MaxFM, Waingapu – MUNGKIN di antara pembaca ada yang pernah patah hati. Apakah itu berkepanjangan ataukah hanya sebentar karena segera diatasi. Yang bisa menjawabnya hanya anda sendiri yang mengalaminya. Tapi bisa juga oleh orang lain, misalnya sahabat paling dekat.
Patah hati atau broken heart, tidak mengenal usia. Tua-muda, besar-kecil, sama saja selama kita berinteraksi dengan sesama. Patah hati itu timbul karena hilangnya harapan ketika ditipu atau dikhianati oleh sahabat, kekasih, atau siapa saja yang telah menguber janji yang ternyata tidak dipenuhi.
Patah hati jika tidak diatasi dengan mengolahnya menjadi sesuatu yang positif sangat berbahaya. “Orang bisa mati karena patah hati”, kata Alex Garner seorang ahli ilmu jiwa kemasyarakatan. Karena itu kita harus berhati-hati bila mengalami patah hati
Dalam dunia cinta, in the loving world, misalnya, banyak sekali korban karena salah satu di antaranya berkhianat setelah menguber janji, yang lebih para adalah setelah ada ketelanjuran. Biasanya ada yang berbuat nekat, misalnya gantung diri, minum racun, atau terjun ke dunia lorong hitam, dan ini biasa dilakukan oleh kaum wanita. Ada juga yang bersumpah tidak mau kawin.
Saya punya pengalaman ketika masih kuliah di Yogya. Kawan jurusan saya, katakan saja, Ani dan Beti. Mereka duduk sebangku dan berkawan akrab. Nyoman (juga bukan nama sebenarnya) dari jurusan lain pacaran dengan Ani. Hampir setengah tahun (waktu itu kami sudah tingkat III), tanpa hujan angin Nyoman memutuskan cintanya.
Keruan saja Ani hampir histeri. Pasalnya Nyoman pacaran lagi dengan Beti sahabat Ani. Ini sangat melukai hatinya. Ani mendatangi saya lalu menceritakan segala unek seraya meminta bantuan. Apalah kemampuan saya karena saya bukan kanselor. Kebetulan di Senat Mahasiswa saya duduk di seksi Publikasi dan Dokumentasi yang menerbitkan majalah kampus dan sekaligus menjadi pemimpin redaksi. Saya minta supaya Ani menceritakan seluruh kisah cinta mereka dari awal sampai akhir yang membawa malapetaka. Saya juga meminta supaya dia berterus-terang mengeluarkan perasaan hatinya setelah dia dikhianati.
Jadilah. Saya terbitkan tulisan itu dalam majalah ARENA (nama majalah kami di IKIP Sanata Dharma). Tapi heran, sama sekali tidak digubris oleh Nyoman, malahan semakin membuat ulah yang menambah sakit hati Ani. Tidak ayal lagi. Ani berkeluh kesah. “Saya akan nekat kakak…”, katanya kepada saya. “Saya tidak tega menyaksikan mereka bermesraan di depan mata saya. Sepertinya mereka mengolok saya. Selamat tinggal kuliah, selamat tinggal Yogya”, kata Ani yang adalah anak yatim piatu asal Klasan sambil menangis sejadi-jadinya.
Setelah tangisnya mereda saya coba membujuk dia. Saya khawatir kata nekat yang dilontarkannya sebagai tindakan fatal. “Mbak ada kenalan atau keluarga di kota lain, atau bahkan di daerah lain?”, tanya saya. “Ada kak di Kalimantan di Jalan Panglima Batur, Balikpapan”, jawabnya. “Coba mbak ke sana dan dinginkan hatimu selama beberapa bulan. Jangan mengingat lagi kisah tragis itu. Lupakan saja. Tidak ada gunanya mengingat apa lagi menyanjung lelaki yang ternyata telah berkhianat. Itu kan namanya bertepuk sebelah tangan. Jangan mengatakan seluruh cintamu, seluruh hatimu telah Nyoman bawa. Bukan satu-satunya lelaki di dunia ini. Mungkin masih banyak laki-laki yang lebih mencintaimu dengan hati tulus. Cinta Nyoman kan sudah teruji, dia berkhianat. Mbak mengalami penderitaan sakit hati, sementara dia bangga bermesraan dengan pacarnya. Manusia yang tidak punya empati, tenggang rasa.”Semoga Tuhan memberkatimu”, kata saya.
Benar juga. Dia meninggalkan kuliah dan Yogya yang dianggapnya sebagai puing-puing kehancurannya. Enam bulan berselang, waktu itu sebulan lagi saya meninggalkan Yogya. Tiba-tiba dia datang berlari-lari menemui saya. “Kak, saya sangat senang tinggal di Balikpapan. Saya punya banyak teman dan diterima baik dalam pergaulan. Saya berlibur di Klasan dan tidak lama saya kembali ke Balikpapan. Jangan lupa berdoa terus untuk saya, dan selamat jalan ke Sumba, sampaikan salam saya buat keluarga kak”, pesan Ani.”Tentu saja”, tukas saya.
Saya meninggalkan Yogya tahun 1974. Sepuluh tahun kemudian, tepatnya 1984 datang suratnya. Dia hanya berspekulasi mengirim surat karena alamat saya kurang lengkap yang selalu dia baca di Harian Kompas (menurut pengakuannya). Alamat saya cuma, Lewa, Sumba Timur, NTT, dan suratnya sampai juga di SMP Ketrampilan Lewa tempat saya mengajar waktu itu.
Dia bercerita banyak tentang perjalanan hidupnya di Balikpapan. Diceritakannya dia telah bersuami dengan seorang pemuda Balikpapan yang sangat mencintainya. Pengusaha kayu Kalimantan, dan punya sepuluh cabang perusahaan di berbagai kota di Indonesia. Saya membalas suratnya sambil mengucapkan proficiat, dan selamat menempuh hidup dengan suami tercinta.
Satu bulan kemudian datang lagi suratnya. Dia menanyai saya apa di Sumba sudah ada LTH (maksudnya biro pengiriman barang dan jasa). Dia mau kirim sesuatu untuk saya. Entah mengapa saya tidak lagi membalas suratnya sampai hari ini. Mudah-mudahan dia tidak kecewa, dan mau memahami apa artinya ini. Yang saya harapkan mudah-mudahan dia selalu mendoakan saya. Cuma itu harapan saya.
Inilah sekelumit kisah cinta seorang mahasiswi, Fakultas Sastra Jurusan Bahasa Indonesia di IKIP Sanata Dharma tahun1974.
Kita kembali pada topik Mengolah Patah Hati. Orang-orang tua pasti masih mengingat lagu Patah Hati-nya Rahmat Kartolo di era tahun 60-an. Kami kutipkan empat larik pertama:
Patah hatiku jadinya
Merana berputus asa
Merindukan dikau yang tiada
Terbayang setiap masa
Lagu ini pasti punya alasan. Sama halnya dengan lagu How Gon You Mond A Broken Heart, (Bagaimana Anda Mengolah Patah Hati) gubahan Trio Bee Gees alias Gibbs Bersaudara. Mereka ini pernah mengalami patah hati yang parah. Tapi tidak berarti patah hati harus berputus asa dengan mengakhiri hdup. Lain halnya dengan lagu Lea gubahan The Cats . Lagu itu diciptakan karena terinspirasi atas meninggalnya Lea gadis pujaan salah satu anggota kelompok The Cats secara mengeneskan. Ketika The Cats mengadakan pentas musik di London, dalam hujan lebat Lea ngebut dengan mobil dari kota lain untuk menyaksikan kekasihnya beraksi di pentas. Mobil tergelincir dan menewaskan dia.
Di Indonesia kita kenal lagu Cinta Ini Membunuhku gubahan D’Masiv.Lagu itu diinspirasi karena cinta musisinya berulangkali ditolak. Lagu Maria ciptaan Kus-Plus (dulu Kus Bersaudara) untuk mengenangkan yang Maria meninggal karena kecelakaan mobil.
Demikianlah para seniman, konon pula musisi mempunyai cara tersendiri untuk mengolah patah
Hati. Malahan hasil olahan mereka menjelma menjadi hasil karya seni (lagu, roman, novel, cerpen, puisi) yang luhur, agung, yang dapat kita nikmati. Sehingga tragika manusia telah berubah menjadi sesuatu yang menyenangkan. Hakekat seni memang demikian, dulce et utile, indah dan bermanfaat.
Patah hati itu perlu dikelola, sebab jika tidak, akan berdampak fatal. Bukan hanya monopoli para seniman, orang awam pun bisa mengolah patah hati dengan cara-cara lain. Cara mengatasinya merupakan kompensasi agar tidak menimbulkan abses, trauma psikis atau luka jiwa.
Cara-cara mengatasi patah hati:
– Tekun mengerjakan hobi yang sudah ada, kalau boleh ciptakan hobi yang baru.
– Minta nasehat pada teman yang dipercaya. Mungkin dia menemukan jalan keluar.
– Menyibukkan diri dalam karya sosial, sebab dengan membantu orang lain kita akan merasa bahagia.
– Tingkatkan prestasi dalam pekerjaan. Jika anda adalah pelajar atau mahasiswa, jadikan belajar itu sebagai kompensasi untuk meraih prestasi yang maksimal.
– Banyak membaca buku, majalah dan surat khabar. Dengan membaca mungkin kita menemukan inspirasi baru yang bisa dimanfaatkan untuk mengatasi patah hati. Pernah seorang bapak dalam pelariannya, minggat dari rumah karena kemelut yang melanda rumah tangganya membaca cerpen Hati yang Tersalib. Setelah membaca akhirnya dia sadar lalu kembali ke rumah dan memikul beban salibnya.
Jika kita berpikiran positif, maka anggaplah patah hati itu sebagai riak gelombang dalam menempuh hidup. Sebuah mozaik atau romantika kehidupan yang membuat kita semakin kuat bilamana menghadapi tantangan yang lebih berat. Ingatlah, laut yang tidak bergelombang tidak menghasilkan sebuah panorama yang indah yang membuat kita bergairah dalam menempuh hidup. ( Frans W. Hebi )