Scroll to Top
Demokrasi Elektoral: Reprensentasi Privat Vs Representasi Publik
Posted by maxfm on 31st Januari 2019
| 2242 views
Stepanus Makambombu, Direktur Stimulant Institute Sumba, Wakil Ketua Komisi Bidang IPTEK dan Lingkungan Hidup Dewan Riset Daerah Kab. Sumba Timur [Foto: Heinrich Dengi]

MaxFM, Waingapu – Demokrasi elektoral merupakan jalan untuk melahirkan pemerintahan yang melayani dan mensejahterakan rakyatnya. Ia menyediakan peluang menghadirkan pemimpin dan wakil rakyat yang dipilih untuk menjalankan sebuah pemerintahan. Kaya-miskin, tua-muda, laki-perempuan, orang perkotaan – perdesaan, buta huruf – melek huruf asalkan memenuhi usia konstitusional memilih sebagaimana diatur dalam undang-undang, memiliki hak dan peluang yang sama memilih pemimpin dan wakil rakyat. Yaitu mereka yang dianggap amanah dan mumpuni menjalankan mandat mulia yang diberikan rakyat untuk bekerja bagi rakyat nya.

Sayangnya harapan di atas tidak selalu sejalan dengan tujuan demokrasi elektoral yang substantif. Secara prosedural demokrasi elektoral tercapai, namun substansinya tereduksi karena jauh dari ekspektasi pemerintahan yang melayani dan mensejahterakan. Pencapaian ekspektasi hanya sebatas melaksanakan pilihan berdasarkan pertimbangan emosional sempit. Yaitu memilih karena alasan hubungan keluarga, kenalan atau tetangga baik tanpa mempertimbangkan kompetensi, rekam jejak calon pimimpin atau wakil rakyatnya.

Apakah pilihan mereka tabu? Tentu tidak, memiliki relasi keluarga, kenalan atau tetangga baik yang selalu membantu dalam berbagai hal adalah bagian dari modal sosial yang perlu dimiliki dan harus dipelihara setiap orang. Dalam relasi sosial antara individu dan kelompok masyarakat modal sosial tipe ini memiliki daya ikat (bonding) yang eksklusif. Berlaku diantara mereka yang memiliki hubungan sosial sebagaimana disebutkan di atas dan terjadi secara resiprokal (timbal balik). Jenis barang dan jasa yang dipertukarkan secara timbal balik sudah sama-sama dipahami besar dan jumlahnya. Spirit yang dibawa oleh modal sosial tipe ini berorientasi pada urusan-urusan privat.

Masalahnya ketika spirit modal sosial tipe ini ditransformasi pada konteks demokrasi elektoral menjadi bias. Karena demokrasi elektoral berbicara tentang kepentingan publik. Orang sering terjebak ketika menyamaratakan konteks pemanfaatan modal sosial pada wilayah publik dan privat. Dalam demokrasi elektoral tujuan dan orientasinya pada urusan-urusan publik yaitu bagaimana mengelola sumberdaya publik untuk kemaslahatan banyak orang. Oleh sebab itu, modal sosial yang dibutuhkan adalah modal sosial yang melampaui batas-batas eksklusifitas di atas, yaitu modal sosial yang inklusif (linking) dan berorientasi pada urusan publik.

Sayangnya, sampai sejauh ini kontribusi suara pemilih dalam demokrasi elektoral baru mampu merubah formasi kekuatan dan kekuasaan partai dalam parlemen dan pemerintahan pada aras lokal dan nasional. Tetapi belum mampu merubah perilaku berpemerintahan yang memenuhi prinsip-prinsip tata kelola pemerintahan yang baik dan benar. Akhirnya, peluang berharga yang dimiliki setiap orang yang hanya terjadi sekali dalam 5 tahun tidak selalu mampu dikapitalisasi untuk menghadirkan pemerintahan yang melayani dan mensejahterakan rakyat.

Buruknya hasil demokrasi elektoral ikut pula menjangkiti tata kelola pemerintahan baik dilevel birokrasi maupun parlemen. Hal ini dapat diamati pada sistem perencanaan dan implementasinya. Secara prosedural sistem perencanaan yang dijalankan berdasarkan UU No 25 2004 Tentang Sistem Perencanaan Nasional sudah canggih. Prosesnya bottom up dan berjenjang serta melibatkan partisipasi warga yang luas. Sayangnya, ketika dieksekusi hasil perencanaan tersebut mudah tereduksi dengan berbagai alasan. Mulai dari ketersediaan anggaran yang terbatas sampai pada perbedaan “warna baju” politik. Seandainya program tersebut dieksekusi akan mudah dibajak. Yaitu oleh mereka yang disebut sebagai kelas komprador. Mereka terdiri dari kelompok politisi maupun pengusaha yang bertransaksi dengan penguasa. Kelompok inilah yang akhirnya mendapatkan “manisnya” hasil perencanaan atau program, sementara “pahitnya” menjadi bagian rakyat.

Layanan publik dan kebijakan publik berkualitas sebagai “buah manis” yang diharapkan rakyat ketika mendelegasikan suaranya dari bilik suara justru menghasilkan “buah pahit”. Terjadi incompetency dan incompatibility dalam praktik penyelenggaraan pemerintahan yang wujudnya dalam bentuk pungli, korupsi, kolusi, nepotisme, wanprestasi, dan diskriminasi. Praktik ini bukanlah suatu rangkaian sebab- akibat yang berdiri sendiri, melainkan produk dari keputusan pilihan yang menyandarkan pada pertimbangan emosional sempit. Parahnya, produk dari pertimbangan pilihan yang emosional sempit tidak hanya berhenti pada tatakelola pemerintahan yang buruk tetapi bermuara pada masalah-masalah kemanusiaan. Seperti kemiskinan, kesenjangan sosial-ekonomi dan diskriminasi di kalangan rakyat.

Berpikir Ulang dan Bertindak Bijaksana

Dalam demokrasi elektoral setiap orang yang memenuhi usia konstitusional memilih, memiliki peluang untuk menentukan arah pemerintahan yang diinginkan. Bahkan peluang ini tidak datang hanya satu kali dalam hidupnya tetapi bisa berkali-kali. Sebut saja, rata-rata usia harapan hidup penduduk Sumba Timur berdasarkan data statistik mencapai 64 tahun (Sumba Timur dalam angka,2018). Usia konstitusional yang diperbolehkan untuk memilih yaitu usia 17 tahun (UU No.10 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum). Jika usia konstitusional ini ditarik sampai pada usia harapan hidup, maka setiap orang Sumba Timur memiliki kesempatan memilih lebih kurang sebanyak sepuluh (10) kali dalam hidupnya. Bayangkan jika selama hidup anda memiliki kesempatan sebanyak ini, apa yang akan anda perbuat dengan kesempatan ini? Bagaimana anda memaknai (investasi) kesempatan ini untuk membuat keputusan-keputusan bermakna, bukan saja untuk diri anda tetapi juga untuk orang lain dan kepentingan yang lebih luas?

Namun dalam praktiknya kita melihat orang memaknai kesempatan tersebut dengan cara yang berbeda-beda. Kelompok pertama, yaitu mereka yang melihat kesempatan memilih sebagai instrumen transaksional. Orientasi pilihannya pada ikatan-ikatan emosional karena kekerabatan, teman dan tetangga bahkan uang sebagai patronnya. Para ahli politik menyebut mereka sebagai pemilih tradisional. Mayoritas pemilih berasal dari kelompok ini. Kelompok kedua, yaitu mereka yang mengartikulasikan kesempatan ini sebagai sebuah investasi, yaitu investasi kebaikan dan kemanusiaan. Karena orang yang akan dipilih adalah mereka yang dianggap mampu meletakkan prinsip-prinsip tata kelola pemerintahan yang baik, dan berorientasi pada masalah dan solusi. Oleh sebab itu, preferensi dan orientasi pilihan pada rekam jejak dan kompetensi personal orang yang dipilihnya. Para ahli politik mengkategorikan kelompok ini sebagai pemilih rasional-kritis. Sayangnya populasi pemilih dari kelompok ini minoritas.

Masih dominannya populasi pemilih tradisional dibandingkan pemilih rasional-kritis bukan berita baik bagi tata kelola pemerintahan yang baik. Hal ini beresiko terhadap produk kebijakan publik yang dihasilkan kelak, yaitu kebijakan publik yang berpotensi gagal karena diproduksi (desain) oleh orang-orang “pilihan” yang incompetency dan incompatibility. Pada level birokrasi penempatan personal pada jabatan publik bukan didasarkan pada indikator orang yang tepat di tempatnya melainkan pada indikator transaksional. Orang dekat vs orang jauh, kawan vs lawan, suka vs tidak suka, loyalis vs anti loyalis. Pada level legislatif orang-orang “pilihan” diisi sekelompok orang mulai dari yang ingin belajar “membaca” (program, kebijakan dan anggaran) sampai pada yang ahli matematika proyek dan diplomasi “pokrol bambu”. Bagi kelompok yang belajar “membaca” lembaga legislatif dianggap sebagai tempat sekolah untuk belajar. Padahal hakikatnya berbeda. Ada perumpamaan mengatakan jika anda mengirim “sampah” ke sekolah maka keluarannya “emas”, sementara pada lembaga legislatif, sekali anda mengirim “sampah” keluarnya “sampah”.

Dalam konteks lokal, tanggungjawab publik negara (daerah) saat ini adalah bagaimana membangun dan mendukung kehidupan 252.704 jiwa yang tergabung dalam 46.486 KK penduduk Sumba Timur. Ada 31,03 persen atau + 78.780 jiwa masih hidup dan terpapar dalam kondisi kemiskinan dan kesenjangan sosial-ekonomi. Pengeluaran per kapita mereka untuk mememuhi kebutuhan anggota keluarga yang rata-rata berjumlah 5 orang per KK baru mencapai Rp 320.199 (Sumba Timur dalam angka, 2018). Mungkin saja anda adalah bagian dari mereka atau mereka adalah keluarga anda, baik yang hidup bersama-sama anda atau berada ditempat lain. Jika anda adalah bagian dari mereka, maka anda harus yakin bahwa situasi anda hari ini harus dan akan lebih baik dari hari-hari sebelumnya. Jika mereka itu bagian dari keluarga anda yang berada di pelosok-pelosok desa jangan menambah beban sosial ekonomi mereka. Kesempatan menolong dan menyelamatkan mereka adalah dengan menjadi pemilih yang kritis dan cerdas. Peluang itu sedang mendekati anda dan buatlah keputusan bermakna untuk anda dan daerah ini. (Stepanus Makambombu, Pengamat Kebijakan Ppublik dan Direktur Stimulant Institute Sumba)

Show Buttons
Hide Buttons