Scroll to Top
Pembelajaran Terdiferensiasi, Tidak Bisa Tidak!
Posted by maxfm on 7th Oktober 2021
| 2363 views
Evi Silvian Rospita – Pegiat Pendidikan [Foto: Istimewa]

MaxFM, Waingapu – Setelah vaksin Covid-19 diberikan kepada sebagian besar siswa dan guru maka langkah berikut nya adalah kembali diberlakukannya proses Pembelajaran Tatap Muka. Hal ini dimaksudkan agar siswa dapat kembali mendapatkan haknya untuk belajar sehingga Learning Loss (Ketimpangan Belajar) paling tidak dapat diminimalisir dampaknya.




Permasalahan berikutnya apakah para siswa yang setelah hampir 1,5 tahun ini belajar dengan sistem Pembelajaran Jarak Jauh akan langsung diberikan materi ajar yang sesuai dengan level kelasnya saat ini?

Saat PJJ dan siswa belajar dari rumah mungkin kita semua sudah mengetahui bahwasanya tidak semua siswa memiliki kemewahan untuk mendapatkan dampingan dari orang tua maupun guru. Sebagai akibatnya pembelajaran yang dilakukan dari rumah hasilnya tidak begitu efisien, karena memang orang tua tidak bisa menggantikan peran guru dalam mengajar anak-anak di rumah. Ini artinya kemungkinan bahwa pencapaian kompetensi yang diharapkan dicapai siswa bisa jadi tidak dicapai. Misalnya ketika sebelum pandemi siswa kelas 1 yang sudah bisa membaca kata kemudian melalui proses PJJ selama 1,5 tahun dan Ketika naik ke kelas 2 kemudian malah kembali lupa alfabet dan kesulitan membaca kata.




Lalu apa yang akan terjadi jika kita memaksa anak-anak untuk langsung belajar materi kelas 2 saat anak-anak kembali belajar di sekolah dan melakukan Pembelajaran Tatap Muka? Siswa akan semakin tertekan tentunya sehingga hal yang diajarkan guru akan semakin sulit diserap oleh siswa.

Apa Yang Bisa Dilakukan oleh Guru?

Kata pemulihan belajar menjadi kata kunci yang harus difahami oleh pendidik. Ibarat orang yang baru saja sembuh dari sakit parah, maka kita tentu tidak akan langsung meminta orang yang bersangkutan untuk langsung mengerjakan tugas-tugas fisik yang berat karena bisa jadi ini akan membuat orang tersebut menjadi lebih sakit. Demikian juga halnya dengan anak-anak kita. Mereka baru saja kembali dari proses Pembelajaran Jarak Jauh di mana mereka belajar dari rumah dengan supervisi minimum dari guru dan/atau orang tua. Mari kita sama-sama pulihkan dahulu kondisi anak-anak seperti sebelum pandemi terjadi, baru kemudian kita pelan-pelan mengejar ketertinggalan.



Caranya?

Kembali dengan analogi orang yang sedang sakit, maka untuk bisa memberikan perawatan atau obat yang tepat maka biasanya kita harus mengetahui dahulu apa penyakitnya bukan?

Sangat penting bagi guru untuk mengetahui kesiapan siswanya dalam belajar. Di bagian mana anak tertinggal dan sedalam apa Treatment yang harus diberikan guru. Tes diagnostik atau Pre-Assessment perlu dilakukan.
Pre-Assessment atau tes diagnostik dapat diberikan dengan berbagai cara. Cara pertama adalah dengan memberikan tes tertulis singkat yang dapat siswa kerjakan. Untuk numerasi guru dapat membuat beberapa soal yang tingkat kesulitannya sama dengan kelas siswa kini, lalu soal berikutnya berisikan soal-soal yang tingkat kesulitannya 1 dan 2 level di bawah kelas siswa kini. Dari jawaban siswa kita bisa melihat di level kesiapan seperti apa siswa kita kini, apakah sesuai dnegan level kelasnya? Atau apakah siswa kita berada pada 1 level di bawah kelas siswa saat ini? Atau bahkan 2 level di bawahnya?




Untuk kemampuan literasi guru dapat memberikan teks bacaan pendek yang levelnya berbeda-beda. Misalnya guru menyediakan teks yang tingkat kesulitannya sama dengan level kelas siswa kini, kemudian 1 teks lain yang tingkat kesulitan 1 level di bawah kelas siswa, dan jika memungkinkan 1 jenis teks lagi yang level kesulitannya 2 tingkat di bawah kelas siswa saat ini.

Data dari tes diagnostik / Pre-Asessment ini kemudian dicermati guru dan digunakan untuk membuat materi/bahan ajar yang sesuai dengan kesiapan siswa. Strategi mengajar dengan pembelajaran terdiferensiasi (Pembelajaran Berbeda) diharapkan dapat mendorong siswa pelan-pelan dari posisi kini dan perlahan menuju target pembelajaran yang diharapkan.



Misalnya begini, siswa kelas 3 Sekolah Dasar diharapkan sudah menguasai perkalian namun berdasarkan hasil tes diagnostik diketahui ternyata siswa yang bersangkutan masih pada level penjumlahan berulang. Ini artinya guru dapat memulai pelajaran dari kesiapan siswanya kini yakni penjumlahan berulang meskipun ini sebenarnya adalah target belajar yang 1 tingkat di bawah kelas siswa kini. Jika ternyata ada siswa lain yang sudah bisa melakukan operasi hitung perkalian bagaimana?

Oleh: Evi Silvian Rospita – Pegiat Pendidikan



Show Buttons
Hide Buttons