MaxFM, Waingapu – Tidak direncanakan sebenarnya, Sabtu (01/12/2018) saya bertemu Ama, begitu biasa kami menyapanya yang punya nama lengkap Jeferson Tamu Ama(39th).
Siang itu rute saya dari Waingapu menuju desa Karera Jangga di Kecamatan Paberiwai yang ibu kotanya Kananggar, karena saya ada kegiatan dengan Tim Pendamping Inovasi Desa dari 8 Kecamatan di sana.
Perjalanan dari Waingapu agak tersendat perlahan karena jalan yang rusak parah setelah Laindeha ke Tana Rara dan ke arah Kananggar. Jalan yang dilewati kendaraan seolah berada diantara awan gelap dan kiri kanan jurang dalam.
Beberapa ruas jalan terlihat rusak berlubang dalam dan saat hujan terendam air hingga tidak terlihat dasar jalan. Mau tidak mau rakyat harus menikmati saja situasai yang sudah bertahun-tahun begitu dan tidak membaik. Kami bercanda selama perjalanan untuk mengurangi rasa kuatir akan jurang di kiri kanan jalan dengan sesekali bercerita dan melihat lokasi kendaraan yang jatuh di jurang dalam dan memakan korban jiwa, ada beberapa titik dalam perjalanan tempat jatuhnya kendaraan di jurang dalam.
Lokasi terbaru beberapa bulan lalu tempat jatuhnya truk ke jurang adalah di dekat salah satu Gereja sebelum masuk daerah Merdeka Tana Rara, dekat pohon cemara, truk yang membawa jambu mente sekira 6 ton dari Tawui terjun bebas dan jatuh ke jurang di situ, kata teman yang bererita, supir dan kerneknya meninggal.
Selepas Kananggar kami juga melewati tempat truk tronton yang memuat alat berat jatuh ke jurang, sekitar 2 tahun lalu, memang jalannya sangat menantang ke wilayah selatan.
Siang itu tiba-tiba saja saya ingin membeli kopi biji lokal, karena bertepatan Sabtu adalah hari pasar atau paranggang di Tanan Rara jadi saya meminta pengemudi untuk masuk ke arah pasar Tana Rara untuk sekedar membeli 1 atau 2 kg Kopi Robusta Sumba kalau saja ada. Yang terjadi semua kopi biji yang dijual di pasar itu dibawa dari Waingapu. Saya juga heran bisa begitu, padahal di sekitar sana merupakan lokasi terbaik tumbuhnya pohon kopi yang menghasilkan biji kopi untuk dinikmati warga, tapi apa dikata barang tidak ada.
Nah saat berkeliling pasar ini saya berjumpa denga Ama. Saat saya posting foto berdua dengan Ama di medsos dan mengatakan tentang Ama anak Muda Hebat dari Tana Rara mungkin banyak yang bertanya apa hebatnya Ama. Bahkan ada kawan dekatnya juga yang bertanya kepada Ama apa hebat mu sehingga di medsos Heinrch mengatakan itu.
Begini ceritanya.
Di Sumba, baik di kota ataupun kalau sempat berkeliling hingga ke desa, kita selalu bertemu dengan kuburan-kuburan batu. Bisa dalam kondisi di satu lokasi ada banyak kuburan batu, atau hanya ada satu kuburan saja.
Batu kuburnya biasanya tebal, lebar dan ditopang dengan kuda-kuda yang kokoh, untuk kuda-kuda atau penopang batu kubur bisa terbuat dari batu atau dalam beberapa tahun terakhir ada yang membuat penopang batu kubur dari beton campuran pasir, baru dan semen.
Selain itu di batu kubur biasanya terlihat ada ornamen atau pahatan berbagai gambar, ada yang gambar kura-kura, gambar buaya, gambar kuda, ayam dan lainnya. Pahatan gambar yang ada di batu biasanya dibuat berdasarkan siapa yang ada di dalam kubur, atau dari strata sosial mana.
Di batu kubur bisanya juga akan terlihat batu pahatan yang menjulang tinggi dengan berbagai ukiran, orang Sumba bisanya menyebutnya “Penji”.
Tidak banyak orang Sumba yang menggeluti bidang kerja ini, pemahat batu, apa lagi anak muda, baik untuk batu kubur, Penji dan sebagai ukiran yang ditaruh di depan atau di halaman rumah.
Jeferson Tamu Ama, atau saya biasa memangginya Ama Tana Rara saat ini setahu saya adalah sedikit diantara pemahat batu asal Sumba dan bekerja di Sumba.
Sudah cukup lama Ama Tana Rara menggeluti seni memahat batu Sumba dengan ukiran khas motif Sumba.
Saat tahun 2013 saya mengunjunginya di Tana Rara di sekitar rumahnya berjejer ratusan ukiran batu dari ukuran kecil yang bisa ditaruh di meja kerja sampai ukuran besar yang bisa diletakkan di atas kubur bahkan ada ukiran batu yang tingginya 5 meter.
Siang tadi, Senin (03/12/2018) saat saya kunjungi Ama Tana Rara di lokasi kerja seadanya di Tandairotu, Kecamatan Kambera Sumba Timur, Ama sedang mengerjakan pesanan ukiran khas Sumba di atas batu keras yang dipesan salah satu hotel di Sumba Barat Daya untuk mengisi salah satu ruang di hotel itu kata Jeferson Ama.
Kata dia, ukirannya di batu sudah tersebar di banyak tempat di Sumba.
“Kalau batu kubur yang saya kerjakan sesuai pesanan keluarga ada di banyak tempat, misalkan di Lewa, Tana Rara, Nggongi, bahkan smapai di Wai Hibur Sumba Tengah,” jelas Jeferson Ama.
Masih kata Jeferson Ama kepada media ini “Biasanya untuk batu kubur dan penji, batunya dibawa dulu ke lokasi kuburan, baru dipahat atau dipahat di lokasi sesuai permintaan keluarga.”
Selain batu kubur dan penji, Jeferson Ama juga membuat berbagai batu pahatan dengan berbagai motif untuk di ditaruh di halaman rumah bahkan di dalam rumah.
Salah satu batu pahatan karya Jeferson Ama ada di dalam ruangan siar radio MaxFM, bentuk pahatan batunya terlihat serang laki-laki diketahui dari pakaian adatnya ada ikat kepala dan sedang duduk bersila, orang Sumba bilang duduk “Harajawang”. Ukiran batu ini meskipun kecil tetapi bobotnya berat, dan kalau kita ketuk batunya berbunyi melengking, ini tandanya batu keras yan gtidak gampang rusak atau pecah.
Salah satu kesulitan utama mengerjakan pahatan batu ini kata Ama adalah karena lokasi pengambilan batunya yang jauh dari Waingapu dan jalan untuk sampai di Lokasi batu yang rusak parah, sudah cukup lama jalan rusak.
“Untuk membawa batu pelat dari Tana Rara ke Waingapu atau ke wilaya lain di Sumba, sangat beresiko, mulai dari persiapan ukuran batu, menaikkan di kendaraan dan perjalan ke Waingapu terlalau beresiko, terutama karena jalan yang rusak dan berkelok-kelok dengan jalan menurun tajam dan tanjakan yang tinggi dan sisi kiria kanan jurang dalam,” jelas Jeferson Ama, Senin (03/12/2018) kepada maxfmwaingapu.com
“Hari Sabtu lalu, saya batalkan membawa batu berukuran lebar 2.5M, panjang 4.5M dan tebal 0.5M, dengan total berat sekitar 9 ton dari Tana Rara ke Waingapu, karena hujaan lebat dan jalan rusak akibatnya jalan lincin, terlalu beresiko untuk kendaraan yang akan membawa batu tersebut ke Waingapu, saya takut truk yang saya sewa celaka di jalan jadi saya batalkan saja,kita cari hari lain untuk mengangkut batu tersebut,” jelas Jeferson Ama.
Kalau soal harga tegas Ama, dirinya tidak kaku, terkadang untuk kerja batu kubur, penji juga batu pahatan lain masih bisa dibicarakan baik-baik dengan pihak pemesan.
Masih kata Ama, saat ini untuk batu yang diukirnya sudah ada di cukup banyak tempat dan rumah yang ada di Sumba, dari Sumba Barat Daya Sampai di Sumba Timur ada yang di hotel, rumah tinggal, di pertigaan atau perempat jalan dan di sekitar jumah pejabat daerah.
Tentang alat untuk memahat, saya menlihat siag tadi Ama hanya menggunakan alat sederhana, untuk palu dari kayu yang diambil dari sekitarnya, ada linggis, besi pahat, itu saja tidak terlihat alat-alat canggih lainnya.
Secara pribadi saya sangat salut dengan semangat, usaha, kerja keras Jeferson Ama dan ini perlu dicontoh oleh anak-anak muda Sumba lainnya. Meskipun apa yang dikerjakan dirinya terasa sunyi, tidak diminati dan tidak banyak pihak melirik, Jeferson Tamu Ama terus bekerja dan menghasilkan karya-karya hebat. Bahwa keterbatasan alat, modal, lokasi kerja awalnya cukup jauh dari Waingapu dengan medan berat bukan menjadi halangan untuk bisa menghasilkan karya besar dan yang juga penting bawah apa yang dikerjakan lewat pembuatan batu kubur dengan pahatan motif Sumba, pembuatan penji dan batu pahatan lainya adalah untuk tetap mempertahankan nilai-nilai luhur budaya Sumba yang sudah terkenal sejak dulu kala dan tersimpan rapi dalam bentuk pahatan batu di batu Kubur dan Penji serta ukiran batu lainnya.