MaxFM, Waingapu – Sumba mengenal istilah hamba. Sumba Timur menybutnya ata. Sama dengan suku Kodi di Sumba Barat Daya. Di samping ata ada juga kata tau, di Kodi toyo yang artinya orang. Awalnya kata ata sama arti dengan tau. Untuk membedakan orang yang rendah kedudukan, ata digunakan untuk hamba, taau atau toyo untukk orang pada umumnya. Suku Waijewa, Laura, Tana Maringi, Bukambero di Sumba Barat Daya tetap menggunakan kata ata yang berarti orang. Orang yang rendah kedudukan (hamba) disebut ata papatuka, yakni orang yang disuruh-suruh.
Sumba meengenal strata sosial. Di Sumba Timur, pembagiannya adalah sbb: Pertama, ratu. Bertugas mengatur ritual keagamaan berkenaan dengan kepercayaan kepada marapu, agama asli Sumba. Kedua, maramba, golongan ningrat. Ketiga, kabihu bokul, golongan yang berkeluarga besar dan kaya. Keempat, kabihu kudu, golongan yang keluarganya sedikit dan miskin.
Kemiskinan inilah yang mendorong orang memperhambakan diri pada yang kaya, seperti raja, maramba, dan kabihu bokul. Mereka akan bergantung sepenuhnya dalam hal makan, pakaian, dan kebutuhan lain. Untuk yang laki-laki dicarikan isteri, yang perempuan jika ada yang mau kawin dengan dia harus menetap di rumah tuannya. Karena itu seorang maramba akan memiliki banyak hamba. Hamba-hamba ini yang kemudian disebut ata ndai, ata maramba uma. Disebut juga pamawung, pakarahang, yang artinya orang yang berlindung, nebeng pada orang lain.
Meskipun mereka berstatus hamba namun mereka masih dihargai sesuai dengan besar kecilnya kabihu asal mereka. Tidak jarang mereka yang laki-laki dibolehkan mengawini permasuri raja atau maramba yang sudah meninggal.
Jika terjadi perkawinan antara maramba dengan kabihu, baik kabihu bokul atau kabihu kudu, maka hasil perkawinan ini disebut anamandamu. Hasil perkawinan antara raja, maramba dengan hamba disebut ana kala wihi. Penilaian masyarakat dalam arti status sosial anatara anamandamu dengan ana kala wihi sudah tentu berbeda. Kedudukan anamandamu lebih tinggi dari ana kala wihi.
Perhambaan
Perhambaan juga bisa terjadi karena orang tidak mampu membayar blasting (pajak) pada zaman kompeni Belanda. Raja akan lelang keluarga yang tidak mampu membayar pajak seperti terjadi di Kodi yang nilai lelangnya hanya satu ringgit (uang Belanda). Sejak saat itu satu keluarga memboyong satu keluarga untuk dijadikan hamba. Pencuri juga seringkali dijadikan hamba untuk mereka yang kepergok dan tidak mampu denda kepada pemilik barang atau hewan yang dicuri.
Salah satu penyebab membludeknya perhambaan adalah perang suku atau perang kabisu, atau perang antar kerajaan pada zaman Belanda. Perang yang melibatkan dua kerajaan di Sumba Timur, antara Mbatakapidu di bawah pemerintahan raja Umbu Ndai Litiata dengan Lambanapu di bawah raja Umbu Taralandu.
Peperangan tahap kedua lagi-lagi terjadi antara Mbatakapidu di bawah raja Umbu Pindingara yang dibantu oleh Belanda melawan Lambanapu di bawah raja Umbu Biditau. Lambanapu ketika itu kalah dan orang-orangnya ditawan, dijadikan hamba bahkan sebagian diperjual-belikan misalnya ke Bali atau Lombok. Contoh kasus, pada tahun 1862 Residen J. Ester kompeni Belanda memerangi orang-orang Ende yang disewa raja Kapunduku yang sedang melarikan ratusan tawanan perang dari pedalaman yang akan dijadikan hamba untuk diperjual-belikan ke Bali dan Lombok.
Orang-orang kalah perang dan dijadikan hamba ini disebut ata bidi atau ata lindilulu karena mereka ini diperjual-belikan dari tangan ke tangan. Agak ironis sikap Belanda yang awalnya mau menduduki Sumba dengan alasan membasmi prdagangan hamba. Ketika Belanda mengadakan kontrak lisan dengan 8 raja di Sumba (raja Mangili, Umalulu, Patawangu, Mbatakapidu, Kanatangu, Kapunduku, Napu, dan Lewa) dengan memberikan hadiah kepada meeka berupa tongkat, bendera, bedil; sebagai imbalan para raja menyerahkan masing-masing sepasang hamba laki-laki dan perempuan. Ternyata Belanda tidak menolak.
Papanggang yang kontroversi
Sejak dahulu sudah menjadi rahasia umum tentang adanya pemotongan hamba bila seorang maramba, raja, atau Umbu Nai meninggal. Makksud pemotongan hamba agar yang meninggal punya pendamping menuju praing marapu (surga). Isu lain mengatakan, hamba juga dikurbankan saat membangun rumah adat, tarik batu kuburmegalith, bahkan untuk bangunan modern sepeti jembatan. Pernah diisukan ketika jembatan Melolo (jembatan terpanjang di Sumba) dibuat, konon khabarnya seorang wanita cantik (hamba) yang diperlengkapi dengan perhiasan emas, pakaian yang gagah dijadikan tumbal dengan cor hidup-hidup pada penyanggah jembatan.
Terhadap isu-isu yang menyesatkan, Bapak Nggodu Tunggul, budayawan Sumba Timur, mantan Penilik Kebudayaan Kabupaten Sumba Timur menolak dengan tegas. Menurut dia, musyawarah I di Tanjung Sasar di kalangan pendatang baru yang menghuni Sumba telah meenetapkan 8 pedoman yang menjadi pandangan hidup dam kepercayaan. Pada point ketiga dalam pedoman itu ada hukum kasih. Point keempat menyangkut harkat dan martabat manusia yang harus dijunjung, dan point kelima tentang nilai dan norma dalam bermasyarakat. Tiga point ini jelas menggambarkan masyarakat Sumba sangat menghargai peri kemanusiaan. Tambahan pula dalam point keenam ditekankan keseragaman kepercayaan terhadap Sang Pencipta yang Esa. Seluruh masyarakat Sumba yang beragama Marapu (bukan agama Kafir) percaya pada Sang Pencipta yang Esa dengan sebutan, Mawulutau (Sumba Timur) yang berarti Pencipta manusia. Mawolo Marawi (Sumba Barat), artinya yang merancang kehidupan. Ada lagi nama lain Sang Pencipta seperti, mabakulu wuamata, mambalaru kahilu (Sumba Timur),
secara harafiah, yang besar biji mata, yang lebar daun telinga. Ini gambaran bahwa Sang Pencipta itu Mahatahu. Nahangat walimya, nahangat walwiti, yang mengukir jari tangan dan kaki, Kodi, (Pencipta manusia).
Bilamana point-point tadi dilanggar, dengan merendahkan, menghina atau membunuh sesama, ini artinya membuat dosa. Ini hanya bisa diampuni melalui pengakuan dan tobat kepada Umbu Walumandoku pengantara manusia dengan Sang Pencipta. Ini tercantum dalam point kedua. Bilamana tidak menjalani permnitaan ampun dan tobat, orang bersangkutan tidak bisa masuk praingu marapu (surga).
Yang benar – lanjut Nggodu Tunggul – papanggang arti harafiahnya “yang dilankahkan”. Maksudnya yang dipilih untuk menunggu atau menjaga jenazah tuannya, maramba, raja, sebelum dimakamkan. Penunggu atau pendamping diperlukan untuk menggenapi filsafat orang Sumba yang serba dua, paralel, berpasang-pasangan. Saat bayi lahir dia mempunyai pendamping, teman, meskipun secara kasat mata tidak bisa dilihat. Seluruh Sumba meyakini hal ini.
Di Kodi kalau bayi tertawa dalam keadaan tidur dikatakan dia lagi bercanda dengan kakaknya (pendamping yang tidak kelihatan). Jika muka sedih itu tandanya dia kalah dari kakaknya.
Penunggu jenazah harus hamba. Tidak dipaksa tapi menurut kerelaan. Biasanya yang paling dekat dengan tuannya. Jika maramba memiliki banyak hamba dan ramai-ramai mau menunggu jenazah, ratu mengadakan undian lewat upacara adat dengan memotong ayam.
Jumlah pengikut papanggang bervariasi dan harus berpasangan pria dan wanita. Bisa 1 – 1, 2 – 2, dan 4 – 4. Yang mengherankan saat jenazah mau dikebumikan para papanggang pingsan, bisa setengah jam atau satu jam. Setelah siuman mereka bercerita tentang pengalaman spiritualnya di alam gaib yang biasanya menakjubkan. Mungkin orang mengatakan itu direkayasa, dibuat-buat. Tapi bagaimana kalau yang pingsan itu kuda kesayangan atau ayam kesayangan yang meninggal pingsan seperti sering terjadi? Hanya bedanya hewan-hewan itu tidak bisa berkisah tentang pengalaman spiritualnya di alam gaib.
Sampai hari ini papanggang masih berlaku di Sumba Timur. ( Frans Wora Hebi )