Scroll to Top
Fobia Itu Penyakit Atau Bukan?
Posted by Frans Hebi on 28th Desember 2016
| 4361 views
Frans W. Hebi – Pengasuh Acara Bengkel Bahasa Max FM [Foto: Heinrich Dengi]

MaxFM, Waingapu – Kata fobia (fobi) berasal dari phobia (Yunani, phobos) yang artinya takut. Menurut Jaya Suprana dalam buku Alasanologi, istilah fobia sering digunakan dalam bidang psikiatri yang mengungkapkan rasa takut berlebihan tanpa alasan yang jelas sehingga berakibat gangguan mental seperti achluophobia (takut gelap), acrophobia (takut tempat yang tinggi), agoraphobia (takut tempat tertentu), agyrophobia (takut menyeberang jalan), ablutophobia (takut mandi), claustrophobia (takut terkurung dalam ruangan), xeno-phobia (takut orang asing atau apa saja yang asing).

Ablutophobia (takut mandi), saya pernah mengenal seorang bapak dari Tanamaringi berbatasan dengan Kodi, kini Kabupaten Sumba Barat Daya. Dia mendatangi saya di Lewa untuk meminta bantuan di Departemen Agama Kabupaten Sumba Barat (waktu itu belum mekar), berikut di Kejaksaan Negeri, Kapolres, karena dia mau membuat hajatan besar-besaran terkait dengan peresmian aliran kepercayaan baru yang dipimpinnya yang dinamakan Kapose-Kawuku (Sang Pemersatu). Dia sendiri sebenarnya beraliran kepercayaan Marapu. Maksud minta bantuan agar saya menjelaskan kepada pihak-pihak terkait supaya bersedia memahami apa yang dia lakukan jangan sampai dikira mau merongrong pemerintah.

Karena banyak tugas yang harus saya selesaikan waktu itu saya minta dia bersabar selama satu minggu. Dia pun setuju dan menunggui saya untuk bersama-sama dengannya. Mengherankan. Beberapa kali anak-anak menyiapkan air mandi tapi dia selalu menolak. Kami mengira mungkin dia perasaan. Lalu saya memberanikan diri bertanya mengapa bapak ini tidak mau mandi. Dia menjawab, ini berbahaya. Karena begitu mandi hujan lebat akan turun dan tidak mau berhenti yang akan menimbulkan banjir bandang yang membahayakan. “Tidak apa-apa bapak, apa lagi sawah-sawah kami di Lewa sudah hampir dua minggu tidak kehujanan” Saya menggodanya. Lalu bapak yang bernama Bili Dangga ini mengatakan dia bisa mandi asal beritahu semua petani Lewa dan saya akan memberikan persyaratan.

Ini permintaan yang mustahil, bagaimana saya mendatangi setiap pemilik sawah di satu kecamatan. Kalau pun berhasil memberitahu semua petani ,jangan sampai persyaratan itu berupa materi. Dan apa lagi saya tidak percaya pada tahyul seperti itu. Setelah seminggu saya bersama-sama dengan dia ke Sumba Barat memenuhi keinginannya.

Xeno-phobia, takut orang asing. Tidak bisa disangkal bahwa orang Sumba pernah dihinggapi xeno-phobia, takut orang kulit putih yang dewasa ini disebut turis. Di Kodi namanya belle, di Waijewa ata kabukut. Takut turis atau orang berkulit putih ini berlangsung hingga tahun 1980-an. Mengapa orang Sumba takut orang kulit putih?

Sudah menjadi rahasia umum untuk seluruh Sumba tentang adanya prasangka buruk menyangkut orang kulit putih. Tahun 1985 sekitar bulan Maret saya diminta oleh Colyn Barthle dari Inggris, seorang speleolog (pencinta gua) untuk bersama-sama dengan dia mencari sebuah gua di Rakawatu yang bernama gua Patama Wai. Topografi/denah yang menyebutkan nama-nama gua di Sumba dia bersama 3 temannya menemukan di Belanda.

Dari Lewa ke gua Patama Wai kira-kira 10 km jarak. Colyn Barthle, saya, dan seorang Jawa, Iwan Baskoro, harus berjalan kaki karena waktu itu sulit kendaraan. Tiga orang lainnya, Sheala Hurt (perempuan), Rhu dan seorang profesor ahli biologi (lupa namanya), membentuk tim sendiri dan mencari gua di sekitar Wundut, Lewa . Sepanjang perjalanan kami melintasi beberapa kampung. Colyn Barthle terheran-heran karena setiap kali melintasi kampung-kampung dia melihat adegan yang sama. Seorang ibu atau bapak menyeret anaknya masuk dalam rumah. Belum lagi di sebuah kampung ada seorang bapak bertanya , turis itu mau bayar berapa sama kamu kalau mencari kepala anak seperti sekarang? Untung Colyn Barthle tidak paham bahasa Indonesia. Tapi saya sendiri heran masih ada saja pemikiran seperti itu. Saya katakan bukan cari kepala anak, melainkan cari gua. Dan dia menanggapinya dengan mimik tidak percaya.

Karena Colyn Barthle terus-menerus menanyakan mengapa anak-anak selalu diseret masuk dalam rumah setiap kali melihat orang asing, akhirnya saya jelaskan permasalahannya. Bahwa di Sumba ada prasangka kamu turis asing datang ke sini untuk mencari kepala dan darah anak-anak. “Untuk apa?” Tanya Colyn Barthle. Saya menjelaskan bahwa itu bahan untuk kabel telepon dan radio agar bisa mendengar suara manusia kalau berbicara lewat sarana itu.

Sepanjang perjalanan Colyn Barthle tidak henti-hentinya geleng kepala mengapa ada pemikiran seperti itu. Ini sama sekali tidak benar, katanya. Hari sudah malam dan masih sekitar 2 km baru dapat gua Patama Wai. Dan itu harus menuruni jurang terjal sedalam 150 meter untuk sampai ke dasar kali dan harus menelusuri beberapa ratus meter lagi. Apalagi di tengah hutan jauh dari manusia tentu banyak ular di situ. Dia juga membawa tali untuk turun ke dasar kali.

Karena sudah malam dan takut kalau terjadi apa-apa saya memaksa dia untuk bermalam di sebuah kapung yang penghuninya hanya satu rumah. Orang-orang seisi rumah gempar dan ketakutan melihat turis. Akhirnya saya berbohong . Saya menjelaskan bahwa turis ini datang mau melihat debit air sungai. Mungkin dia bermaksud mau menaikkan air untuk keperluan irigasi. Akhirnya mereka tenang. Dan esok pagi kami meneruskan perjalanan ke gua Patama Wai.

Sepulangnya ke Inggris (Whitington) dia menulis dalam majalah Speleologi (majalah tentang gua). Bahwa orang Sumba menganggap orang kulit putih kanibal, pemakan manusia. Majalah itu dikirim kepada kami di SMP Ketrampilan Lewa.

Ada lagi sejenis takut yang disebut venustraphobia, yakni takut wanita cantik. Kalau kita menyimak buku Alasanologi karya Jaya Suprana, ini sungguh tidak beralasan. Kalaupun ada, itu hanya alasan yang dibuat-buat. Kini lagi-lagi menyangkut orang Sumba. Ada yang takut wanita cantik. Tapi wanita cantik di sini menurut image orang Sumba tidak kasat mata, supranatural alias tahyul. Di Kodi misalnya ada wanita cantik yang disebut minya lemba (pontianak). Ciri-ciri, cantik, rambut panjang sampai betis, di belakang ada lubang sehingga rambut selalu tergerai agar tidakkelihatan lubangnya. Jika dia ingin menggoda seorang laki-laki, dia akan menjelma menjadi manusia, menjadi wanita cantik yang kasat mata. Dan laki-laki tadi yang tidak tahu-menahu menjalin cinta dengan minya lemba mengakibatkan dia gila. Dia tidak bisa betah tinggal di rumah melainkan jalan ke sana ke mari mau ketemu minya lemba, kekasih yang dalam bahasa sana disebut yora yang artinya isteri dalam imajinasi atau secara supranatural. Tapi kalau laki-laki itu tahu bahwa yang dihadapinya adalah minya lemba, dan agar minya lemba itu menjadi manusia sungguhan, rambutnya yang tergerai disingkapkan sehingga lubang di belakangnya kelihatan kemudian tancap paku di ubun-ubunnya. Dengan begitu dia bisa diperisteri dan lubang di belakang hilang. Tapi ini hanya sebuah dongeng yang mengasyikkan karena belum pernah terjadi.

Ada yang disebut hydrophobia (takut air), dalam ilmu kimia ada zat yang anti air. Dalam biologi (zoologi) anjing itu termasuk hydrophobia. Sekali peristiwa di asrama Pada Dita tempo dulu dua ekor anjing berkelahi dan tidak mau berhenti sehingga kelihatan sudah sangat parah. Bapak asrama dan beberapa anak nonton saja adegan yang sadis itu. Karena saya pernah baca dalam buku bahwa anjing itu termasuk binatang hydrofobi, saya lari ke dapur mengambil air satu ember lalu menyirami kedua ajing tadi. Ternyata mereka segera bercerai dan lari entah ke mana. Tapi akibatnya saya kena marah besar dari bapak asrama. Saya tidak tahu kalau bapak ini suka nonton anjing berkelahi. Ya, biar kena marah tapi saya telah berhasil mempraktekkan ilmu, hydrophobia.

Masih banyak phobia yang lain dan kalau kita menyimak tidak jelas alasannya atau katakanlah tidak masuk akal. .Misalnya hylophobia (takut pohon), chaetophobia (takut rambut), hemophobia (takut darah), geckophobia (takut tokek), triskaidekaphobia (takut angka 13).

Mengenai takut angka 13 yang biasa disebut angka sial pernah ada uji coba dengan maksud untuk membasmi tahyul. Pada tahun 1884 sekelompok warga kota New York nekat mendirikan club 13. Mereka menyelenggarakan pertemuan rutin pada tanggal 13 tiap bulan yang dimulai pada pukul 13.13 di suatu gedung pertemuan bernomor 13, dihadiri 13 anggota atau kelipatan 13, dengan iuran per anggota $ 13 per bulan.

Ternyata tidak terjadi apa-apa seperti yang ditakutkan. Meskipun sudah tidak terbukti pengaruh angka 13, sampai hari ini orang-orang Barat tetap saja percaya angka 13 itu abgka sial yang perlu dihindari, sampai-sampai tidak ada kamar hotel bernomor 13, paling-paling no. 12 a dan no.12 b.

Bagaimana dengan yang takut rambut (chaetophobia)? Lebih baik jangan jadi tukang gunting. Lalu rambutnya sendiri? Apakah selalu plontos? Kalau begitu konsumsi daun lamtoro saja setiap hari. Yang takut pohon sebaiknya hidup di padang gurun saja. Yang takut darah jangan jadi pejagal apa lagi membunuh sesama atau menumpahkan darahnya. Sehingga takut darah memiliki nilai positif.

Itulah yang disentil Jaya Suprana. Semua sikap dan tingkah laku manusia pasti ada alasan. Namun ada juga sikap dan tingkah laku manusia yang tidak beralasan atau tidak jelas alasannya. Yang terakhir ini yang disebut takut berlebihan tanpa kejelasan alasan sehingga berdampak gangguan mental yang penangannya di bidang psikiatri.

Dari penjelasan tadi dapat kita katakan bahwa phobia itu ada yang positif dan ada yang tidak. Segi positifnya, kita juga perlu memiliki rasa takut karena ada alasannya. Dewasa ini muncul sejenis takut yang disebut kapekaphobia, takut KPK. Dengan adanya rasa takut pada KPK mungkin ini punya dampak mengurangi untuk tidak dikatakan menghilangkan korupsi di negara kita yang secara mondial masih menduduki peringkat paling atas setelah Kamboja, Vietnam dan Filipina yang dianggap negara korupsi. Selama ini negara kita hanya disibukkan mengurusi para koruptor sampai-sampai ada rumor yang beredar supaya lambang negara kita yang tadinya burung garuda diganti saja dengan tikus yang melambangkan para koruptor yang nampaknya paling berkuasa di negara kita.

Phobia yang beralasan dan punya dampak positif bisa diperluas. Misalnya, takut penjara, takut melanggar hukum, takut neraka, takut membuat malu, takut tercoreng nama, takut merugikan orang lain, takut berbohong, takut hidup berpanas-panas. Kita bisa buat litani phobia yang panjang. Dari pada takut pohon, takut tokek, takut rambut. Atau yang terkait dengan diskriminasi ras, suku dan agama seperti judeophobia (takut orang Yahudi), sinophobia (takut orang Cina), negrophobia (takut orang berkulit hitam). Karena dengan demikian akan timbul kecurigaan, was-was, bahkan rasa benci yang ujung-ujungnya akan menimbulkan kekerasan bahkan menghilangkan nyawa orang lain.

Print Friendly, PDF & Email
Show Buttons
Hide Buttons