

MaxFM, Waingapu – Semua orang Sumba pasti memikirkan Sumba tanah kelahirannya. Saya telah meninggalkan Sumba hampir 35 tahun di perantauan. Puji Tuhan saya menetap kembali di Sumba saat ini. Dan denyut nadi Sumba, “tana ole milla, ole dadi” menjadi pergumulan dan perenungan setiap detak jantung saya.
Bagaimana tidak. Jangankan untuk air pertanian, sebahagian besar masyarakat Sumba sangat kekurangan air minum. Tahun ini saja banyak mata air yg kering. Masyarakat mencari air minum di tempat yg jauh. Di tana righu, rakyat membeli air seriap hari 3 jerigen 10-20 ribu rupiah dengan uang hasil jual kemiri. Nasib daerah Laura, Loki dan lain-lain juga sama dalam urusan air minum saja.
Hampir 90% daratan Sumba tidak memiliki sumber air pertanian. Dalam kemarau panjang saat ini, masyarakat tidak produktif dan bahkan membeli sayuran dari pasar. Uang yang seharusnya untuk membeli beras dan pakaian anak-anak mereka, terpaksa dipakai untuk membeli air dan kebutuhan hidup lainnya.
Untuk mengatasi masalah air pertanian, air minum dalam kemarau panjang seperti ini, Sumba harus bangkit dengan gerakan pembuatan sumur bor di semua Sumba. Sumber-sumber air yg ada dinaikkan dengan tenaga matahari. Rakyat atau petani Sumba dapat mengerjakan sawahnya selama 12 bulan dalam setahun. Tidak seperti sekarang ini dimana petani Sumba hanya bekerja di lahannya selama 3 bulan setahun.
Hal lain yg memprihatikan juga adalah tingginya ancaman pengangguran bagi angkatan kerja kita, yaitu mereka yg memasuki usia produktif. Saat ini, anak-anak kita lulusan SLTA saja berkorban meninggalkan keluarganya untuk bekerja di luar Sumba termasuk menjadi TKI. Kita pada kondisi kehilangan angkatan kerja di satu sisi tetapi kita tidak mampu membuka lapangan kerja di sisi lain. Jadinya dana pendidikan kita diinvestasikan untuk kepentingan orang luar Sumba bahkan luar negeri. Betapa ruginya kita orang Sumba.
Untuk mengatasi penggangguran angkatan kerja, ditambah rakyat yg sudah tidak memiliki tanah, maka transformasi ekonomi di Sumba, dari ekonomi berbasis lahan ke ekonomi berbasis teknologi dan jasa HARUS segera dilakukan di Sumba. Apalagi Sumba sedang menghadapi kepadatan penduduk dengan pertumbuhan penduduk sekitar 1-2% pertahun. Berarti semua pemimpin Sumba harus dalam satu visi untuk memasuki penciptaan lapangan kerja lewat industri rumahan, industri kecil dan menengah. Hasilnya untuk kepentingan di dalam Sumba sendiri, substitusi barang luar Sumba dan kalau boleh menjual sampai di luar Sumba. Tidak ada jalan lain dan tidak boleh rakyat Sumba berjejal-padat dalam lingkup daratan Sumba yg hanya 1 juta ha ini. Belum dikurangi hutan lindung dan taman nasional.
SUMBA BANGKIT DENGAN “3 BISA”
Menurut Robert T. Kiyosaki, “Kekurangan uang adalah akar segala dosa”. Ini kondisi Sumba; kekurangan uang yg membuat kita terpuruk dari ekonomi sampai moral dan nurani. Sumba butuh pemimpin yg pandai mencari uang dengan cara membendung aliran uang pusat yang sudah masuk di Sumba agar tidak secepat kilat balik ke luar Sumba, juga segera memiliki selokan besar yg mengalirkan uang (di luar uang pusat) dari luar Sumba ke Sumba. Bendungan uang itu berarti menggenjot usaha di sektor riel agar arus barang tidak membanjiri Sumba tetapi Sumba mampu menyediakan sendiri kebutuhan pokoknya. Sedangkan selokan uang dari luar Sumba ke dalam Sumba berarti segera memasuki era transformasi ekonomi berbasis usaha rumahan sampai industri kecil dan menengah dengan produk-produk unggul yg laku di dalam dan di luar Sumba.
“BISA” ke-1: Pertanian Lahan Kering.
Sumba harus segera menjadi pusat pertanian lahan kering di Indonesia dengan pembuatan pabrik pembuatan kristal air. Bahan polimer pembungkus air ini dapat disiram di dalam tanah dan di atasnya ditanami tanaman apa saja. Ketika hujan atau ketika penyiraman, kristal air ini akan menyerap air sampai 300% dan tinggal di bawah akar tanaman sampai sekelilingnya kering. Jadi dalam tempo 15-20 hari tanpa hujan, kristal air ini akan menyuplai air kepada tanaman. Jika diaplikasikan pada tanaman jagung, misalnya, hujan sekali-sekali pun jagung tetap tumbuh tanpa kekurangan air. Di musim kemarau, penyiraman hanya dilakukan setiap 2 minggu sekali dan kita hemat air. Sumba bisa membangun industri kecil penghasil kristal air ini. Bahan bakunya melimpah karena basis dari produk kristal air ini adalah “selulosa”, dari bambu dan kayu, yang diolah menjadi CMC dan kemudian dibalut polimer menjadi kristal air. (Bukalah popok bayi anda, kupas dan tampung butiran kecil yg ada di dalamnya, sirami air dalam 1 gelas dan air akan kering. Itulah kristal air). Sumba bisa menjadi pusat teknologi pertanian lahan kering di Indonesia Timur.
“BISA” ke-2: ENERGI 4.G
Sumba sangat bisa bangkit menjadi daerah yang mandiri dalam bidang energi. Selama ini orang hanya mengetahui bahwa Sumba dan NTT pada umumnya kesulitan sumber energi. Jadi Sumba dan NTT sangat tergantung pada pasokan BBM dari pusat. Kita sedang di-“penjara” dalam kekerdilan pikiran karena ketergantungan energi yang dimaksud adalah energi fosil.
Saya tegaskan bahwa Sumba sangat mampu membangun teknologi energi termutakhir (cutting edge technology) yaitu teknologi energi generasi ke-4 yaitu 4.G; teknologi terkini di dunia saat ini. Sumba memiliki berlimpah-limpah bahan baku untuk teknologi energi 4.G ini.
Tidak percaya? Begini; teknologi 1.G itu adalah energi fosil. Lalu teklogi energi 2.G itu energi alternatif seperti sel surya. Dan teknologi energi 3.G itu adalah biofuel, termasuk bioetanol yg sudah kita kenal. Namun teknologi energi 3.G mengandung masalah besar: perebutan sumber makanan antar manusia dengan mesin. Jagung yg dihasilkan dijadikan biodiesel atau bahan pangan untuk manusia?
Teknologi 4.G adalah teknologi berbasis gas butana, yaitu biogas yg kita kenal selama ini. Namun, bukan biogas dari kotoran ternak tetapi biogas dari bahan-bahan kering seperti sampah, kayu dan semua yg mudah terbakar. Dengan sebuah alat yang namanya “gasifier”, gas butana dapat dialirkan ke mesin pembangkit listrik. Sekarang dikenal sebagai pembangkit listrik tenaga bio massa (PLTBM). Sampah pun menjadi bahan bakar mesin ini. Sumba dapat membuat pabrik gas butana dari bahan alam yang melimpah dengan hanya membangun mesin gasifier. Jika sampah dan semua bahan hidup dari semak dan hutan dapat dibeli pabrik, maka kita dapat memproduksi gas butana, dan lahan petani menjadi bersih, kota dan pasar juga bersih dan rapi. Ketika rakyat terlanjur membersihkan lahannya untuk dijual ke pabrik, lahan bersih tadi segera menjadi kebun.
Ketika gas sudah disimpan dalam tabung 5 kg misalnya, maka tabung-tabung gas itulah yang dijual ke masyarakat untuk menghidupkan mesin-mesin pertanian seperti traktor dan mesin pompa air bahkan motor dan mobil sekalipun. Sumba bisa mempercepat masuknya listrik di desa-desa dengan basis PLTG-butana dengan bantuan mesin mobil P120 dan mampu menghasilkan listrik sampai 300 kW.
“BISA” ke-3: UNIVERSITAS SUMBA”
Sumba harus bersatu yang didahulu oleh kesamaan flatform 4 bupati Sumba dalam upaya membangun pusat “hebat” yaitu sebuah universitas di tana Marapu yaitu UNIVERSITAS SUMBA. Dananya dapat berupa multi years dari 4 kabupaten. Sedangkan biaya kuliahnya dengan sistem kredit oleh bank NTT mengingat 4 kabupaten di Sumba memiliki beratus-ratus milyar rupiah di bank NTT. Ketika mahasiswa lulusan Universitas Sumba menyelesaikan kuliahnya, ke-4 kabupaten memprioritaskan lapangan kerja bagi mereka dan dengan pekerjaan mereka ini, pinjaman bank ketika mereka kuliah dapat dicicil sampai lunas. (Ini bukan ide baru dari mimpi gila, tetapi sistem ini telah mapan di Singapura misalnya. Putri pertama saya telah menikmati pembuatan skema fasilitas bank ini. Kini putri kami bekerja di Singapura dan sedang mencicil pinjaman bank DBS yg membiayainya selama kuliah di NTU Singapura).
Universitas Sumba harus menjadi pusat “hebat” dengan merekrut putra-putri terbaik seluruh Sumba. Kalau perlu dilengkapi dengan asrama mahasiswa. Fakultas terhebat kita adalah fakultas pertanian lahan kering dan sekaligus menjadi BENDERA unik Universitas Sumba. Dari bendera ini seluruh Indonesia Timur dan bahkan seluruh Indonesia mengenal Universitas Sumba. Kajian teknologi pertanian, budidaya dan di dalamnya pupuk, obat dan alat pertanian menjadi fokus fakultas ini. Di samping itu fakultas teknologi juga menjadi keharusan untuk menyediakan tenaga terampil untuk merawat dan mengadakan mesin-mesin dan alat untuk barang-barang teknologi yg sudah ada di Sumba. Untuk pendidikan guru dan vokasi lainnya kita biarkan bertumbuh dan berkembang pada lembaga-lembaga sekolah tinggi yang sudah ada.
Semua mahasiswa yang diterima di Universitas Sumba harus melalui seleksi ketat dan kita pilih yang terhebat dan terbaik. Di NTT, bibit jago IPA dan Matematika tersebar luas di pulau Sumba ini. Jika Sumba bersatu, universitas Sumba mudah didirikan.
Singkatnya, dalam kacamata ekonomi, universitas Sumba adalah bendungan uang. Uang kita tidak lagi mengalir deras ke luar Sumba untuk biaya kuliah anak-anak kita. Sedangkan industri kristal air dan teknologi energi 4.G adalah selokan uang yang mengalirkan uang masuk ke Sumba.
Jika semuanya berjalan dalam 5-10 tahun, maka kemakmuran bersama rakyat Sumba akan segera diteguk. Dari situ pembangunan ekonomi di atasnya, termasuk ekonomi kreatif, akan dilakukan oleh putra-putri Sumba yg kembali dari rantau dan bahkan lulusan universitas Sumba sendiri. Sumba akan segera bangkit menjadi terdepan di Indonesia Timur dan saat inilah PAD seluruh Sumba menjadi sangat tinggi dan layak menjadi Propinsi Sumba.
Di atas semuanya itu, ketika PAD satu Sumba terdongkrak tinggi, maka Universitas Sumba segera membangun fakultas teknologi informatika beserta seluruh derivasinya, menginspirasi lembaga pendidikan tinggi lainnya dan masyarakat umumnya dan pada saat itu Sumba ikut berkiprah era revolusi industri 4.0 yang telah kita hidup di dalamnya saat ini.
Salam satu Sumba!
Kebamoto
Salam, Sumba Bangkit!
Tulisan yg dimuat juga di acara ikbs Jakarta menyambut 2 Srikandi Sumba di Senayan.