Scroll to Top
Bertanya (?)
Posted by maxfm on 13th Februari 2014
| 2559 views
Frans Wora Hebi, Senang Menulis, Narasumber Tetap di Acara Bengkel Bahasa Max FM
Frans Wora Hebi, Senang Menulis, Narasumber Tetap di Acara Bengkel Bahasa Max FM

MaxFM , Waingapu – Bertanya harus ada lawan bicara, Jika tidak, itu hanya monolog atau mengigau yang tidak perlu dijawab. Syarat bertanya harus sepaham bahasa sebagai alat komunikasi. Kecuali kalau menggunakan bahasa isyarat yang sudah umum. Karena akan terjadi mis komunikasi. Pernah ada orang Barat bertanya kepada orang Indonesia. “What’s your name?” Orang Indonesia yang sudah sering mendengar pertanyaan itu dan mengerti maksudnya, langsung menjawab. “Yudono” Orang Barat marah kenapa dijawab bahwa dia tidak tahu. Yudono ucapannya mirip dengan You don’t now yang berarti engkau tidak tahu. Jadi orang Barat itu dituding tidak tahu. Tapi kemarahan orang Barat itu segera hilang ketika orang Indonesia memperlihatkan KTP yang bertuliskan Yudono.

Model pertanyaan dipakai baik dalam dunia pendidikan untuk menguji kemampuan peserta didik maupun dalam dunia jurnalistik dikenal dengan 5 W dan 1 H (what, who, where, when, whay, how: apa, siapa, dimana, kapan, mengapa dan bagaimana). Kata tanya dasar dalam bahasa Indonesia ada dua, yaitu Apa dan Mana. Dari kata Apa dibentuk kata apa, siapa, berapa, kenapa, mengapa, betapa, diapakan, dipengapakan. Dari kata Mana terbentuk, dimana, kemana, bilamana, bagaimana, sebagaimana, dikemanakan. Semua bentuk pertanyaan tadi biasa diistilahkan metode Socrates. Mungkin karena Socrates kuat bertanya meskipun dia orang terpandai di Yunani pada jamannya.

Tujuan bertanya ada dua. Pertanyaan biasa yang menghendaki jawaban, dan petanyaan oratoris/retoris yang tidak menghendaki jawaban. Pertanyaan oratoris digunakan oleh singa podium/ahli pidato atau orator. Pertanyaan retoris digunakan oleh pengarang dalam buku atau dalam bentuk tulisan. Pertanyaan oratoris/retoris tidak perlu dijawab karena dari bentuk pertanyaan secara implisit sudah terkandung jawabannya. Kalau dijawab sebaliknya yang dimaksud akan menimbulkan rasa tersinggung. Misalnya pertanyaan oratoris berikut. Apakah anda menganggap saya ini gila, tolol? Maukah gaji anda saya tahan? Jika ada yang menjawab ya, dia harus berurusan dengan penanya. Karena jawabannya sudah jelas, tidak.

Berdasarkan terbuka-tidaknya jawaban, pertanyaan dibedakan:
1. Pertanyaan yang jawabannya terbuka. Artinya, banyak kemungkinan jawaban.
2. Pertanyaan yang jawabannya tertutup, tidak bebas, mutlak. Atau Ya, atau Tidak.

Dari ragam pertanyaan di atas, pertanyaan kedua yang terasa sulit. Karena bilamana salah menjawab, 100 % salah. Pertanyaan pertama masih memiliki kemungkinan benar walau tidak 100 % kalau menjawab salah. Model pertanyaan demikian biasanya menjebak. Sebagai contoh:

Seorang ahli matematika terlambat mencari jodoh meski sudah umur dewasa. Menyadari hal itu dia segera melakukan pendekatan dengan wanita yang dia simpati. Rupanya dia kurang berbakat bicara panjang lebar melainkan yang pragmatis saja. “Saya ingin bicara dengan anda apa ada kerelaan menjawab tiga pertanyaan saya?” Pintanya. “Silahkan!”, kata wanita tadi.

Pertanyaan pertama: + Bersediakah anda menjawab tiga pertanyaan saya dengan Ya atau Tidak?
Jawab: – Ya

Pertanyaan kedua: + Seandainya pada pertanyaan ketiga berbunyi, Maukah anda saya ajak malam ini untuk berdansa?
Wanita itu menyadari kalau dia sudah terjebak karena itu dia pasrahkan diri. Jika dia menjawab Tidak, tentu pada pertanyaan ketiga akan distel lain karena pertanyaan kedua hanya pengandaian. Misalnya, Tidak keberatankah kalau saya ajak anda malam ini untuk berdansa? Di sini jawab apa pun akan terkena. Jadilah pemuda itu menemukan jodoh dengan menggunakan pertanyaan jebakan.

Bobot pertanyaan

Ada pertanyaan naif, menggelikan, kekanak-kanakan. Sebenarnya tiak perlu dilontarkan. Ada pertanyaan nyasar tidak menyentuh permasalahan karena si penanya tidak tahu duduk persoalan.

Saya pernah ditanya siswa dalam pelajaran Ilmu Bumi Antariksa. Bintang-bintang itu hanya dapat dilihat pada malam hari, kata saya. Tidak benar pak, saya pernah melihat bintang di siang bolong. Bagaimana ini pak? Nyeletuk seorang siswa.

Ya, anda punya kelainan, kasat mata, (kebetulan biji mata siswa itu besar dan melotot), karena tidak semua orang bisa begitu, jawab saya.

Kali lain, siswa yang sama dalam pelajaran bahasa Indonesia. Kita disebut manusia, lalu ada binatang yang disebut manu (ayam). Mengapa begitu pak?

Saya menjawab. Itu kebetulan sama, bahkan ada manusia yang bernama Manu. Setahu saya kata manusia dalam bahasa Indonesia berasal dari kata Manu nama dewa dalam kepercayaan Hindu yang turun ke bumi dan berinkarnasi menjadi orang. Suku kata sia dalam bahasa Sansekerta menyatakan genetiv/milik. Manusia artinya milik Manu. Maksudnya, sosok, profil, figur, tubuh yang nampak dalam wujud orang.

Sering kita mendengar orang bertanya. Pertanyaan diformulasikan dalam kalimat panjang, berbelit sehingga nampaknya seperti ceramah kecil-kecilan. Akibatnya esensi atau inti pertanyaan hilang. Bila dia diminta menyederhanakan pertanyaan malah bingung. Ini pertanda kerumitan berpikir seseorang, tidak jernih, kacau. Karenanya butuh ketrmpilan menafsir bagi yang menjawab.

Pertanyaan yang menyudutkan, menyindir, menyinggung masalah pribadi, cacat, menimbulkan alergi, emosi serta konflik yang ditanya. Namun ada juga orang yang menjawab secara bijak tanpa memperlihatkan rasa tidak senang yang merusak suasana. Ini menunjukkan kepiawaian yang menjawab.

Jika pertanyaan sulit, bagaimana? Pertama, minta pertanyaan diulang sambil memikirkan jawaban. Kedua, kalau juga tidak bisa, apa salahnya jujur mengatakan maaf nanti lain kali saya usahakan jawaban. Ini jauh lebih baik karena tidak mengurangi kewibawaan yang ditanya dari pada menjawab ngawur yang nantinya dikethui penanya dan pendengar. Justeru ini yang menurunkan wibawah yang menjawab.

Pertanyaan berbobot tidak perlu komentar banyak. Pertanyaan-pertanyaan seperti itu akan membuka wawasan, memberi pencerahan yang bermanfaat baik penanya maupun pendengar. Kadang jawabannya sudah diketahui penanya, tapi dimaksudkan untuk berbagi dengan pendengar. Dan ini menunjukkan wawasan si penanya yang mengeksplorasi pengetahuan serta olah pikir yang menjawab.

Banyak bertanya punya makna ganda. Selain membuka cakrawala berpikir, juga akan menampung data pengetahuan sebanyak-banyaknya dalam memori/disket ingatan yang bisa direproduksi sewaktu-waktu bilamana diperlukan. ( Frans W. Hebi )

 

 

Show Buttons
Hide Buttons