MaxFM, Waingapu – Beberapa hari lalu ada berita tidak resmi dari Sumba Barat Daya tentang perahu motor yang tenggelam. Empat puluh orang dari Sumba Barat Daya digaji oleh perusahaan untuk panen jagung di Sumbawa yang berhektar. Ketika akan pulang Sumba Barat Daya, sedianya mereka mau menumpang kapal laut. Tapi kapal yang sudah ada di pelabuhan tidak mau karena menurut kaptennya situasi kurang kondusif. Lalu mereka naik perahu motor walaupun dinasehati juga oleh kapten kapal.
Sebelum mencapai pelabuhan Waikelo, Sumba Barat Daya, perahu motor tenggelam karena arus dan gelombang terlalu kuat. Dikhabarkan 17 orang meninggal, 23 selamat karena saat itu ada kapal di lokasi kejadian. Bagaimana berita selanjutnya kami tidak mengikutinya karena TV kami lagi eror.
Hal inilah yang mengingatkan kami pada peristiwan 9 tahun yang lalu, juga di Sumba Barat Daya, Kecamatan Kodi. Semua awak perahu motor 9 orang nyaris tewas gara-gara tidak mengindahkan peringatan. Berikut kisahnya.
SEMINGGU sebelum kejadian, sebenarnya sudah ada berita TV dan radio yang menyiarkan agar masyarakat Indonesia bagian timur berhati-hati kalau melaut atau berlayar karena ada arus kuat yang membahayakan pelayaran.
Tapi para nelayan tradisional Pero dan sekitarnya tetap saja melaut karena itulah tumpuan hidup mereka. Sejak dulu kehidupan para nelayan Desa Pero Batang, Kecamatan Kodi semata-mata bergantung pada hasil tangkapan ikan dan cumi yang nantinya dijual untuk menyekolahkan anak dan pemenuhan kebutuhan lain.
Hari itu tanggal 1 Juli 2008. Sebagaimana biasanya para nelayan turun ke laut untuk menagkap cumi. Harga cumi cukup menjanjikan, Rp 40.000 per kg cumi kering. Ketika para nelayan sibuk dengan penangkapannya, tiba-tiba arus dan gelombang mulai terasa. Perahu-perahu yang lain bergegas kembali ke pantai. Dua perahu yang lain masing-masing Japaghene milik Dominikus Danga Ngara dan Berkata Doa milik Dorkas Holo masih sibuk menggulung pukat. Hasil tangkapan Japaghene baru satu karung, sementara Berkat Doa sudah beberapa karung.
Pada saat itulah kedua perahu malang kepergok arus dan gelombang dahsyat. Kedua perahu itu tidak bisa dikendalikan karena mati motor. Tanpa saling mengetahui dalam kegelapan malam keduanya terbawa ke arah utara menuju Gaura dan Pulau Salura Sumba Timur. Arus berbalik lagi dan mengembalikan mereka ke tempat asal dan terus ke selatan. Jam 1`.00 malam perahu Japaghene tiba di pelabuhan Waikelo lalu mebelok arah Australis, (jarak Sumba Australia 1125 km), dan akhirnya kehilangan arah. Dulu memang ada perahu dari Sumba terdampar di Australia.
“Kami tidak bawa bekal. Hari pertama kami makan 3 ekor ikan terbang yang terdampar ke perahu”, Kata Juragan perahu Berkat Doa, Yohanis Holo (35 th). Tapi apa artinya untuk ketiga awak lainnya, Dominggus Japaloka, Gerson Wungo dan Gabriel Ngguna Hari. “Untuk seterusnya kami hanya berdoa. Saat itu kami sangat dekat dengan Tuhan. Tapi terus-terang saja kami jarang ke gereja” Lanjut Yohanis Holo, yang menurutnya selama 6 hari hanya minum air laut, tapi anehnya tidak terasa asin. Rumput laut pun tidak ada yang melintas selama terbawa arus.
Untuk meringankan perahu dibarengi kepercayaan, maka mesin, pukat beserta cumi sekitar 500 kg dibuang ke laut sebagai sesajen buat Dewa Laut. Mungkin dengan cara itu mereka bisa tertolong. Pada hari ke-6 mereka mulai melihat daratan Bima. Saat itu juga datang kapal nelayan dari Lombok dengan kapten Muksin. Kepadanya keempat awak itu meminta bantuan. Pak Muksin membawa mereka ke Lombok Timur di Desa Labuan Haji. Itu terjadi pada 8 Juli 2008.
Perahu Japaghene memiliki 5 awak termasuk juragan Gheda Ganda (50 th). Keempat awak masing-masing, Martinus Rehi Ngguna (33), Lorens Ra Kailo (33), Paulus Pati Mabaha (22), dan seorang anak, Hermanus Hangga Toro (15). Kisah petualangannya hampir sama dengan perahu Berkat Doa. Cumi yang satu karung sebenarnya masih ada, tapi tidak layak dimakan karena sudah rusak. Pada hari keempat satu mesin dibuang ke laut. Selama itu mereka hanya minum air laut, dan menurut mereka juga tidak terasa asin. Hari kelima mereka buang satu mesin lagi bersama pukat dan peralatan lain.
Juragan Gheda Ganda memerintahkan anak buah agar mengumpulkan pakaian mereka untuk dibuatkan layar dengan harapan angin yang bertiup ke darat bisa mebawa perahu mereka.Tapi sia-sia karena angin dan arus berlawanan arah sementara arus lebih kuat.
Tanggal 6 Juli sekitar jam 4.00 sore ketika Pati Mabaha duduk di sangkila perahu dari jauh dia melihat perahu. Mereka melambaikan tangan hingga perahu mendekat. “Kami dari Sumba dibawa arus ke sini. Tolong hantar kami ke darat”, teriak mereka. Buhari, juragan perahu Pulau Meringkik 2002 segera membuang tali ke perahu Japaghene dan memindahkan mereka ke perahu yang satu. Karena terburu Hermanus Hangga Toro nyaris tewas terhimpit dua perahu.
Awak perahu Pulau Meringkik 2002 bersicepat melayani mereka makan dan minum. Untuk pertama kali perut mereka diisi setelah berpuasa selama satu minggu. “Di sini banyak perahu yang celaka”, kata juragan yang juga dari Lombok Timur. Tadinya mereka melaut di perairan Sumbawa dan baru satu ekor ikan yang ditangkap. Kelima awak itu di bawa ke Lombok Timur, Desa Tanjung Luar, Kecamatan Keruak. Itu terjadi pada 7 Juli. Kepala Desa Tanjung Luar, Daeng Hafifuddin Mukhtar menerima mereka seperti saudara sendiri. Hermanus yang cedera segera dibawa ke Puskesmas terdekat untuk dirawat.
Selama 3 hari di rumah sakit banyak keluarga Lombok berdatangan menjenguk pasien Hermanus. Mereka membawa makanan, pakaian, uang dan kebutuhan lain-lain. “Kami sangat berhutang budi kepada keluarga Lombok”, kata Paulus Pati Mabaha mengenang kembali peristiwa itu.
Meskipun jarak antara Desa Labuan Haji tempat keempat awak Berkat Doa dengan Desa Tanjung Luar hanya 10 km namun mereka saling tidak mengetahui keberadaan hingga saat itu. Sementara itu berita kehilangan kedua perahu sudah disiarkan lewat Metro TV dan media cetak seperti Kompas, Pos Kupang dan Lombok Pos.
HILANGNYA kedua perahu itu sempat menggemparkan seluruh keluarga, pemerintah desa, kecamatan dan Kabupaten Sumba Barat Daya. Berbagai upaya pencarian dilakukan, misalnya menyewa perahu motor untuk membuntuti kedua perahu tersebut. Atau menyewa orang dengan biaya Rp 2.000.000 untuk melacak ke Pulau Salura melalui jalan darat Sumba Timur karena ada berita tentang 17 perahu yang terdampat di sana. Tapi semuanya sia-sia.
Dukun pun dimintai bantuan. Semua dukun termasuk di Waingapu memberi harapan. Tidak ada bahaya, kata mereka. Dukun di Waingapu menggambarkan perjalanan kedua perahu itu. Menurutnya satu perahu yang nyaris tenggelam. Dan itu terjadi pada perahu Berkat Doa seperti pengakuan juragan dan awaknya.
Tanggal 7 Juli Pak Amin dari Pero menerima SMS dari Tanjung Luar, Kecamatan Keruak, Kabupaten Lombok Timur tentang adanya 5 awak perahu yang terdampar. Camat Kodi Ruben Radu Winyu, SM cepat melapor ke Bupati Sumba Barat Daya tentang berita yang menggembirakan. Bupati Ir. Emanuel Babu Eha, Drs. Antonius Umbu Zaza, MSI menganggarkan Rp 53.000.000 yang sedianya untuk kelima awak bersama penjemput Camat, Sekda, dan Dominikus Danga Ngara termasuk pemberesan administrasi di sana, serta tanda termakasih kepada saudara-saudara di Lombok yang telah membantu. Anggaran itu tidak termasuk keempat awak perahu Berkat Doa karena keberadaan mereka belum diketahui.
Ketika Sekda, Camat dan Dominikus D. Ngara tiba di rumah Kepala Desa Tanjung Luar, Daeng Hafifuddin Mukhtar tempat kelima awak Japaghene, terbetik berita bahwa di Labuan Haji ada 4 awak perahu yang diselamatkan dan kini menginap di rumah juragan Muksin. Dengan mencarter mobil keempat awak dijemput dan dibawa ke Desa Tanjung Luar. Setelah berpamitan dan berterimakasih kepada kedua Kepala Desa, kedua juragan dan kepada masyarakar setempat yang telah membatu, 9 awak perahu dibawa ke Mataram untuk diterbangkan ke Denpasar sebelum ke Tambolaka SBD. Dengan demikian biaya yang dialokasi dibagi lagi untuk keempat awak lainnya.
Di Mataram merka menginap di Hotel Lombok Garden dan Hotel Pusaka. Di sini banyak juga orang yang memberi bantuan, antara lain Umbu J. Dewantoro, Dara Monggo anggota Polri di Polda Mataram (asal Kecamatan Kodi). Para awak dibelikan pakaian, kemudian menyuruh mereka memilih sendiri masing-masing satu pasang pakaian. Itu buat kenang-kenangan dari Mataram.
Tanggal 13 Juli 2008 rombongan diterbangkan ke Denpasar. Dengan menumpang Riau Air Line dari Denpasar menuju Tambolaka Sumba Barat Daya dan mendarat jam 3.00 sore. Di bandara Tambolaka para keluarga sudah tidak sabar menunggu sejak jam 1.00. Beberapa bis, bemo, truk, dan puluhan kendaraan roda dua mengarak mereka sepanjang 40 km dari Tambolaka hingga Bondo Kodi ibu kota Kecamatan. Mereka menjadi tontonan menarik ribuan orang di sepanjang jalan. Dari ibu kota Kabupaten Sumba Barat Daya turut menghantar Sekda Drs Antonius Umbu Zaza, MSI, Agus Pandak, Kabag Umum, dan dr. Kornelis Kodi Mete bersama Ibu. Mereka disambut meriah dalam tangis yang hingar-bingar, tangis haru dan bahagia. Baik yang menghantar maupun ke-9 awak perahu diselempang kain tenun ikat Kodi.
Dalam arahan baik Sekda maupun Camat diungkapkan betapa orang-orang Lombok berhati mulia. Para awak diterima seperti saudara kandung. Betapa pengorbanan mereka baik materil maupun spirituil tanpa mengharapkan imbalan. Mengutip kata-kata Kepala Desa Tanjung Luar Daeng Hafifuddin yang diwakili Sekdes, Camat Ruben Radu Winyo menghimbau agar masyarakat Pero Batang hendaknya memelihara kerjasama dengan saudara-saudara baik dari Labuan Haji, Tanjung Luar, maupun dari Mataram. Hal ini dikemukakan mengingat banyak nelayan Lombok yang melintas di perairan Pero karena ada keluarga mereka yang tinggal di Gaura dan di Pulau Salura. Janganlah melarang atau mengusik mereka karena laut itu milik bersama. Tegas Ruber Radu Winyo.
Antara nelayan Pero Batang dengan Lombok sudah lama terjalin hubungan bisnis, misalnya membeli perahu dan pukat dari Lombok. Kedua perahu yang terdampar itu akan dihantar ke Pero Batang dalam waktu yang tidak lama seperti dituturkan juragan Muksin dan Buhari pada saat perpisahan.
Hubungan persaudaraan itu tetap dipelihara hingga saat ini. Kami jadi teringat sekitar tahun 1950 ada saudara-saudara kita dari Lombok mementaskan drama (waktu itu namanya sandiwara) di Bondo Kodi. Mereka disambut dengan gembira oleh Raja Kodi, Bapak Hermanus Rangga Horo. Kami tidak ingat lagi judul sandiwara ketika itu. Demikian juga lupa larik lagu mereka secara lengkap. Yang masih diingat dua baris lariknya:
Di Pulau Lombok, tanah tumpah dara
Yang kupuja sepanjang masa, dst.