MaxFM, Sumba Barat – Menerapkan kebiasaan cuci tangan dan alas kaki sebelum masuk kandang, memberi pakan berkualitas dan air bersih, hingga membatasi lalu lintas orang, barang dan hewan serta olahannya ke dalam kandang menjadi beberapa cara penting dalam penerapan Biosekuriti untuk mencegah penyebaran Demam Babi Afrika (African Swine Fever), sekaligus penyakit hewan menular lainnya.
Metode Biosekuriti tersebut menjadi salah satu edukasi di dalam Kampanye Kesadaran ASF yang diadakan oleh Dinas Peternakan Provinsi NTT bersama program kemitraan Australia-Indonesia, PRISMA. Kampanye ini merupakan upaya bersama dari berbagai pemangku kepentingan untuk Pemulihan Sektor Peternakan Babi di NTT.
Setelah sebelumnya diresmikan oleh Wakil Gubernur NTT Drs. Josef Nae Soi, M.M pada akhir Juli lalu di Kupang, kampanye ASF hari ini digelar di Pulau Sumba. Kampanye ASF kali ini menjadi bagian dari Parade Kuda dan Turnamen Pacuan Kuda se-Nusa Tenggara Timur di Stadion Gelora Pada Eweta, Waikabubak, Kabupaten Sumba Barat. Melalui kegiatan ini, warga sekaligus peternak babi dapat membawa pulang informasi mengenai cara-cara pencegahan ASF dan penyakit hewan menular lainnya, cara penerapan biosekuriti yang baik dan benar, serta repopulasi babi.
Menurut Kepala Dinas Peternakan Kabupaten Sumba Barat, drh. Hamadoku Wedo, kasus ASF di Sumba Barat pertama kali terjadi pada Maret 2020 dan kasusnya terus meningkat hingga Desember 2020, dengan jumlah ternak babi yang dilaporkan mati sebanyak 7,700 ekor.
Dia mengatakan, estimasi rata-rata harga babi yang mati adalah 10 juta/ekor, dengan kerugian finansial dapat mencapai Rp.77Milyar. Persentase peternak yang mengalami kematian babi pun diprediksi sekitar 80% dari jumlah total peternak babi di Sumba Barat.
Namun, Hamadoku menuturkan bahwa pada Tahun 2021 kejadian kasus penyakit dan kematian babi akibat ASF mulai berkurang karena Dinas Peternakan Sumba Barat melakukan upaya Komunikasi, Informasi, dan Edukasi (KIE) secara berkesinambungan, sehingga pemahaman masyarakat tentang ASF menjadi lebih baik.
“Dinas Peternakan Sumba Barat juga melakukan upaya preventif pencegahan virus ASF melalui penyemprotan desinfektan di kandang-kandang babi dan penerapan biosekuriti. Masyarakat juga mau berpartisipasi secara aktif untuk mencegah penularan penyakit ASF. Jika masyarakat menaati anjuran-anjuran yang dipaparkan pada kampanye ASF ini, kemungkinan pengurangan proporsi kerugian yang terjadi akibat ASF adalah sekitar 56-60%,” ujar Hamadoku.
Hamadoku berharap kampanye ASF akan semakin meningkatkan kesadaran masyarakat tentang penyakit ASF dan penularannya, serta mau menerapkan langkah-langkah preventif hingga dapat berpartisipasi dalam mendukung program pemerintah untuk pengendalian penyakit ASF di Sumba Barat.
Chief Technical Officer PRISMA Mohasin Kabir mengatakan bahwa kampanye ini membutuhkan dukungan dan partisipasi dari semua pemangku kebijakan terkait. “Peternak babi membutuhkan informasi dan dukungan teknis dari sumber yang benar dan kredibel. Untuk menyukseskan kampanye ini, kami berharap sektor publik dan swasta akan bekerja sama untuk memberikan informasi yang benar dan kredibel tentang praktik peternakan yang baik.”
Kampanye ASF yang direncanakan akan digelar selama satu tahun hingga 2023 mendatang, tidak hanya menyediakan layanan konsultasi langsung dengan para dokter hewan, tapi peternak juga diperkenalkan dengan produk-produk kesehatan hewan dan pakan agar dapat menerapkan praktik pemeliharaan ternak babi yang benar. Selain itu, kampanye ASF juga dilakukan melalui webinar, seminar, radio talkshow, lokakarya, Trainer of Trainers (Pelatihan bagi Pelatih), dan ASF Storm, dengan beragam pemangku kepentingan termasuk universitas, organisasi keagamaan, hingga masyarakat peternak babi. Materi ASF dalam bentuk media cetak maupun digital juga dilakukan sebagai sarana edukasi kepada masyarakat peternak babi secara komprehensif.
Pegiat media sosial, Kaboax juga turut serta dalam melakukan kampanye ASF di NTT melalui lakon lawak edukatif terkait ASF yang disebarkan melalui akun media sosial. [TIM]