MaxFM, Waingapu – Dari awal virus covid 19 merebak ke Indonesia, rasanya kita lebih banyak disuguhi hal-hal administratif yang kadang lucu-lucu. Kita menghindari kata lock down, lalu kita pake istilah PSBB lalu ganti lagi PPKM, ganti lagi jadi PPKM Level-1, Level-2, Level-3 dan seterusnya. Mirip keripik setan pake level-levelan segala.
Penyampaian data penderita juga sempat jadi polemik, ada yang bilang sebaiknya jangan diekpos supaya tidak menimbulkan pesimisme. Ada juga yang bilang harus disampaikan ke publik, kalau perlu secara detail agar bisa menjaga kewaspadaan bersama. Padahal awal pandemi, nama keluar sebagai penderita covid bisa jadi aib.
Kini muncul lagi Khabar yang agak dibesar-besarkan bahwa, semua urusan terkait pelayanan publik dan mobilitas orang harus disertai dengan surat bukti vaksin. Mau sekolah harus ada surat vaksin, mau bepergian harus ada surat vaksin, mau urus ini-itu harus ada surat vaksin. Jangan-jangan mau vaksin harus ada surat vaksin? Pantas saja vaksin jadi rebutan di mana-mana. Vaksin dijadikan jimat anti virus, seolah-olah kalau sudah vaksin tidak bakal terinfeksi covid 19.
Andaikata issue ini digulirkan supaya masyarakat mau vaksin dengan ditakut-takuti bahwa semua urusan memerlukan bukti vaksin, hoe siapa yang tidak mau vaksin? Siapa yang takut vaksin? Kalian sendiri saja yang tasibuk dari awal, bilang vaksin ini tidak bagus, vaksin itu produk asing. Kalian juga yang bilang vaksin itu tidak sesuai iman, melawan kodrat dll, kalian sendiri kan yang bilang? Kalian memang sinting!! ( Eh tapi kalian itu siapa ya?)
Coba bayangkan, semua ini kan hanya urusan-urusan administratif saja yang membuat kita kalangkabut menghadapi pandemi ini? Banyak yang sudah tes PCR tapi hasilnya tidak keluar-keluar. Bahkan kawan saya sampai selesai masa isolasi tidak tau hasil tesnya. Bahkan ada pula orang terlanjur dikubur baru keluar hasil test PCR. Sesemrawut dan sekalang kabut itukah cara kita menghadapi pandemi ini? Sampai-sampai susu kaleng yang gak jelas fungsinya kita anggap penolak virus. Mayat kita jadikan rebutan pihak keluarga dan petugas covid 19, hanya karena kecurigaan “dicovidkan”. Para spekulan sibuk timbun alkes dan obat-obatan. Petugas PPKM dan POLPP berubah jadi momok masyarakat. Haduh sekacau inikah Corona buat sama kita?
Kami sudah ada di akhir-akhir masa isolasi mandiri. Siapa nanti yang berhak menyatakan kami sudah layak dinyatakan sembuh dari Corona? Hasil tes antigen saja cukup? Atau harus hasil PCR? Bayar lagi, keluar uang lagi. Bisa-bisa nunggu lama lagi. Atau jangan-jangqn justru secara data kami tidak termasuk di bank data Gugus Covid 19 meskipun sudah lapor diri? Maklum urusan administrasi sering semrawut.
Nomer HP kami sekeluarga harusnya sudah ada di Gugus Covid 19 setempat. Isolasi hari ke 3, Dhea si bungsu ditelpon seseorang. “Hallo Irsyam?”. “Saya Dhea!”, Jawab Anak saya. Hari ke 11, Nety istri saya ditelpon seseorang. “Hallo keluarga Abdul Rasyid?”. Bla, bla, bla….bla, bla, bla dan seterusnya. Anda tau siapa yang telpon? Ibu Lurah kami yang tercinta. Besok-besok kalau telpon tanya nomer saya, akan saya jawab: “Saya Irsyam Abdul Rasyid Bin Covid” hehe…..
Waingapu, 23 Juli 2021
Isolasi Mandiri hari ke 12-13
Penulis : Yongky HS.
NB.
–Kapan setelah dinyatakan positif terinfeksi covid 19 baru kita boleh divaksin?
–Salam hormat Ibu Lurah, mohon ijin memperkenalkan diri.