Scroll to Top
Pandai Bahasa dan Pandai Berbahasa
Posted by Frans Hebi on 10th Januari 2021
| 1875 views
Frans W. Hebi – Penulis Buku Autobiografi Frans W. Hebi Wartawan Pertama Sumba, Pengasuh Acara Bengkel Bahasa Max FM [Foto: Heinrich Dengi]

MaxFM, Waingapu, Sekolah di Radio – Seorang pandai bahasa belum tentu pandai berbahasa. Demikian sebaliknya, orang yang pandai berbahasa belum tentu pandai bahasa.

Pandai bahasa di sini tidak dimaksudkan menguasai banyak bahasa (multi lingual). Tapi dimaksudkan menguasai suatu bahasa yang menjadi bahasa umum, bahasa pengantar, bahasa persatuan, atau bahasa nasional, dalam hal ini Bahasa Indonesia.




Penguasaan mencakup semua unsur kebahasaan seperti sintaksis dan semantik. Sintaksis adalah ilmu yang mempelajari tata kalimat. Kita mengenal ragam kalimat seperti kalimat berita, kalimat tanya, kalimat perintah, kalimat pengandaian. Ditinjau dari bentuk kata kerjanya, ada kalimat aktif dan kalimat pasif. Berdasarkan jenis kata predikatnya ada kalimat verbal dan kalimat nominal. Kalimat verbal adalah kalimat yang predikatnya terdiri dari kata kerja, seperti belajar, bermain, menonto, dll. Kalimat nominal adalah kalimat yang predikatnya terdiri dari kata benda, kata sifat, kata bilangan, kata ganti orang, kata keterangan.

Ditinjau dari lengkap tidaknya jabatan kata, ada kalimat sempurna dan kalimat tidak sempurna. Dikatakan sempurna kalau kalimat mempunyai subyek, predikat, obyek dan keterangan. Dikatakan tidak sempurna (kalimat elips) jika kalimat hanhya terdiri dari satu unsur, misalnya hanya subyek, atau predikat. atau obyek dan keterangan.

Masih ada lagi pembagian kalimat berdasarkan banyaknya jabatan. Yaitu kalimat tunggal dan kalimat majemuk. Kalimat majemuk cukup rumit karena ada kalimat majemuk setara dan kalimat majemuk bertingkat.




Setelah pemahaman berbagai macam kalimat, maka dengan sendirinya diharapkan agar pandai bahasa mampu menguraikan kalimat atas jabatannya, yakni subyek, predikat, obyek dan keterangan.

Menyangkut semantik atau kata. Menurut Aristoteles ada 10 jenis kata yang dipelajari juga dalam Bahasa Indonesia. Bentuk kata atau morfologi, sinonim, homonim, homofon, homograf, polisemi, etimologi/etiologi termasuk penguasaan semantik. Termasuk di dalamnya pemahaman makna kata yang mencakup sentral-meaning (arti pokok), marginal-meaning (arti samping), denotation-meaning (arti lugas), konnotation-meaning (arti tafsir), lexical-meaning (arti kamus), gramatikal-meaning (arti tatabahasa/nosi), usual-meaning (arti penggunaan), kontekstual-meaning (arti konteks), reflektif-meaning (arti refleks).

Dari konnotation-meaning ini lahir berbagai macam gaya bahasa seperti personifikasi, dispersonifikasi, litotes, eufemisme, hiperbolisme, metafora, klimaks, anti klimaks, paradoks, pleonasme, koreksi,alegori, ironi, sinisme, sarkasme. Gaya bahasa dalam Bahasa Indonesia sekitar 45.



Di samping gaya bahasa ada lagi yang disebut gejala bahasa, yakni perubahan bentuk kata tapi bukan perubahan secara morfologis karena pemberian afiksasi atau imbuhan. Gejala bahasa meliputi, protesis, penambahan fonem pada awal kata. Misalnya, lang – elang, mas – emas.

Epentesis, penyisipan bunyi dalam kata. Sebarang – sembarang, semakin – semangkin, sediri – sendiri, perajin – pengrajin, pelipur – pe3nglipur.

Paragoge, penambahan bunyi pada akhir kata: ina – inang, beli – belis, petua – petuah.

Afaresis, penghilangan fonem pada awal kata: tetapi – tapi, omnibus – bus, selamat pagi – pagi.

Sinkope, penghilangan bunyi h di tengah kata: sahaya – saya, dahulu – dulu, baharu – baru, tahadi – tadi, cahari – cari.

Apakope, penghilangan bunyi pada akhir kata: post – pos, import – impor, barabeh – barabe, sikut – siku, transport – transpor.



Metatesis, perubahan letak huruf dalam kata: rontal – lontar, kelikir – kerikil, lebat – tebal, lutut – telut, jepit – pijet, tara – rata.

Anaptikis, penyisipan bunyi e pada kata putra – putera, samudra – samudera, srigala – serigala, karna – karena.

Krasis, perubahan vokal a menjadi e pepet ( e lemah ): benar – bener, pintar –pinter, kamis – kemis, rabu – rebu, lazat – lezat.
(Dalam Bahasa Indonesia terdapat kurang-lebih 20 gejala bahasa).

Seorang pandai bahasa tidak cukup kalau hanya memahami segala teori kebahasaan seperti sudah disinggung. Karena ini baru penguasaan bahasa secara pasif. Seorang pandai bahasa dituntut penguasaan bahasa secara aktif. Yakni, mampu mntransfernya baik dalam bahasa tulis maupun dalam bahasa lisan. Bahasa tulis dimaksudkan mengorganisasi buah pikiran dan gagasan lewat mass media yang dibaca oleh umum. Sedangkan bahasa lisan mampu mengorganisasi pikiran dan gagasan lewat ceramah, pidato, kata sambutan, dsb.



Pandai berbahasa berarti, pandai atau trampil merangkai kata dalam berbahasa lisan (ceramah, pidato, kata sambutan, memberi nasehat, wejangan) sehingga enak didengar dan membuat orang terkesima, takjub, terpesona, kagum. Orang tertarik pada umumnya karena terdorong oleh kelincahan si pembicara mempermainkan kata-kata di samping isi pembicaraan juga turut mendukung. Padahal semua kata yang mereka pergunakan kita juga memahami. Tapi kelebihan mereka adalah ketrampilan memformulasikan kata-kata sedemikian rupa sehingga bertenaga. Ingat ungkapan, kata-kata itu punya kuasa, sugestif dan persuasif.

Bung Karno dikenal sebagai singa podium, ahli pidato. Beliau selain punya karisma juga sangat ahli dalam menempa kata-kata energik, mempesona dan didukung oleh vokal suara yang menggelegar membuat pendengar bertempik-sorak sejak awal hingga selesai pembicaraan. Tukang becak pun menghentikan kegiatan mereka untuk mendengarkan pidato Bung Karno walaupun hanya lewat radio. Itu atas kemauan sendiri dan bukan terpaksa.

Kita juga pernah mendengar atau baca tentang Hitler pemimpin Nazi dari Jerman. Dia seorang orator yang dapat menyihir pendengar lewat permainan bahasa dan alunan suara yang seperti guntur. Orang suka mendengarkan pidatonya bukan karena dia seorang diktator, melainkan mereka merasa rugi kalau tidak mendengarkan pidatonya yang berapi-api.




Banyak pelawak yang pandai berbahasa walaupun mereka bukan jebolan Akademi Publik Speaking, seperti halnya pandai bahasa tidak harus melalui Fakultas Sastra Jurusan Bahasa. Tapi mereka mampu memikat dan mengecok perut pendengar lewat rangkaian Kata-kata yang mereka tempa. Apa lagi mereka rata-rata punya sense of humor (bakat humor) sebagai bumbu pembicaraan yang membuat penonton, pendengar terpingkal-pingkal.

Semuanya ini bisa kita pelajari sejak dini, mendengarkan orang lain, meniru orang lain, dan terutama lewat pengalaman. Ingat ungkapan, Repetitio est magistra studiorum, bahwa pengalaman/pengulangan adalah guru kita. Penulis : Frans Wora Hebi [Narasumber tetap acara Bengkel Bahasa di Radio MaxFM Setiap hari Rabu, Penulis Buku Jejak Langkah Frans W. Hebi – Wartawan Pertama Sumba]

Show Buttons
Hide Buttons