MaxFM, Waingapu – Tsunami di Sumba sudah pernah terjadi 21 kali, selama kurun waktu 388 tahun sejak tahun 1629 dan terakhir di tahun 1977.
Profesor Ron Harris dari Universitas Brigham Young Amerika sebagai ketua tim peneliti Tsunami dan Geologi dalam presentasinya di Waingapu Minggu (30/07/2017) tentang “Bencana alam apakah yang paling mungkin terjadi di Sumba” mengatakan catatan tentang tsunami di Sumba tersimpan di Belanda.
“Dalam catatan yang ada di Belanda tentang tsunami di Sumba, dicatat sudah 21 kali terjadi tsunami di tahun 1629, 1657, 1659, 1710, 1711, 1754, 1763, 1815, 1820, 1837, 1841, 1852, 1857, 1859, 1882, 1885, 1891, 1899, 1914, 1938 dan 1977, setelah tahun 1977 belum ada lagi tsunami di Sumba,” jelas Profesor Ron Harris dari Universitas Brigham Young Amerika.
Sedangkan gempa besar di Sumba tambah Prof. Ron Harris, sesuai catatan sejarah terjadi pada tahun 1716, 1793, 1814, 1815, 1818, 1820, 1821, 1836, 1857, dan 1977.
Prof. Ron Haris melanjutkan, dalam penelitian di Sumba tentang Tsunami dan Geologi baru – baru ini, saat timnya berada di Nggongi sempat mewawancarai warga lokal sebagai saksi hidup yang mengalami sendiri kejadian tsunami di Karera pada 1977.
Sementara itu Ketua Program Studi Magister Teknik Geologi UPN Veteran Yogyakarta DR. Carolus Prasetyadi yang juga tergabung dalam tim peneliti tsunami dan geologi mengatakan kalau di Sumba saat ini belum ada gempa-gempa yang besar dan menyebabkan tsunami, belum ada itu dalam catatan ingatan masa kini, tapi dalam catatan sejarah, yang dibuat oleh pemerintah Belada maupun sejarah Indonesia, bila kilas balik ke tahun 1977 terjadi tsunami yang terasa besar sampai di Lombok dan Sumba.
Masih kata DR. Carolus Prasetyadi, keterulangan gempa besar di daerah sekitar Lombok, Bali dan Sumba adalah 30 ampai 40 tahun, informasi keterulangan ini harusnya membuat kita semakin waspada, karena kita sudah memasuki waktu tunggu 30-40 tahun sejak 1977.
Sebagai panduan dalam menghadapi kemungkinan terjadi tsunami di Waingapu dengan prediksi gelombang laut yang datang bisa mencapai tinggi 17 meter, DR. Carolus Prasetyadi menambahkan tim peneliti tsunami dan geologi, mengeluarkan panduan 20 – 20 – 20 yang artinya bila gempa terjadi selama 20 detik atau lebih, entah gempa dirasa kuat atau lemah, maka warga harus ambil keputusan untuk menjauh dari laut, bergerak ke arah gunung, karena hanya memiliki waktu sekitar 20 menit menjauh dan menuju lokasi kumpul pada wilayah dengan ketinggian sekitar 20 meter diatas permukaan laut sebagi loksai yang dianggap aman untuk tempat berkumpulnya warga.