
MaxFM, Waingapu – Pendidikan terbaik itu seperti apa sebenarnya? Demikian, pertanyaan ini kerapkali berseliweran di benak penulis mengiringi keprihatinan penulis terhadap praktek pendidikan kala kini yang masih terfokus pada anggapan bahwa anak adalah sebuah cawan kosong yang harus diisi dengan berbagai macam ilmu pengetahuan oleh guru. Apakah pendidikan terbaik artinya anak harus bisa mencapai nilai 100 di setiap mata pelajaran yang anak pelajari? Praktek pemberian rangking yang masih banyak dilihat hingga kinipun membuat penulis prihatin karena seperti melihat anak sebagai objek yang perlu diklasifikasi seperti sayuran dalam berita RRI yang sering penulis dengar di kala penulis kecil. Wortel tanpa daun kualitas A harga perkilo sekian ribu Rupiah di pasar Beringharjo, kualitas B harga sekian ribu perkilo di pasar Beringharjo dan seterusnya.
Melawan Arus
Pertengahan tahun 2002 penulis berkesempatan untuk bergabung menjadi salah satu guru di sebuah sekolah bertaraf internasional di bilangan Jakarta Selatan. Sekolah unik ini mengubah paradigma penulis mengenai bagaimana seharusnya sekolah mendidik anak-anak.
Kala itu praktek pemberian rangking masih marak. Anak-anak berkatagori pintar masuk ke kelas akselerasi, sementara yang tidak masuk kategori ini masuk ke kelas berjenis lain.
Waktu di SD, pelajaran MTK tidak saya sukai,dan saya lemah dupelajaran itu, sehingga nilai raport utk matematika paling tinggi 65. Banyak guru, orang tua beranggapan anak yang kurang pintar di Matematika itu bodoh, walaupun saya sebenarnya anak yang pintar dibidang Seni dan olahraga,jujur saya tertekan dan suka cemas ketika ada Jadual pelajaran Matematika. Semoga merdeka belajar dapat mengubah paradigma berpikir para Pendidik dan orang tua bahwa anak memiliki kemampuan yang berbeda-beda sehingga berada pada finish yang tepat sesuai kemampuan nya, tidak ada lagi cap siswa pintar,siswa bodoh hanya ditunjuk dengan Angka (perangkingan)
Amin.
Terima kasih ibu Nora.
Semoga dengan merdeka belajar anak-anak menjadi kian gemar belajar ya bu
Kalau menurut Pak Nadiem, ini disebut Merdeka Belajar. Tana Tidung di Kaltara berusaha melakukannya salah satunya melalui Ujian Sekolah. Sekolah diberi kewenangan menentukan bentuk asesmen. Alhasil, di sekolah dasar mayoritas menggunakan penilaian berbasis proyek.
Proyek di Tana Tidung harapannya melatih kemampuan bernalar anak dalam memecahkan masalah sehari-hari dengan memanfaatkan pengetahuan yang telah dipelajari. Proyek juga membantu anak mempelajari pengetahuan baru.
Menariknya, ada yang proyeknya dikerjakan bersama oleh siswa dan orang tua. Keduanya pun presentasi di kelas.
Alhamdulillah,
Saya amat senang membaca bahwa Tana Tidung dapat menjadi pelopor dalam assessment berbentuk proyek pak Musakkir.
Kalo di bukunya Jay McTighe Understanding by Design kalo ga salah jenis tes seperti ini namanya performance task. Salah tes tingkat tinggi karena mengharuskan anak berpikir dan mengaplikasikan apa yang sudah dipelajari secara riil
Sukses terus untuk Tana Tidung