MaxFM, Waingapu – Seandainya orang merasa yakin bahwa kepandaian itu hampir seluruhnya diperoleh dari hasil membaca, jelas orang akan keranjingan membaca. Ungkapan klasiknya orang menjadi kutu buku. Secara ekstrim diceritakan oleh Agus Setiawan dalam buku The Art of Reading, seorang sarjana yang baru saja lulus mengepak buku-buku kuliahnya yang telah menumpuk selama 8 semester dan bersumpah tidak akan membaca buku lagi.
Sikap sarjana tadi sangat memilukan. Timbulnya istilah pseudo intelek. sarjana gadungan, salah satu penyebabnya adalah sikap seperti ini. Selesai kuliah berarti tamat pula masa belajar. Sebuah ilusi yang menyesatkan dan akibatnya akan dirasakan sendiri. Slogan belajar seumur hidup bukannya sebuah pajangan mulut belaka namun diakui kebenarannya.
Kalau kita mengamati masyarakat sekitar, berapa orangkah yang suka membaca? Kecuali siswa/i, itu pun karena esok hari ada ujian (US/UN). Sesudah itu mereka tidak raba buku lagi, bahkan menjadi momok. Mereka lebih menyenangi hal-hal yang tidak produktif seperti nongkrong di deker, ngobrol tak berarti, nonton TV tak kenal waktu, lebih para lagi kalau bikin huru-hara.
Jepang dan Finlandia merupakan dua negara contoh di mana minat baca warganya tinggi. Di setiap sudut kota ada kegiatan membaca. Di mana-mana ada perpustakaan bahkan di dalam bis. Sambil menunggu bis, kereta api, pesawat, merekka memanfaatkan waktu luang untuk membaca.
Faktor-faktor penyebab menurunnya minat baca. Dalam buku Readicide: How Schools are Killing Reading and What to do About It (kira-kira artinya, Membunuh Minat Baca: Betapa Sekolah-sekolah Melakukannya dan Bagaimana Jalan Keluar), karangan Kelly Gallagher, menyebutkan faktor-faktor yang menurunkan minat baca orang-orang muda di Amerika. Negara Paman Sam terkenal tingkat membaca masyarakatnya tinggi (ingat Jimmy Carter dan John F. Kennedy, dua Presiden Amerika merupakan pembaca tercepat di dunia), namun masih ditemukan banyak faktor yang menurunkan minat baca.
Menurut Kelly, salah satu penyebnya, karena di sekolah guru selalu menuntut siswa untuk menghafal, dan memberikan soal ujian berupa pilihan ganda, (di Finlandia semua soal ujian berbentuk esai). Tuntutan menghafal setiap mata pelajaran menyebabkan siswa kehilangan kenikmatan dalam membaca. Dan hal ini bertentangan dengan kurikulum yang menekankan pemahaman dalam setiap materi pelajaran.
Sebagai konsekuensi, siswa akan kehilangan kreativitas dalam menjawab soal-soal esai, apa lagi kalau disuruh membuat karangan. Guru juga akan terbunuh seni mengajarnya karena dimanja buku-buku paket yang sudah menyiapkan lumbung soal model pilihan ganda.
Dalam wawancara Kelly dengan seorang guru, terungkap alasan menuntut siswa menghafal pelajaran, karena mengajari mereka untuk menghafal jauh lebih mudah dibandingkan dengan mengajarkan pemahaman. Tidak seperti Finlandia dalam menyampaikan materi pelajaran sangat diutamakan pemahaman.
Kebiasaan di Finlandia yang berdampak positif terhadap tingginya minat baca warga negara seperti ditulis Gamerman adalah sbb:
– Setiap ibu yang baru melahirkan diberi paket pertumbuhan anak oleh pemerintah termasuk buku.
– Di mal-mal ada perpustakaan, ada bis buku keliling sehingga masyarakat bisa mengakses buku dengan mudah.
– Anak baru boleh bersekolah dalam usia 7 tahun.
– Siswa jarang diberi PR yang lebih dari setengah jam.
– Tidak ada kelas khusus untuk anak berbakat, kecuali anak yang tertinggal dalam hal membaca.
– Guru memiliki kebebasan dalam merancang pelajaran.
– Membaca adalah hal yang biasa ditemukan di setiap sudut kota.
Faktor lain yang menurunkan minat baca juga ditentukan di kelas bahasa, kata Agus Setiawan. Saat materi pemahaman membaca (reading comprehension), guru terlalu sering meminta siswa berhenti di setiap paragraf untuk menjelaskan dan mendiskusikan pemahaman, bukannya mendapatkan gambaran umum, alur, dan informasinya dahulu. Akibatnya siswa tidak bisa menikmati dan mengikuti proses yang ada dalam materi bacaan dengan baik dan hanya mendiskusikan satu sudut pandang pemahaman yang terdapat dalam satu paragraf.
Muhammad Noer dalam Speed Reading for Beginners (Membaca Cepat Bagi Pemula), mengemukakan mengapa orang malas membaca. Alasannya, karena banyak waktu yang dihabiskan meskipun buku itu menarik. Mereka tidak tahan jika berhari-hari untuk menyelesaikan satu buku. Orang lebih suka yang instan berupa ringkasan siap pakai. Padahal banyak informasi berharga dari sebuah buku dan tidak cukup hanya dengan ringkasan.
Barangkali akan lain halnya jika kita mampu menyerap isi buku Speed Reading for Beginners, sebuah buku panduan membaca lebih cepat, lebih cerdas, dan dengan pemahaman yang lebih baik. Dalam buku itu dikatakan, buku setebal 300 halaman bisa diselesaikan dalam satu jam, bahkan kurang dai satu jam. Dengan ketrampilan baca kilat akan memotivasi kita untuk berminat dan merasakan kenikmatan membaca buku. Terutama kita menyerap banyak pengetahuan.
Banyak orang yang tingkat pendidikannya hanya SD, SMP, bahkan sama sekali tidak mengenyam pendidikan seperti Thomas Alva Edison, namun pengetahuan mereka tidak kalah, bahkan melebihi sarjana. Tidak lain, pengetahuan itu mereka peroleh dengan otodidak, belajar mandiri, yaitu lewat membaca. Apa lagi di era informasi seperti sekarang orang dapat mengakses informasi mulai dari buku, koran, majalah, tabloid, hingga dokumen elektronik seperti ebook, situs (web site), blog, ensiklopedielektronik. Banyak buku yang diterbitkan secara digital. Juga buku dari beberapa perpustakaan dunia tersedia di internet. Semuanya bisa diakses, tinggal kemauan.
( Oleh : Frans Wora Hebi – Penulis, Narasumber Tetap Acara Bengkel Bahasa Max FM Waingapu, tinggal di Kalu )