggaraan pemerintahan (pembangunan) yang buruk, melainkan juga definisi kemiskinan itu sendiri memiliki dimensi yang sangat luas sehingga selalu berhadapan dengan perspektif yang relative. Meskipun definisi kemiskinan beragam (relative) namun pendekatan BPS tetap menjadi patokan nasional maupun daerah sebagai definisi proxy kemiskinan misalnya dalam penentuan garis kemiskinan di atas. Definisi BPS masih menjadi basis pijakan dalam menilai keberhasilan pembangunan nasional maupun daerah mengatasi kemiskinan.

Merujuk pada konsep BPS menunjukkan presentasi kemiskinan tertinggi terjadi di Sumba Tengah 34,8 persen, kemudian berturut-turut Sumba Timur 30,13 persen; Sumba Barat 28,51; dan SBD 28,06 persen (BPS, 2019). Hal menarik jika mengamati trend penurunan angka kemiskinan dalam kurun 5 tahun terakhir memperlihatkan bahwa SBD menjadi Kabupaten terdepan dalam upaya menurunkan angka kemiskinan. Rata-rata penurunan kemiskinan mencapai -1,9 persen, diikuti Sumba Barat -0,7. Sementara persentasi kemiskinan di dua kabupaten lainya justru mengalami peningkatan terutama di Sumba Tengah yang mencapai 5 persen, dan kemudian Sumba Timur 0,1 persen, sebagaimana dapat dilihat pada grafik 5.

Diantara keberhasilan Kabupaten Sumba Barat dan SBD menurunkan angka kemiskinan, nampaknya masih menyisakan keprihatinan jika melihat kemampuan keempat kabupaten mempersempit gap kemiskinan. Gap kemiskinan dimaksud dapat dilihat dari indeks kedalaman dan keparahan kemiskinan pada keempat kabupaten yang masih berada di atas rata-rata propinsi, sebagaimana dapat diamati pada grafik 6. Hal yang lebih memprihatinkan terjadi di Sumba Timur dimana gap kemiskinan telah melampaui angka dua digit dibandingkan dengan ketiga kabupaten lainnya.



Gap pengeluaran per kapita (daya beli) penduduk miskin terhadap garis kemiskinan paling besar terjadi di Sumba Timur sebesar 11,9 persen, kemudian diikuti masing-masing Sumba Tengah dan Sumba Barat sebesar 5,7 persen dan paling sempit 5 persen. Sementara itu, ketimpangan pengeluaran per kapita di antara penduduk miskin sendiri yang dikenal dengan indeks keparahan kemiskinan menunjukkan kaparahan paling besar juga terjadi Kabupaten Sumba Timur mengalami pertumbuhan sebesar 23 persen, kemudian diikuti masing-masing Sumba Tengah sebesar 15,5 persen; SBD 9,5 persen dan paling rendah Sumba Barat 7,9 persen
bersambung

[Penulis : Stepanus Makambombu, Direktur Stimulant Institute Sumba]

Show Buttons
Hide Buttons