MaxFM, Waingapu – Pertengahan Pebruari baru-baru ini saya didatangi seorang Ibu, Yuli Odeh namanya. Dia orang Jawa asal Sidoarjo, tapi kawin dengan orang Siria, Lebanon dan menetap di Mainz Jerman karena suaminya tidak mau wajib militer menurut peraturan negaranya setelah lulus sarjana di Jerman. Yuli juga kuliah di Jerman. Tadinya dia dosen Olahraga di UNESA Surabaya yang sebelumnya IKIP. Juga mengajar Olahraga Renang di SD Ciputra. Untuk mengambil S3 Yuli diwajibkan oleh Fakultasnya membuat disertasi tentang tinju tradisional di Indonesia dalam kaitannya dengan dopping.
Yuli bermaksud menulis disertasi tentang tinju tradisional Kodi. Sebelum ke Kodi dia mampir di rumah saya di Waingapu untuk wawancara soal tinju dan dopping. Wawancara berlangsung cukup lama. Saya jelaskan sesuai dengan apa yang saya ketahui. Ketika ditanya soal dopping saya jadi kikuk. Karena dopping yang biasa dilakukan para olahragawan (petinju, atlet) tidak dikenal di Kodi. Saya hanya menjelaskan, bahwa menyangkut dopping paling-paling orang Kodi makan sirih-pinang-tembakau, dan ini sudah merupakan konsumsi sehari-hari tidak menunggu saat bertinju. Padahal maksud Yuli dopping yang biasa dilakukan oleh masyarakat tradisional yang supranatural, magis dan karenanya sulit dites sebelum bertinju.
Ketika Yuli mewawancarai Bapa Lota Hangga (80 thn) keluarga saya di Kodi, barulah keinginannya terpenuhi. Seusai wawancara Bapa Lota Hangga memberi dia satu botol kecil berisi akar kayu yang diberi minyak. Dijelaskan minyak guna-guna itu bukan untuk diminum, melainkan dioleskan pada kepal tangan, atau ditiupkan pada ujung jari sebelum bertanding. Dapat juga botol kecil itu ditaruh di pinggang karena kerjanya misteri, supranatural. Semua petinju memiliki guna-guna penangkis yang disebut marapu patukung, guna-guna tinju.
Tinju tradisional Kodi
Sejarah tinju tradisional (patukung) sudah lama dikenal semenjak suku itu membumi di Kodi (Sumba Barat Daya) yang meliputi beberapa wilayah yang disebut kabihu (pengertian kabihu di Kodi berbeda dengan di Sumba Timur). Wilayah Kodi terdiri atas Kodi Bokol dengan sub wilayah Kodi Karendi, Kodi Bukambero. Kini dua kecamatan, Kodi dan Kodi Utara. Sedangkkan Kodi Bangedo dengan sub willayah, Pawungo, Balaghar, kini menjadi dua kecamatan, yakni Kodi Bangedo dan Kodi Balaghar.
Dari empat kecamatan (dulu masa kolonial Belanda terdiri atas dua kerajaan, Kodi Bokol dan Kodi Bangedo) mewarisi olahraga tinju dari nenek-moyang mereka. Tidak ada wilayah yang mengklaim, siapa saja boleh menggelar tinju. Lain halnya di Kabupaten Ngada, Flores, setelah mekar Kabupaten Nagakeo yang berhak menggelar tinju. Itupun hanya beberapa kampung yang mewarisinya sesuai dengan tradisi seperti Wolokobo, Watugesa, Raja dan Mbay.
Tinju tradisional Kodi yang disebut patukung digelar musiman, tidak menentu. Tapi bilamana ada pesta wolek (dulu) sudah pasti ada gelar tinju. Sekarang sudah berubah, sudah sangat jarang ada gelar tinju walaupun pesta wolek (potong kerbau ratusan ekor) masih berjalan terus.
Uniknya tinju tradisional ini, tidak ada promotor, hakim, wasit, tapi berjalan lancar. Petinju tidak boleh menggunakan sarung tinju, pengaman dada dan kepala. Tidak ada pakaian khusus kecuali kain yang dililit pada pinggang atau celana dalam, bajupun tidak. Kalau di Nagakeo, moyetu (petinju) menggunakan mubu (pengaman kepala) dan kaukasa (pengaman dada). Meskipun tidak menggunakan sarung tinju namun petinju menggenggam kepo yaitu sepotong kulit kerbau kering yang dibalut ijuk. Di ujung ada dua benjolan yang menonjol keluar yang dapat melukai lawan. Wasit disebut sike. Tugasnya menjaga agar dua petinju tidak sampai jatuh karena kalau sampai terjatuh itu pertanda buruk. Pembantu wasit disebut seka yang bertugas merelai kedua petinju jika terjadi pelanggaran, atau sudah sangat emosional.
Arena tinju tradisional Kodi tidak menentu karena biasa digelar pada musim kemarau. Di dalam kampung, di luar kampung, atau di alam terbuka pun jadi. Tidak ada ring seperti tinju modern. Petinju yang berhadapan dibatasi seutas tali hutan yang disebut mbatta, atau boleh juga dengan tambang biasa dari tali-temali yang berukuran besar. Panjang tambang pembatas mencapai 5 meter sesuai banyaknya petinju yang tampil. Jika hanya satu lawan satu cukup 2 meter.
Jumlah petinju sekali tampil bisa satu pasang, lima pasang, bahkan lebih terutama ketika situasi sudah gawat misalnya petinju-petinju idola banyak mengucurkan darah atau jatuh dan pingsan. Petinju-petinju dari kubu bersangkutan akan menyerbu masuk arena. Kubu sebelah juga demikian sehingga tambang pembatas jadi penuh. Kadang tidak berimbang lagi jumlah yang seharusnya, bisa terjadi 10 lawan 15 atau lebih. Jika demikian tampil yang merelai walau tidak ditentukan. Dia akan bertindak sebagai wasit.
Aturan main. Daerah alat vital sangat terlarang. Memukul belakang kepala, memukul lawan yang belum siap, memukul secara sembunyi diangap pelanggaran. Walaupun tidak ada hukuman karena tidak ada wasit, sanksi sosial ada. Mereka dicibir, diolok, karena perbuatan tercelah dan melanggar aturan. Pukulan lurus, jab-jab (habali marapung) dianggap pukulan bersih, dan kalau saja ada yuri itu yang dianggap bernilai. Memukul dengan gaya menampar (hapalu banggango) tidak masuk perhitungan, tidak bernilai, dikatakan patuku rawicongo, tinju seperti perempuan.
Tidak ada latihan
Latihan seperti yang dilakukan petinju modern tidak dikenal. Hanya berdsarkan keturunan, bakat atau sugesti orang lain. Misalnya anak-anak laki-laki umur SD biasa dihasut oleh orang dewasa untuk dijadikan tontonan. Keuletan seorang petinju tidak berdasarkan latihan tapi pada pengalaman setiap kali ada pertandingan.
Guna-guna, leu-leu, pu-pu
Setiap petinju memiliki guna-guna atau dalam bahasa tidak baku disebut leu-leu, pu-pu. Guna-guna yang secara magis diyakini membuat tahan pukulan, membuat lawan luka, berdarah, bengkak atau KO. Pemakaian guna-guna sangat dirahasiakan, sebab jika ketahuan akan dibuat antinya sehinga menjadi tawar. Guna-guna diperoleh dari petinju senior atau dukun spesial. Imbalannya ayam, babi atau uang. Imbalan dimaksudkan agar berkhasiat walaupun saat memakai tidak dirasakan adanya tambahan tenaga layaknya dopping cara modern. Modalnya hanya dengan keyakinan.
Cara pemakaian cukup dengan mengoleskan pada kepal tinju, pada wajah atau bagian-bagian tubuh yang rawan, ujung jari ditiup mengarah ke jantung, atau botol kecil yang berisi ramuan diselipkan di balik celana atau di pinggang bagi yang memakai kain.
Kalah-menang tahu sama tahu
Jika di Nagakeo yang walaupun menggunakan wasit (sike dan seka) tidak mengumukan siapa pemenang, sama halnya di Kodi. Lagi pula tidak ada yang berwenang seperti yuri dan wasit. Namun demikian, siapa kalah siapa menang menjadi pemahaman bersama di kalangan penonton yang jumlahnya kadang mencapai ratusan terutama jika gelar tinju berbarengan dengan pesta wolek. Yang menang tentulah yang banyak mendaratkan pukulan hingga lawan mengucurkan darah di hidung, mulut, bengkak, biru – blau di wajah sampai pada yang pingsan atau KO. ( Frans W. Hebi )