MaxFM, Waingapu – Tangan Mama tua itu terlihat kecil tapi kuat dari kejauhan tampak kulit tangannya mulai keriput nan lincah menggulung benang berwarna biru mejadi bulatan, dalam bahasa sumbanya Mama tua itu sedang melakukan “Kabokul”, meski siang menyerang, matahari tepat diatas ubun, panas memaksa keringat keluar dari tubuhnya yang menua.
Dalam suasana panasnya Juli 2019 di tanah Sumba, dibarengi angin kering kencang dari Australia yang kadang membuat bibir anak-anak muda pecah bukan karena ditampar, dengan gagah Mama tua tetap di tengah lapangan Pahlawan Waingapu meramaikan Festival Sandawood dan Expo Tenun Ikat 2019.
Di sana sini terlihat wartawan Nasional maupun lokal mengarahkan moncong lensa kameranya untuk mendapatkan sudut foto dan ekspresi hebat dari perempuan Sumba penenun. Tidak mau kalah warga lokal dan dari luar negeri menangkap berbagai momen dari kamera di HP Androidnya.
Disudut lain terlihat Mama Orpha Dunga Haur Dari Lambanapu memperagakan menenun kain berwarna biru disinari matahari yang tidak mau meredup.
Suasana ratusan penenun secara bersama duduk dalam satu arena untuk menenun secara serentak sangat jarang terjadi, paling dalam kegiatan festival begini baru bisa kita lihat.
Tidak bisa dipungkiri saat ini kain tenun ikat Sumba khususnya Sumba Timur apalagi dengan pewarna alami lagi “naik daun”, diincar oleh penikmat kain tenun dari berbagai belahan dunia bahkan juga menjadi incaran dari kolektor kain tenun ikat.
Di dunia internasioanal yang terbaru bisa kita lihat bagaimana cantiknya tenun ikat Sumba ketika sudah didesain dengan apiknya jadi busana dan dipakai oleh peragawati di Moskow Rusia bisa dicek lewat akun IG njonjah_poenja.
Yang pasti tenun ikat bukan karya perseorangan, sangat jarang ada perorangan yang mengerjakan semua proses panjang itu, mulai dari memintal kapas jadi benang, dari benang dibuat menjadi bola-bola benang (Kabokul), pamening, menentukan gambar atau pola, mengikat pola atau gambar yang ada, memberikan warna hingga ditenun menjadi kain tenun Ikat Sumba dengan kualitas tinggi.
Hasil satu kain Sumba merupakan karya dari sekelompok orang yang terlibat dari proses awal hingga kain bisa dinikmati pencinta tenun ikat Sumba. Kalau mau dibilang sangat menarik bila dari para pengrajin kain Sumba sendiri mencatat nama dari yang terlibat dalam seluruh proses pembuatan kain tenun Sumba dan saat dijual disertakan nama-nama pembuat ataupun inisialnya.
Saat Festival Sandalwood dan Expo Tenun Ikat 2019, perempuan penenun Sumba Timur datang dari berbagai wilayah, ada yang dari Lambanapu, dari Kanatang, Hambapraing serta Prailu dan wilayah lainnya.
Mama penenun kain Sumba pasti penuh harap dengan kegiatan Festival Sandalwood 2019 khususnya kegiatan tenun ikat masal dampak ekonominya juga akan datang kepada mereka untuk meningkatkan pendapatan keluarga sehingga bisa menopang ekonomi rumah tangganya. Apa yang saya tangkap dalam pembicaraan dengan mereka soal harga kain misalkan mereka para penenun tidak terlalu berharap harga kain yang mereka tenun akan laku dengan harga puluhan juta rupiah saat festival, cukup kain yang ditenun laku dengan harga yang sepantasnya sudah pas bagi mereka untuk bersyukur.