MaxFM, Waingapu – Mau Kemana Pembangunan Sumba Timur? Sebuah pertanyaan klasik. Meskipun pertanyaan ini klasik, namun kontekstual dan mendesak untuk dijawab. Terutama ketika diperhadapkan pada dinamika pembangunan Sumba Timur saat ini. Apakah dinamika pembangunan yang sementara berjalan mengarah pada pencapaian visi dan misi daerah alias on the track atau out of track)?
Dudley Seers, seorang ekonom pembangunan terkenal dari Oxford, penulis buku The Meaning of Development pada 1970-an, mengatakan bahwa tolok ukur pembangunan sebuah negara berhubungan dengan ada tiga hal. Pertama, apa yang terjadi dengan kemiskinan; Kedua pengangguran; dan Ketiga, kesenjangan. Jika salah satu memburuk, sangatlah aneh disebut pembangunan meski pendapatan berlipat (Kompas, 12/02/2014).
Menggunakan “kaca mata” Seers, penulis ingin mengajak pembaca melihat bagaimana dinamika pembangunan di Sumba Timur selama beberapa tahun terakhir. Nampaknya orientasi pembangunan masih mengejar peningkatan produk domestik regional bruto (PDRB). Rasionalitasnya, melalui pertumbuhan PDRB yang tinggi akan berpengaruh pada pendapatan per kapita yang tinggi.
Saat ini, pendapatan masyarakat Sumba Timur berdasarkan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) per kapita saat ini mencapai + 19,95 juta (Sumba Timur Dalam Angka 2017). Pencapaian ini di atas rata-rata propinsi yang baru mencapai + 14,9 juta, namun masih berada jauh di bawah rata-rata nasional yang saat ini mencapai + 47,96 juta (BPS, 2017). Jika menengok lima tahun ke belakang kita menyaksikan terjadi kenaikan PDRB per kapita Sumba Timur yang cukup significant. Laju pertumbuhan PDRB per kapita mencapai 7,9 persen. Sayangnya, meningkatnya pendapatan per kapita diikuti pula dengan lebarnya kesenjangan sosial di antara penduduk.
*angka sementara
**angka sangat sementara
Berdasarkan garis kemiskinan yang ditetapkan pemerintah daerah sebesar Rp. 295.684 per kapita per bulan tahun 2017, menunjukkan jarak pengeluaran per kapita penduduk miskin untuk memenuhi kebutuhan hidup layak (dasar) dengan garis kemiskinan sangat besar, yang ditunjukkan dengan indeks kedalaman kemiskinan mencapai 6,96. Angka ini melampaui rata-rata indeks kedalaman kemiskinan NTT sebesar 4,69 (NTT dalam angka 2016). Fakta lain juga mengonfirmasi bahwa banyaknya jumlah penduduk miskin dengan kedalaman gap pengeluaran per kapita per bulan terhadap garis kemiskinan terjadi secara meluas, yang ditunjukkan dengan angka indeks keparahan kemiskinan mencapai 2,18. Lagi-lagi angka ini pun melampaui rata-rata indeks keparahan kemiskinan NTT sebesar 1,29.
Untuk melihat kesenjangan dimaksud dapat dilihat dari aspek lain,yaitu dengan membandingkan pergerakan pengeluaran per kapita penduduk berdasarkan kelompok pengeluaran. Data menunjukkan laju penurunan jumlah penduduk dengan pengeluaran per kapita dibawah garis kemiskinan selama 10 tahun terakhir mengalami perlambatan penurunan sebesar -18,7 persen. Sebaliknya laju pertumbuhan pengeluaran per kapita penduduk dengan golongan pengeluaran per kapita diatas Rp 500.000 per kapita per bulan dalam periode tahun yang sama mengalami percepatan kenaikan 35,6 persen. Artinya laju pertumbuhan penduduk dengan pengeluaran per kapita per bulan diatas Rp 500.000 jauh lebih cepat, sementara laju pertumbuhan penduduk untuk keluar dari garis kemiskinan jauh lebih lambat. Fakta ini mengonfirmasi semakin lebarnya gap sosial ekonomi antar penduduk dengan pengeluaran per kapita yang berada di atas garis kemiskinan dengan penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan.
Bagaimana dengan angka pengangguran? Kesempatan kerja yang terbuka merupakan peluang emas bagi setiap penduduk untuk memperbaiki kualitas hidup melalui pendapatan yang diperolehnya. Dalam 5 tahun terakhir ini kesempatan kerja di Sumba Timur cukup terbuka. Data angkatan kerja dan kesempatan kerja menunjukkan bahwa angka pengangguran relatif kecil dibandingkan jumlah penduduk yang bekerja.
Sumba Timur dalam angka, 2011-2015, di olah
Kesempatan kerja yang terbuka memungkinkan lebih banyak orang bekerja dari pada yang menganggur. Mestinya kesempatan yang besar berkontribusi positif terhadap penurunan angka kemiskinan. Namun dalam kasus Sumba Timur hal itu tidak terjadi, lebih banyaknya penduduk angkatan kerja yang bekerja belum memberikan kontribusi positif terhadap penurunan angka kemiskinan.
Ada beberapa dugaan sementara untuk menjelaskan hal ini. Pertama, pendapatan yang diperoleh penduduk yang bekerja masih jauh dari standar upah guna memenuhi kebutuhan dasar mereka; Kedua, standar upah yang tidak cukup diikuti pula dengan tingginya angka inflasi, sehingga makin sulit bagi masyarakat akibat mahalnya biaya untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka; Ketiga, mayoritas tenaga kerja bekerja di sektor pertanian, pada umumnya bersifat subsisten dengan sistem produksi yang tidak berorientasi pasar. Barang-barang yang diproduksi sekadar cukup untuk dikonsumsi sendiri dan tidak dijual untuk memenuhi kebutuhan hidup dasar. Kombinasi dari ketiga penyebab di atas menciptakan ketidakmampuan masyarakat memenuhi kebutuhan dasar mengakibatkan mereka jatuh pada situasi kemiskinan.
Menengok angka kemiskinan yang sementara terjadi di Sumba Timur menunjukkan sebuah trend yang terus meningkat. Sebuah kondisi yang berlangsung paradoks. Pada satu sisi jumlah dana yang masuk ke desa semakin tinggi ternyata belum berpengaruh positif terhadap penurunan angka kemiskinan. Bahkan pada tahun 2017 jumlah penduduk miskin mengalami peningkatkan sebanyak 24 orang dibandingkan pada tahun sebelumnya.
Sumba Timur Dalam angka, 2007-2017, diolah
Meningkatnya jumlah penduduk miskin menyulitkan pemerintah daerah memenuhi target Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJMD) 2016-2021 yang merupakan turunan dari Visi dan Misi bupati terpilih. Sebagaimana terbaca dalam dokumen tersebut, target pemerintah daerah untuk menurunkan angka kemiskinan pada posisi 25 persen di tahun 2021 yang saat ini berada pada posisi 31,43 persen. Fakta menunjukkan bahwa selama kurun waktu + 10 tahun terakhir kemampuan pemerintah menurun jumlah penduduk miskin baru mencapai + 1094 orang per tahun atau 50 orang per kecamatan per tahun atau 7 orang per desa per tahun. Dalam kurun waktu + 3 tahun kedepannya, terhitung mulai saat ini pemerintah daerah dituntut menurunkan angka kemiskinan sebesar + 5 persen agar target RPJMD tercapai. Mungkinkah? Kembali pada tesis Seers, apakah terjadi pembangunan manakala terjadi tingkat kemiskinan yang tinggi dan kesenjangan sosial ekonomi? Mari kita renungkan bersama!!! (Stepanus Makambombu, direktur Stimulant Institute Sumba)