MaxFM, Waingapu – Pahilir, Kambera, Sumba Timur. Kalau diterjemahkan ke bahasa Indonesia kira-kira berarti serong, menyingkir, menghindar. Mengapa pahilir? Dan apakah hanya orang Sumba Timur yang mengenal pahilir?
Orang Kambera pahilir karena menurut tata krama, etika, adat istiadat dianggap tabu, terlarang, membuat aib. Jika dilanggar ada sanksi adat dan lagi sanksi sosial yang tidak bisa dihapus walaupun sanksi menurut hukum adat sudah diberlakukan.
Menurut tata krama suku Kambera, yang pahilir adalah bapak mantu dengan anak mantu perempuan, mama mantu dengan anak mantu laki-laki, isteri ipar (yera) dengan anak mantu laki-laki.
Menurut T. P. Munthe mantan Bupati Sumba Timur, di Batak Sumatra juga mengenal pahilir. Hal itu dikemukakannya dalam suatu pidato saat memperkenalkan diri pada masyarakat Sumba Timur. Beliau menceritakan peristiwa sewaktu mama mantu mandi di kali dan saat itu terjadi musibah. Mama mantu dibawa arus dan tenggelam. Kebetulan anak mantu laki-laki datang taoi dia tidak berani menolong gara-gara pahilir. Akhirnya mama mantu meninggal.
Mengapa masyarakat Kambera , Sumba Timur umumnya pahilir? Ini dikaitkan dengan kepercayaan meskipun pada mulanya tidak demikian. Ada jenis penyakit tertentu seperti hosa/sesak napas, panas tinggi yang dikaitkan dengan pelanggaran. Pelanggaran yang dilakukan oleh keluarga yang seharusnya pahilir. Misalnya duduk berdampingan, bertatap muka, kelakar, melayani sirih pinang, makan minum, memanggil nama, apa lagi berselingkuh.
Bilamana ada kasus pelanggaran yang tidak diketahui keluarga biasanya kalau sudah terkena penyakit si pelaku baru mau mengakui kesalahan. Yang menjadi biang keladi perbuatan adalah siapa yang lebih dahulu memulai. Lebih dahulu duduk di dekat, lebih dahulu melayani sirih pinang, makan minum, lebih dahulu omong. Untuk menghindari hal yang demikian harus memakai perantara, atau kalau terpaksa menyangkut sirih pinang, kopi dan makanan, simpan saja di tempat yang bisa dilihat oleh yang pahilir dan dia sendiri sudah paham, bahwa itu untuk dia.
Ada juga yang tidak mengaku terutama menyangkur selingkuh. Apa lagi kalau belum terkena penyakit. Untuk itu orang yang dicurigai akan dites/diuji secara tradisional. Cara mengetes, yang dicurigai disuruh makan kelapa kering dicampur beras. Kemudian disuruh meludah pada tameng atau nyiru tepat pada puncak garis vertikal. Jika air ludah tidak melewati garis horizontal tapi berhenti pada pertemuan garis vertikal dan garis horizonta yang berbentuk salib, maka orang itu dinyatakan bersalah dan harus mengaku. Dengan cara demikian orang yang melakukan pelanggaran tidak bisa lagi menghindar.
Cara yang kedua, dengan menaruh satu lembar daun pada telapak tangan si tersangka. Di atas daun diletakkan bara api atau sepotong besi yang membara. Jika dia tidak melakukan pelanggaran maka dia bisa bertahan. Tapi jika sebaliknya maka secepat dia menghempaskan bara api dan daun ke tanah yang disertai dengan pengakuan.
Di Kodi meskipun tidak ada pahilir ala Kambera dalam hal duduk berdekatan, berbincang-bincang, melayani makan minum, sirih pinang tapi dalam hal selingkuh dengan keluatga (yang kandung seperti bapa mama, saudara-saudari tidak perlu disebut lagi), seperti pangkat bapa, ibu, saudara-saudari, ipar, bapa mama mantu, juga ada sanksi adat. Jika ada anggota keluarga yang sakit panas tinggi setiap jam 4 atau jam 5 sore itu pertanda ada yang berselingkuh di dalam keluarga. Untuk jelasnya keluarga memanggil imam adat yang disebut Rato Marapu. Rato Marapu menyuruh bakar ayam sambil berdoa lalu mengamat-amati tali perut ayam. Jika ada yang berselingkuh dalam keluarga akan kelihatan tanda-tanda di tali perut ayam. Jika demikian, artinya ada gejala pelanggaran, maka Rato Marapu menyuruh supaya yang merasa diri harus pahingyo, art nya mengaku di muka umum.
Yang terasa tidak adil, hanya perempuan yang disuruh pahingyo. Semua ibu yang sudah bersuami selain anak perempuan yang sudah bersuami karena sudah masuk marga lain diwajibkan. Sebelum pahingyo Rato Marapu mengajukan pertanyaan-pertanyaan kepada para ibu yang dicurigai. “Nak, ibu, lihat ibumu, suamimu, atau meruamu, dsb. Apakah dia dibiarkan sampai mati? Sampai hatikah kamu membiarkan dia menderita lama-lama? Saya bertanya pada kamu demi peri kemanusiaan. Sudahkah kamu melanggar hal yang tabu dalam adat kepercayaan kita? Sudahkah kamu meracuni si sakit dengan perbuatan tercelah itu?”
Pada saat itu timbul perang batin di antara ibu-ibu yang ditanya terutama yang melakukan. Perasaan malu dan perasaan belaskasihan. Kadang berjam-jam penanya menunggu jawaban. Dalam kesempatan itu penanya mengamat-amati perubahan roman muka mereka. Dengan demikian ibu-ibu yang bersalah merasa tidak aman dan akhirnya mengaku.
Kalau belum ada yang mengaku, Rato Marapu mengadakan rote, yakni mengetes apa benar atau tidak. Seperti halnya di Kambera di sini juga digunakan tameng atau nyiru. Diatas garis vertikal para tersangka membuang ludah setelah mengunyah kelapa kering dan beras. Mengherankan, orang yang melakukan pelanggaran air ludahnya tidak akan melewati batas garis horizontal. Bahkan air ludah sama sekali tidak keluar. Tersangka tidak bisa lagi menghindar. Karena berdasarkan pengalaman rote tidak pernah meleset.
Khusus untuk perselingkuhan baik di Kambera maupun di Kodi yang melakukan denda adat adalah pihak laki-laki. Denda itu diwujudkan dengan memotong babi (Kodi menyebutnya tunu), dan menyerahkan satu ekor kuda kepada keluarga perempuan. Daging babi itu dimakan bersama dengan orang-orang yang mebyaksikan peristiwa itu. Di Kodi selain babi dan kuda juga ditambah satu lembar sarung kepada ibu yang diselingkuhi sebagai simbol melekatkan kembali pakaian yang ditanggalkan saat berselingkuh. Kemudian ibu yang berselingkuh disuruh menghadap orang tuanya dan meminta wawa kaluli, babi untuk pentahiran kembali ibu yang telah tercemar. Ini sebagai simbol buat orang tuanya yang salah mendidik sehingga melakukan hal yang terlarang.
Dengan adanya kepercayaan bahwa perbuatan seperti itu dan walau bagaimana pun juga dirahasiakan pasti akan diketahui, apa lagi mengaku di muka umum, suku Kambera khususnya Sumba umumnya yang menganut kepercayaan Marapu, paling tidak mengurangi untuk tidak dikatakan meniadakan sama sekali perselingkuhan.
Pahilir diperlakukan pada suku Sumba pada dasarnya untuk menghindari terjadinya perselingkuhan antara yang payera- layiangu , anak mantu perempuan dengan bapak mantu atau anak mantu laki dan mama mantu perempuannya. Berbica langsung atau bicara berdua, duduk berdampingan, berjabat tangan, berciuman, memberikan sirih pinang, kopi, dan makanan adalah hal yang tabu pada pihak yang pahilir. Kemudahan komunikasi dan perilaku tersebut dianggap memudahkan terjadinya perselingkuhan.
Jika perselingkuhan terjadi yera- layia dan sampai mempunyai anak perempuan maka ditakutkan bahwa akan terjadi perkawinan sedarah (incest) karena orang Sumba wajib untuk perkawinan ana tuya-ana mamu (orangtua perempuan dan laki-laki bersaudara). Keturunan dari perkawinan sedarah akan menderita penyakit bawaan dari kedua orangtuanya. Biasanya pada orangtuanya resesif (tersembunyi) dan peluang muncul (dominan) pada anak mereka. Penyakit bawaan biasanya buta, cacat mental, cacat fisik atau penyakit lainnya yg sifatnya menurun.
Sedangkan jika bapak mantu atau mama mantu dan menantunya tentu saja akan mengakibatkan pertengkaran dan permusuhan.
Kedua hal tersebut di atas orang Sumba percaya sebagai hukuman dari Marapu..
Pahilir berlaku hampir di seluruh Sumba. Hanya ada yang sudah perlahan menghilangkan karena dianggap sebagai kepercayaan Marapu tanpa melihat makna yang lebih jauh..
Menarik sekali norma2 adat sebagai kearifan lokal seperti ini untuk terus dihidupkan agar kita bisa menggali maknanya.kita semua berharap ada seminar budaya yg menggali aspek antropologi maupun sosiologi sumba.krn selama ini masih simpang siur tentang sejarah asal dari orang sumba,ada yang mengatakan dari Bima datang melalui tanjung sasar.namun dari kitab BO sejarah bima,di situ tidak ada informasi tentang orang2 suku bima/babuju yang melewati bima menuju tanjung sasar(bisa saja saya yang keliru,mohon maaf),tapi kalau dari segi kepercayaan dalam kitab BO Sejarah Bima tertulis bahwa hanya suku Sumba dan Bima yang memiliki kepercayaan yang sama terhadap marapu dan di bima di sebut prafu, sedangkan marapu menunjuk sebagai tempat berdiamnya prafu.oleh karena itu seminar kajian budaya sangat perlu,mohon maaf kalau ada penjelasan dari saya terdapat kekeliruan.kitab BO suku Bima mungkin bisa menjadi referensi pendukung.