Scroll to Top
Komunikasi Untuk Membangun Kepercayaan Dalam Organisasi Pendidikan
Posted by maxfm on 13th Februari 2021
| 5109 views
Evi Silvian Rospita – Pegiat Pendidikan [Foto: Istimewa]

MaxFM, Waingapu – Kepercayaan (Trust) dalam sebuah organisasi mutlak diperlukan bagi organisasi manapun agar organisasi tersebut dapat terus bertumbuh seperti diungkapkan dalam salah satu artikel dalam Educational Leadership (April, 2015): Four Essential Practices For Building Trust.

Sebuah organisasi bisa tumbuh berkembang dengan baik bukan hanya karena visi-misi pimpinan yang baik, namun juga karena kesediaan seluruh anggota organisasi untuk dapat bersama menyokong dan melaksanakan hal-hal yang dapat membuat terpenuhinya visi-misi organisasi. Salah satu hal yang menghambat terjadinya perkembangan dalam sebuah organisasi adalah rendahnya kepercayaan bawahan terhadap atasannya. Ini berlaku pada organisasi manapun rasanya, bukan hanya di sekolah. Perubahan apapun meski baik adanya pastinya akan menghadapai resistansi dari anggotanya karena bawahan tidak punya cukup kepercayaan terhadap ide perubahan itu sendiri. Rendahnya kepercayaan bawahan ini dapat disebabkan oleh banyak hal.




Hal yang dapat merusak kepercayaan bawah antara lain cara berkomunikasi atasan. Cara berkomunikasi seperti apa yang sebaiknya digunakan untuk dapat membangun kepercayaan? Penulis akan memfokuskan kepada cara berkomunikasi kepala Sekolah dalam memimpin stafnya termasuk guru dan tenaga kependidikan lain di sekolah.

Mengkorporasi Peduli, Kompeten, dan berkarakter (3C: Care, Competence, Character) dalam Komunikasi Pimpinan Sekolah

Dalam artikel yang ditulis oleh Julie Peterson Combs dkk, dikatakan bahwa tugas dari seorang pemimpin adalah menginisiasi perubahan yang bermakna dalam sebuah organisasi. Perubahan yang bermakna ini akan memberikan kontribusi pada organisasi yang dipimpinnya agar dapat terus berkembang, pun dalam organisasi kependidikan seperti sekolah.



Dalam artikelnya dikatakan bahwa apabila pimpinan sekolah tidak mampu menunjukkan ia adalah kepala sekolah yang peduli, berkompeten, dan berkarakter (3C: Care, competence, character) maka ini akan menimbulkan kepercayaan bawahannya menjadi rendah.

Ilustrasinya seperti ini:

Dalam pertemuan rutin dengan guru dalam mendisain bahan ajar di masa pandemic, kepala sekolah menunjukkan bahwa ia kurang atau tidak memahami isi kurikulum kondisi khusus, sehingga kepala sekolah mengalami kesulitan memberikan bimbingan pada guru-gurunya. Dampak selanjutnya adalah bawahannya akan merasa bahwa kepala sekolahnya tidak kompeten yang kemudian berlanjut pada menurunnya kepercayaan guru.




Karenanya menjadi mutlak bagi para kepala sekolah untuk dapat terus memperbarui pengetahuan dan keterampilannya dengan hal-hal baru yang dapat membantu guru melaksanakan tugasnya.

Berikutnya adalah peduli. Kepedulian kepala sekolah pada guru juga mutlak penting. Kepercayaan guru kepada Kepala Sekolahnya akan turun apabila Kepala Sekolah gagal menunjukkan kepeduliannya. Kepedulian ini dikomunikasikan bukan hanya secara langsung, namun juga dikomunikasikan melalui perilaku kepala sekolah terhadap para gurunya. Ilustrasinya misalnya ketika kepala sekolah mengetahui salah satu gurunya sakit, dan tidak ada guru pengganti. Hal yang mungkin dapat dilakukan oleh Kepala Sekolah masuk ke kelas langsung di mana guru kelasnya berhalangan hadir. Hal lain yang dapat dilakukan adalah menghubungi guru yang bersangkutan, kemudian menanyakan kabar dan kondisi guru. Menanyakan apa yang bisa Kepala Sekolah bantu juga hal baik rasanya. Ketika guru dipedulikakan, maka guru akan percaya bahwa Kepala Sekolah menganggap apa yang terjadi pada mereka penting untuk Kepala Sekolah, dan bahwa guru adalah bagian dari sekolah yang juga penting. Apabila guru merasa ia adalah bagian penting dari sekolah, maka ketika Kepala Sekolah meminta guru melakukan hal baru maka guru akan merasa bahwa dirinya adalah bagian penting dalam perubahan baik yang diusung oleh Kepala Sekolah.



Selanjutnya adalah berkarakter. Apa yang kira-kira akan dirasakan guru apabila mereka mengetahui bahwa kepala sekolahnya suka berbohong? Sering terlambat? Suka sekali berceramah melakukan ini itu namun ia sendiri tak menjalankannya? Atau ketika Kepala Sekolahnya agak “genit”? Ya, tentunya di kemudian hari apa yang akan dikatakan oleh Kepala Sekolah akan tidak dipercaya lagi oleh guru. Nantinya, pun ketika Kepala Sekolah mengusung ide bagus maka guru yang akan melaksanakannya akan “ogah-ogahan” sehingga perubahan baik di sekolah tersebut pun urung terjadi. Disarankan agar Kepala Sekolah dapat benar – benar menunjukkan bahwa ia dapat melakukan sendiri apa yang ia ingin guru-gurunya lakukan. Ketika Kepala Sekolah meminta guru untuk bisa datang tepat waktu, maka Kepala Sekolah harus terlebih dahulu mampu datang tepat waktu ke sekolah. Ketika Kepala Sekolah meminta guru untuk jujur, maka tunjukkan bahwa ia layak dipercaya. Ketika guru-guru mengetahui bahwa Kepala Sekolahnya layak dipercaya, maka ide baik yang segar yang dapat membuat siswa atau sekolah menjadi lebih baik akan dilakukan guru dengan suka hati.

Mengontrol Reaksi Wajah



Saat menjadi guru antara tahun 2002-2018, penulis seringkali mendapati situasi dimana raut wajah Kepala Sekolah menjadi prediksi akan suasana hati dan bagaimana Kepala Sekolah akan memperlakukan kami, para gurunya. Misalnya Kepala Sekolah baru mendapatkan keluhan dari orang tua murid, kemudian keluar ruangan dengan wajah merah padam. Maka beberapa menit kemudian ponsel kami akan saling berbunyi, “Cuaca buruk mendung, sebentar lagi akanmasuk ruang kelas XYZ nih! Hati-hati”. Ini kemudian akan menimbulkan keresahan di sisi guru. Gampang diterka bahwa ketika guru resah, maka ini akan terbawa pada saat ia mengajar dan berhadapan langsung dengan anak-anak.

Karenanya, disarankan agar Kepala Sekolah dapat memonitor reaksi / mimik wajah yang ia tampilkan pada guru-gurunya.
Kepala Sekolah dapat berlatih menunjukkan wajah datar (Poker Face). Jika sedang dalam keadaan marah, tetap control ekspresi wajah. Dalam konsisi dalam tekanan (Stress), dianjurkan agar tetap dapat mengontrol tinggi suara kita. Disarankan agar tetap tenag, jangan menjerit atau berteriak.



Jika kita berteriak-teriak maka guru akan menganggap Kepala Sekolahnya sebagai pribadi yang tidak stabil. Apakah guru akan percaya pada keputusan yang diambil oleh seseorang yang kondisinya tidak stabil? Bayangkan jika dalam sebuah rapat Kepala Skelah memimpin rapat sambil menjerit dan berteriak agar guru mengerjakan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP)? Guru akan semakin stress, dan kekreatifitasan guru dalam mengembangkan bahan ajar akan tidak muncul.

Sekolah seperti organisasi lain butuh pimpinan yang mau belajar agar sekolahnya dapat berkembang sehingga dapat melayani kebutuhan siswanya dengan lebih baik lagi. Namun demikian, hal yang dipelajari Kepala Sekolahnya perlu didiseminasikan juga kepada para guru serta anggota staf sekolah yang lain karena Kepala Sekolah tidak mungkin melakukan perubahan sendiri. Karenanya menjadi penting agar para guru dapat memiliki kepercayaan pada Kepala Sekolah agar apa yang hendak dibangun dapat berhasil dengan baik. Tanpa kepercayaan, maka apapun yang diusung oleh Kepala Sekolah akan dikerjakan dengan kurang maksimal dan akibatnya perubahan baikpun urung terjadi.



Mari, kita kembali berefleksi, apakah cara berkomunikasi kita dengan guru sudah memperhatikan hal-hal yang akan menumbuhkan kepercayaan guru atau belum? Jika belum, ada baiknya kita mulai pelan-pelan berproses untuk berubah. Karena seperti pohon, Sekolah juga perlu pupuk untuk bisa tumbuh dan berkembang. Kepercayaan, adalah pupuknya.
[ Penulis : Evi Silvian Rospita – Pegiat Pendidikan ]

Print Friendly, PDF & Email
Show Buttons
Hide Buttons