MaxFM, Waingapu – Dalam beberapa kali obrolan lepas dengan kawan muda di Waingapu terdengar seperti nada rintihan kesedihan setiap kali membicarakan acara adat di Sumba Timur, khususnya kematian.
Sebut saja Umbu yang mengalami kedukaan baru- baru ini, dia mengatakan kami sudah miskin tapi masih menyimpan mayat cukup lama di rumah, belum lagi nantinya urusan adatnya dengan keluarga yang datang, keluarganya harus siapkan babi, kuda, dll dan ini memakan anggaran yang banyak, kami mau dapat dari mana dana kematian ini, paling-paling harus berhutang, trus siapa nanti yang bayar utang, kami ? Kami ini juga hidup senin kamis?
Dalam obrolan dengan topik adat kematian di Sumba Tumba Timur di Acara Nuansa Malam Radio Max FM Waingapu (30/01) beberapa pendengar mengirim pesan pendek seperti ini kepada saya saat siaran:
- Pengirim dari nomor HP +6281337161XXX, 20:31:58, dengan Sony Karim di Palindi, mengenai adat kematian yang ada di Sumba Timur saya rasa ini sangat boros, contohnya adat kematian di Palindi desa Kambata Tana itu sangat boros. Kita beli kopi, gula, pahappa siri pinang, trus tikam babi baku balas artinya pakameting, bawa kain yang mahal-mahal dan sebagainya. Menurut saya sebaiknya diatur lagi agar adat ini kita sederhanakan dan bukan berarti kita kasih punah, sehinnga adat ini agak irit sedikit. Kalau saya lihat adat kematian kita di Sumba membuat kita rakyat jatuh miskin. Jadi harapan saya kalau bisa kita buat pertemuan dengan tokoh masyarakat, tokoh agama, pemerintah dan masyarakat untuk memperingan sedikit atdat kematian ini. Kita orang Sumba kalau sumbang di kematian cepat-cepat beli babi yang harga juta-juta, coba sebenarnya uang itu kita sumbang buat anak yang melanjutkan kuliah itu kan bagus. Terima kasih.
- Pesan lain datang dari pemilik nomor HP +6285333629xxx, 21:44:58, Reni di Wangga, saya setuju kalau saja bisa adat itu harus disederhanakan. Apa lagi di jaman sekarang yang semuanya serba mahal. Terkadang juga kita orang Sumba banyak mengeluh dengan kita punya adat sendiri, apalagi soal kematian. Di tambah sistim pakameting yang begitu banyak anggaran dan harus banyak babi sudah. Orang tua sendiri juga mengeluh dengan itu, tapi mereka tetap mau penuhi semua itu, giliran kita yang jadi anak butuh uang yang ada marah-marah sudah ini orang tua karena kewalahan.
Walaupun perjuangan untuk menyederhanakan adat di Sumba Timur ini masih panjang, paling tidak sejak tahun lalu sudah ada usaha untuk menuju tawaran penyederhaan adat. Usaha ini di mulai oleh Komunitas Peduli Adat Sumba Timur KPAST yang bekerja sama denga LSM Wahana Visi Indonesia WVI mengkampanyekan penyederhanaan adat kematian ke desa-desa.
Salah satu anggota KPAST Marius Kurawoki mengatakan, komunitas ini didukung WVI dan Pemda Sumba Timur sudah mengkampanyekan ke 44 desa di Sumba Timur tentang ide penyederhaan adat kematian.
Marius Kurawoki melanjutkan, secara singkat ide penyederhaan adat kematian ( bukan penghapusan adat kematian ) yang ditawarkan kepada masayarakat antara lain sebagai berikut :
- Lama mayat di rumah duka paling lama 8 hari ( di beberapa tempat sudah ada yang melakukan paling lama hanya 6 hari )
- Saat penguburan dilaksanakan, makan di sajikan cara Nasional, cara kawarung ( tiap kabihu atau marga membuka tempat makan sendiri ) ditiadakan.
- Pakameting ( memberi bekal berupa babi yang dipotong ) untuk bekal makan di perjalanan saat pulang dari kedukaan bagi keluarga yang diundang datang ke penguburuan ditiadakan.
- Semua pembawaan keluarga berupa uang dan hewan diberikan kepada keluarga yang berduka dan bukan untuk membalas bawaan keluarga yang datang ke kedukaan. ( Cara adat sebelumnya balas memberikan hewan kepada pihak anakawini ( pihak perempuan) maupun yera ( pihak laki-laki ) ditiadakan ).
Dari sosialisasi ke desa selama ini, 10 desa di Kecamatan Tabundung dan 4 Desa di Kecamatan Haharu yang sudah mendeklarasikan desa mereka untuk memberlakuan penyederhanaan adat kematian yang ditandai dengan tikam babi sebagai tanda bahwa desa tersebut menerima dan mau menyederhanakan adat kematian.
Marius Kurawoki melanjutkan dirinya mulai melakukan penyederhaan adat dikeluarganya karena belajar dari situasi yang terjadi di Sumba Timur bahkan sampai di seluruh Sumba. Sebagai contoh Kata Marius, di Kelurahan Mauliru, Kawangu, Lambanapu rata-rata tanah masyarakat habis di jual atau di gadai karena adat, rakyat setempat umumnya jatuh miskin karena adat.
Secara pribadi kata Marius dirinya sudah memulai penyederhanaan adat kematian di keluarganya sejak Nopember 2011. Keluarganya di daerah Kahembi Kalelang Mburukulu di Marga Wiki sudah sepakat untuk melakukan penyederhaan adat. Hingga saat ini di keluarganya sudah ada 7 kali kematian dengan perlakuan penyederhaan adat dan ini sangat meringankan keluarga yang berduka. Bahkan keluarga yang berduka tertolong dengan pembawaan keluarga dan masih bisa dipakai untuk keperluan anak-anak kuliah di luar Sumba.
Meskipun keinginan dari banyak pihak meminta untuk adat disederhanakan, tetapi untuk sampai ke keputusan tua-tua adat menyerdahanakan adat kematian bukan perkara gampang, karena pasti ada banyak pihak juga yang tidak setuju penyederhaan adat kematian ini dengan berbagai argumentasi.
Secara pribadi saya mendukung upaya penyederhaan adat kematian tanpa menghilangkan esensi adat itu sendiri.
Entah kapan waktunya kesepakatan penyederhaan adat kematian itu datang dan menjadi pilihan semua orang Sumba atau makin banyak lagi marga yang sepakat melakukan penyederhaan adat kematian, mari kita tunggu saatnya dan saya berharap tidak akan lama lagi.
Sebagai penutup tulisan ini saya kutib lagi lagi pesan singkat dari pendengar yang mengomentari diskusi di Nuansa Malam Radio Max FM Waingapu :
- Pengirim pemilik nomor HP +6285338121xxx, 21:56:53, Malam bung Hen ,ini dengan Pak Ande di Takaujak (Pulupanjang ) , saya setuju kalau adat kematian di kurangi. Bahwa acara kematian juga membuat hubungan kekeluargaan renggang apabila tidak kasih hewan oleh pihak yera pada waktu penguburan dan sebalikya juga oleh pihak anakwini apabila tidak kasih babi. Yang pada akhirnya utang semakin menumpuk bahkan juga terjadi percekcokan dalam keluarga oleh karena utang di atas utang. Makasih.
- Pengirim dari nomor HP +6285339246XXX, 22:30:42, Malam Bung, dengan Angga di Kandara. Saya setuju sekali kalau adat kematian di Sumba Timur disederhanakan, karena selama ini orang Sumba berani utang sana sini untuk urusan adat, baik adat kematian maupun urusan belis. Tapi kalau untuk menyekolahkan anak, masih pikir seribu kali.
( Heinrich Dengi )