Scroll to Top
Masih Ada Yang Alergi Dengan Kata Perempuan
Posted by maxfm on 25th Juli 2020
| 1882 views
Frans W. Hebi – Penulis Buku Autobiografi Frans W. Hebi Wartawan Pertama Sumba, Pengasuh Acara Bengkel Bahasa Max FM [Foto: Heinrich Dengi]

MaxFM, Waingapu – Seminar yang membahas isu Kawin Tangkap itu Budaya Sumba dihadiri Mentri Pemberdayaan Perempuan, Wakil Gubernur NTT, empat Bupati se-daratan Sumba, para Kapolres, Dandim dan para tetua adat Sumba. Kejadiannya 2 – 6 – 2020. Dalam seminar itu seorang tokoh adat dari Sumba Tengah berkomentar dengan suara berapi-api bahwa dia tidak setuju dengan pendapat yang mengatakan Kawin Tangkap itu Budaya Sumba seperti halnya juga dengan para pembicara yang lain. Kemudian tokoh itu menyinggung kata perempuan yang menurutnya sangat tidak setuju kecuali kata wanita yang lebih cocok.



Terhadap ungkapan tokoh adat tadi Ibu Mentri Pemberdayaan Perempuan menyentil, bahwa apa yang dikatakan tetua adat, apakah itu perempuan atau wanita tidak menjadi masalah. Yang penting kita berbicara soal perempuan.

Mari kita simak menyangkut kedua kata tersebut, wanita dan perempuan. Kata wanita berasal dari kata wan dan ita. Wan artinya suka, dan ita (mempasifkan) yang di… Jadi, yang disukai. Selanjutnya kata wanita berubah bentuk menjadi betina sehingga menjadi kata kembar bukan sinonim.

Penjelasannya. Dalam Bahasa Indonesia ada hukum W – B. Kata-kata dari bahasa daerah atau bahasa lain yang memulai dengan huruf W dalam Bahasa Indonesia berubah menjadi huruf B. Misalnya, wangsa – bangsa, wula, wulan – bulan, watu – batu, wuya, woya – buaya, wuah – buah, wawi – babi. Vokal A dalam Bahasa Indonesia sering berubah menjadi vokal E seperti pada kata-kata lazat – lezat, sadar – sedar, Kamis – Kemis, Rabu – Rebo, takor – tekor, bagasi – begasi.

Kata nita dalam wanita dan tina dalam betina adalah gejala bahasa metatesis, perubahan letak konsonan tanpa merubah arti seperti tebal – lebat, lutut – telut, rontal – lontar. Jadi nita dalam wanita menjadi tina dalam betina, sehingga kata wanita sama dengan betina, dua kata kembar. Namun dalam pemakaiannya kata wanita untuk manusia sedangkan kata betina untuk dunia fauna dan flora.




Kata perempuan berasal dari kata empu, artinya tuan. Ingat Empu Gandring, Empu Bharada, Empu Sendok, Empu Tantular, Empu Sedah, Empu Panulu. Kata Empu dalam bahasa Sumba disebut Umbu. Umbu nai, artinya tuannya si Anu.

Kombinasi per – an dalam kata perempuan mengandung arti yang dituankan, tuannya laki-laki. Mungkin ada hubungannya dengan situasi ketika nenek-moyang kita masih hidup meramu, mencari nafkah berupa buah-buahan, umbi-umbian di hutan. Dan biasanya kaum pria yang melaksanakan tugas itu. Sedangkan kaum ibu tinggal di rumah menunggu hasil. Mereka belum mengenal kerajinan seperti menganyam, menenun, berternak, jadi hanya duduk nongkrong.




Menyangkut kedua kata tadi saya punya pengalaman sebagai guru Bahasa Indonesia di SPP Lindiwacu, Lewa Sumba Timur. Kejadiannya tahun 1984. Ketika saya masuk kelas saya dapati seorang siswi asal Waijewa Sumba Barat menangis. Saya tanya kenapa menangis, dia menunjuk seorang siswa. “Dia kasar sekali sama saya, Pak” tukasnya. “Kasar bagaimana?” “Dia bilang sama saya perempuan” “Menurut kamu?” “Wanita, Pak. Itu yang sopan”

Sebagai guru Bahasa Indonesia saya menggunakan jam pelajaran untuk menjelaskan kedua kata itu seperti yang sudah dibahas dalam topik ini. Lalu saya kembali bertanya kepada siswi tadi. “Sekarang kamu suka yang mana? Wanita alias betina yang disukai laki-laki atau perempuan tuannya laki-laki?” Dengan muka berseri-seri dia menjawab, “saya suka kata perempuan Pak” sambil mengucapkan terimakasih.



Mengapa ada orang yang alergi dengan kata perempuan? Padahal kalau kita membuka-buka majalah dan surat khabar zaman kolonial Belanda kata perempuan yang dipakai. Bahkan ada komunitas Persatuan Perempuan Indonesia.

Kata perempuan menjadi alergik bermula pada zaman pendudukan Jepang. Kalau laki-laki asal negeri Sakura datang ke kampung-kampung maka pintanya, puan…puan (maksudnya perempuan) di samping ona…ona (nona). Biasanya kaum perempuan lari dan bersembunyi di semak-semak.



Sekali peristiwa, kejadiannya di Kodi Sumba Barat Daya seperti dikisahkan seorang kakek orang Kodi, pria Jepang datang dan seperti biasanya meminta puan…puan. Tadinya dia melihat seorang gadis di balai-balai yang lantas naik ke rumah dan langsung ke loteng sambil membuka bubungan rumah. Ketika si Jepang sibuk mencarinya di dalam rumah, gadis itu turun perlahan-lahan ke tanah dan lari menyembunyikan diri di rumpun pohon pandan yang berduri. Maka selamatlah dia dari kejaran si Jepang. Kejadian yang demikian kiranya berlaku di seluruh Nusantara. Dari sinilah kaum Hawa mulai alergi dan trauma dengan kata perempuan. Padahal kata itu punya makna yang luhur. Suku Kodi menyebutnya rawi coyo. Rawi artinya pemula, perancang. Coyo, manusia. Dalam arti kaum perempuanlah yang pemula, perancang hidup manusia lewat mengandung dan melahirkan.




Bukan tanpa alasan mengapa negara kita menggunakan terminologi Mentri Pemberdayaan Perempuan. (Penulis: Frans W. Hebi – Penulis Buku Autobiografi Frans W. Hebi Wartawan Pertama Sumba, Pengasuh Acara Bengkel Bahasa Max FM)

Show Buttons
Hide Buttons