MaxFM, Waingapu – Pada tahun 2017 terdapat 10 keadaan darurat kesehatan yang disebabkan oleh konflik bersenjata, bencana alam, dan wabah penyakit, yang terentang dari Mosul di Irak ke Cox’s Bazar di Bangladesh, dan dari kolera hingga malaria. Tahun 2018 dapat lebih buruk lagi, jika kita tidak mempersiapkan, mencegah, dan merespons tepat waktu. Apa yang harus disadari?
Pertama adalah pandemi influenza, yang dimulai dari Nepal tahun 2010 dan menyebar secara luas tidak dapat dihindari. Pandemi yang parah dapat mengakibatkan jutaan kematian dan menghabiskan lebih dari 1% GDP global. Dunia telah melalui perjalanan panjang dalam seratus tahun sejak Flu Spanyol tahun 1918,yang menewaskan sebanyak 100 juta orang. Setiap tahun, WHO merekomendasikan vaksinasi influenza untuk melindungi orang dari flu musiman di seluruh dunia. Lebih dari 150 lembaga kesehatan masyarakat di 110 negara telah bekerja sama dalam pengawasan influenza global, tetapi belum dapat menemukan strategi apapun tentang prediksi influenza, termasuk bagaimana dan di mana pandemi berikutnya akan muncul. Konsentrasi saat ini adalah dalam memantau patogen saluran pernafasan dengan potensi pandemi, termasuk MERS CoV di Tanah Suci.
Secara umum, influenza dapat dicegah dengan berperilaku hidup bersih dan sehat (PHBS), membiasakan cuci tangan pakai sabun (CTPS), perhatikan etika batuk dan bersin, serta gunakan masker bila sedang sakit. Secara khusus bagi para pelaku perjalanan dari atau yang akan pergi ke negara terjangkit, disarankan untuk melakukan imunisasi influenza, Rekomendasi untuk vaksin influenza hemisfer utara seperti Eropa dan Amerika Utara pada setiap bulan Februari/Maret, sementara untuk vaksin influenza hemisfer selatan seperti Australia pada setiap bulan September.
Kedua adalah konflik bersenjata, yang terbukti terus menerus merusak sistem kesehatan di seluruh dunia, yaitu dari Yaman hingga Ukraina, dan dari Sudan Selatan hingga Republik Demokratik Kongo. Pihak yang bersengketa semakin sering menyerang fasilitas kesehatan. Selain itu, bahkan juga menyerang petugas dan infrastruktur kesehatan masyarakat yang penting. Di banyak lokasi konflik ini, lebih banyak orang dalam pengungsian meninggal karena penyakit yang dapat diobati dan dicegah, juga penyakit kronis yang terputus pengobatan, daripada penyebab peluru tajam dan ledakan bom. Relawan kemanusiaan sering kekurangan akses untuk memberikan makanan, air, dan obat yang menyelamatkan hidup dan sangat dibutuhkan para pengungsi. Serangan senjata kimia dan biologis juga merupakan risiko signifikan dalam peperangan.
Ketiga adalah kolera. Lebih dari 2.000 tahun setelah dikenalkan pertama kali oleh Hippocrates, penyakit yang disebabkan oleh infeksi bakteri Vibrio cholerae berkembang pesat secara ulang, di seluruh dunia. Meskipun mudah dicegah dan diobati, kolera membunuh hampir 100.000 orang setiap tahun di komunitas yang terbebani oleh kemiskinan dan konflik bersenjata, terutama di Yaman. Pada tahun 2017, vaksinasi tetes atau oral untuk melawan kolera telah digunakan untuk melindungi 4,4 juta orang di sembilan negara, yaitu Bangladesh, Kamerun, Haiti, Malawi, Mozambik, Nigeria, Sierra Leone, Somalia, dan Sudan Selatan. Pada 2018 ini dilakukan kampanye vaksinasi kolera serupa, di samping akses ke air bersih dan sanitasi serta meningkatkan kebersihan.
Keempat adalah difteri. Penggunaan luas vaksin difteri (DPT) sebagai bagian dari program imunisasi rutin, telah menghilangkan penyakit infeksi saluran pernapasan di sebagian besar dunia. Namun demikian, difteri membuat wabah atau KLB yang mengkhawatirkan, di negara yang mengalami kesenjangan signifikan dalam penyediaan layanan kesehatan. Venezuela, Indonesia, Yaman, dan Bangladesh (khususnya di Cox’s Bazar), telah melaporkan wabah difteri pada tahun 2017, meminta dukungan dari WHO untuk tanggapan cepat, bimbingan teknis, bahkan pasokan obat dan vaksin difteri.
Selama tahun 2017, di Indonesia terjadi KLB Difteri di 170 kabupaten/kota dan di 30 provinsi, dengan jumlah sebanyak 954 kasus, dengan kematian sebanyak 44 kasus. Sedangkan pada tahun 2018 (hingga 9 Januari 2018), terdapat 14 laporan kasus dari 11 kab/kota di 4 propinsi (DKI, Banten, Jabar dan Lampung), dan tidak ada kasus yang meninggal. Pada tahun 2018 tidak ada penambahan Kabupaten/Kota yang melaporkan adanya KLB Difteri. Data terakhir, terdapat 85 kab/kota dari total 170 kab/kota yang sudah tidak melaporkan kasus baru. Itu artinya KLB di 85 Kabupaten Kota tersebut bisa dikatakan berakhir.
‘Outbreak Respons Immunization’ (ORI) merupakan ‘Standard Operating Procedure’ apabila terjadi KLB penyakit yang sebenarnya bisa dicegah oleh imunisasi (PD3I), dalam hal ini difteri. ORI dilaksanakan langsung bila ditemukan penderita Difteri oleh Puskesmas, dengan sasaran ORI adalah anak berusia usia 1 sampai 19 tahun. ORI bertujuan untuk meningkatkan kekebalan masyarakat dengan menutup ‘immunity gap’, sehingga diharapkan dapat memutus mata rantai penularan. Karena itu, ORI Difteri sebanyak tiga putaran perlu dilakukan untuk membentuk kekebalan tubuh dari bakteri Corynebacterium diphteriae.
Kelima adalah malaria. Setiap tahun, WHO memperkirakan lebih dari 200 juta kasus malaria di seluruh dunia, dengan lebih dari 400.000 kematian. Sekitar 90% kematian yang disebabkan oleh penyakit yang ditularkan nyamuk terjadi di Afrika sub-Sahara, dengan sisanya terjadi di Asia Tenggara, termasuk Timor Leste dan Indonesia, Amerika Selatan, Pasifik Barat dan Mediterania Timur. Di Republik Afrika Tengah dan Sudan Selatan, malaria membunuh lebih banyak orang daripada perang dalam konflik politik. Negara-negara lain yang masih berjuang melawan malaria adalah Republik Demokratik Kongo, Nigeria, dan Somalia.
Sebagian besar warga Indonesia telah bermukim di wilayah bebas malaria. Sekitar 72 persen penduduk Indonesia tinggal di daerah bebas malaria. Namun, masih terdapat 10,7 juta penduduk yang tinggal di daerah endemis menengah dan tinggi malaria.
Terhadap 5 buah keadaan darurat kesehatan global tersebut, kita wajib mencegah dan merespons tepat waktu. Sedangkan 5 buah keadaan darurat kesehatan lainnya akan dibahas kemudian.
FX. Wikan Indrarto, Sekretaris IDI Wilayah DIY, dokter spesialis anak, Lektor FK UKDW Yogyakarta, Alumnus S3 UGM.