Scroll to Top
Benarkah Kekerasan Membuat anak “Tahan Banting”?
Posted by maxfm on 22nd Mei 2021
| 1736 views
Evi Silvian Rospita – Pegiat Pendidikan [Foto: Istimewa]

MaxFM, Wingapu – Mendidik anak agar bisa jadi Resilient itu penting. Dalam Bahasa Indonesia Resilient artinya ketahanmalangan yakni Kemampuan dimana anak menghadapi masalah, kemudian ketika merasa “jatuh”, dapat segera kembali bangkit dan berjuang untuk mencapai tujuan.




Pertanyaan berikutnya adalah bagaimana cara yang tepat agar kita sebagai orang tua atau pendidik dapat melatih anak-anak kita dapat menjadi anak yang Resilient agar mereka tidak “cengeng” dan tak mudah menyerah?

Sayangnya sebagian dari kita menyalah artikan ini dengan mendidik secara “Keras”. Keras dalam artian anak harus diberi hukuman fisik seperti dicubit, dipukul dengan rotan, disabet dengan penggaris kayu, dibentak dan sejenisnya.
Semuanya dilakukan dengan alasan klasik bahwa “Biar tidak cengeng”, atau “Biar Tahan Banting”.




Padahal, menurut Alfie Kohn dalam bukunya “Punished by Rewards”, anak-anak kita bukanlah hewan sirkus macam gajah atau harimau sirkus, yang harus terlebih dahulu didera baru kemudian mereka akan terlatih untuk menjadi “Tahan Banting.”

Padahal yang tersisa dari hukuman bagi anak adalah rasa pedihnya, baik di hati maupun di tubuh mereka. Hukuman bahkan seringkali meninggalkan trauma pada anak sehingga ketika mereka dewasa mereka akan menjadi takut atau mudah tunduk pada orang lain. Namun alasan di balik pemberian hukuman yakni kenapa anak musti mematuhi aturan, mengapa harus tegar justru hal penting yang seringkali terlewat.




Carol S. Dweck dalam bukunya Mindset memberikan tips yang cukup baik untuk mengajari anak agar bisa jadi RESILIENT.

Misalnya, ketika dalam ilustrasi kisah yang ia tulis menceritakan tentang seorang anak perempuan yang ikut kejuaraan gymnastic dan kalah. Memang saat itu keterampilan si anak dalam mengolah tubuh, kurang baik sehingga berulang kali ikut kejuaraan selalu kalah.



Hal istimewa yang kemudian dilakukan oleh sang ayah adalah Ketika ia mengajak anak perempuannya ini berbicara. Si ayah bertanya, “Seberapa pentingnya gymnastic Untukmu?” Ketika si anak kemudian berkata bahwa gymnastic adalah hal yg ingin ia lakukan karena ia menyukainya, dan ia ingin sekali bisa menang maka kemudian si ayah menanyakan pertanyaan berikutnya, “Seberapa jauh kamu akan berusaha?” dan si anak menjawab sampai ia bisa.



Si ayah kemudian mengatakan konsekuensi dari apa yg dipilih si anak, bahwa ia harus berlatih lebih keras, mengamati lebih keras, dan mencoba Gerakan-gerakan sulit lebih banyak lagi. Si anak menyanggupi lalu bersama-sama si ayah ia kemudian membuat jadwal latihan dan apa-apa saja yang harus dilatih. Setiap kali si anak pulang bertanding dan menemui kekalahan, sang ayah dan puterinya mendiskusikan di bagian mana si anak sudah berusaha dengan baik, dan di bagian mana ia harus meningkatkan keterampilannya dalam berolah tubuh. Butuh waktu lama, dan si anak masih harus menghadapi kegagalan-kegagalan sampai akhirnya ia dapat memenangkan pertandingan demi pertandingan.




Si anak perempuan ini, belajar menjadi “tahan banting” atau Resilient tanpa mendapatkan kekerasan. Ia diajak melakukan kegiatan maha penting dalam hidupnya, berpikir secara meta-kognitif. Sang ayah mengajarinya menganalisis di bagian mana si anak perlu meningkatkan diri, dan di bagian mana ia sudah melakukannya dengan baik, dan kemudian merumuskan bersama rencana tindak lanjut yang perlu dilakukan.

Keterampilan berpikir secara meta-kognitif ini tentunya juga akan berguna di kehidupan anak ketika dewasa. Kemampuan berpikir secara meta-kognitif yang diajarkan sang ayah sekaligus membentuk pribadi anak untuk tidak mudah menyerah.



Anak-anak kita adalah manusia-manusia mungil yang punya kebutuhan yg sama dengan kita, yakni kebutuhan untuk dikasihi. Karena dikasihi dan dicintai adalah kebutuhan psikologis primer dari setiap kita manusia. Jika kita sebagai orang dewasa tidak suka bila kita dipukul orang lain, lalu kenapa kita mengajarkan anak kita sendiri dengan pukulan?

Hukuman baik fisik maupun emosional, akan membentuk anak-anak kita menjadi pribadi yang patuh tanpa berpikir. Mari, jika kita masih mendidik dengan cara seperti itu (memberikan hukuman fisik), kita sama-sama belajar mengubah cara kita mendidik mereka agar bisa “Tahan banting” Resilient sekaligus belajar berpikir reflektif. Kenapa? Karena saat kita mendidik anak agar tahan banting dengan menggunakan pukulan, atau hukuman fisik lain maka kecil kemungkinannya HOTS (Higher Order Thinking Skill) bisa berkembang. Kemampuan berpikir secara meta-kognitif adalah salah satu keterampilan berpikir tingkat tinggi yang bisa berkembang jika anak sering diajak berpikir secara reflektif di mana kemampuan ini nantinya akan digunakan untuk dapat menganalisis sebuah situasi dan dalam proses pengambilan keputusan kelak ketika mereka dewasa.



Tentunya, sebagai orang tua atau pendidik kita ingin agar anak-anak kita menjadi pribadi yang tahan banting, namun masih tetap bisa melatih kemampuan berpikir tingkat tinggi mereka juga bukan?

Mulailah dari rumah kita sekarang, atau kita masih ingin memperpanjang generasi “pukulan” semuanya ada di tangan kita sekarang. Mulai sekarang atau nanti!!!
[Oleh: Evi Silvian Rospita – Penggiat Pendidikan]

Bibliography:
1. The New Taxonomy of Educational Objetive; Robert J. Marzano
Corwin, 2008.

2. Punished by Rewards; Alfie Kohn; 1995

Show Buttons
Hide Buttons