Scroll to Top
Semiotik: Motif dan Makna pada Kain Ikat Sumba Timur
Posted by Frans Hebi on 12th November 2014
| 40477 views
Esi, Salah Satu Pengawas di TPS 017 Juga Memakai Sarung Sumba Saat bertugas [Foto: Heienrich Dengi]

MaxFM, Waingapu – Dorongan memvisualisasikan konsep-konsep interaksi di suatu komunitas masyarakat atau relasinya dengan alam natura (dunia fauna dan flora) melahirkan berbagai tanda gambar pada kain ikat. Kain ikat Sumba Timur yang sarat dengan tanda/gambar yang membentuk corak, motif merupakan penuangan gagasan, ide, pemikiran, yang sebelumnya telah teruang dalam seni kata (seni verbal). Misalnya ada realita, seorang raja penuh kuasa, sakti, sehingga dikramatkan, dan permaisuri yang berwibawa, bijak bestari, bertajuk mahkota (kara wulang). Dalam dunia binatang (fauna) buaya yang memiliki instink kuat ditakuti dan dikramatkan oleh masyarakat Sumba umumnya (di Mesir dewa Sobek dilukis sebagai buaya).  Buaya dipaar dengan penyu (ingat filsafat orang Sumba, serba dua atau dualisme). Maka lahirlah seni kata dalam baitan ana wuya rara, ana karawulang, sang buaya merah  sang penyu bersisik.




Seni kata yang menyebutkan konsep itulah yang dilukiskan sebagai buaya dan penyu dalam kain ikat Sumba Timur. Tentu saja dengan variasi gambar lain yang tidak mengaburkan tema. Masyarakat Sumba Timur yang sifatnya komunalistik seperti musyawarah bersama, mengerjakan sesuatu secara bersama, memecahkan masalah bersama, itu ada kemiripannya dengan dunia fauna, kakatua dan nuri yang selalu berkelompok. Kenyataan ini diungkapkan dalam seni kata kaka makanguhuru, pirihu pauli, kakatua dan nuri yang senantiasa berkelompok. Dan lahirlah motif kakatua yang melambangkan kehidupan masyarakat yang demikian.

Hampir semua gambar/motif yang tertera pada kain ikat Sumba Timur diambil dari dunia fauna dan flora yang dikemas dalam seni kata, bahasa baitan  yang kesemuanya mengacuh pada kehidupan manusia. Di sini terjadi apa yang diistilahkan dispersonifikasi, tidak mamanusiakan manusia tapi memfaunakan dan memflorakan. Pemakaian kehidupan dunia lain untuk melambangkan kehidupan manusia tentu saja melalui proses yang dibangun oleh mmasyarakat atau individu-individu dengan memberikan arti tertentu  yang kurang lebih standar yang disepakati dan digunakan oleh masyarakat pendukungnya, dan selanjutnya dianggap lambang konvensional.



Dalam mengangkat suatu benda (fauna dan flora) diharapkan  adanya hubungan logis, logika simbolik dengan apa yang mau dilambangkan  mengingat gambar dan lukisan itu merupakan seni nonverbal, seni tanpa kata. Dalam arti dia harus ditafsirkan. Mengartikan makna yang disimbolkan dalam gambar sangat subyektif, namun ada hal-hal yang nampaknya sudah universal. Gambar tongkat, buaya, ayam jantan, kuda biasanya orang berkonotasi  pada kekuasaan, kekuatan dan keperkasaan. Hal-hal lain  dibutuhkan pemahaman apa yang telah menjadi konvensi masyarakat, atau perlu memahami konteks gambar itu dibuat. Gambar ayam kampung dan ayam kalkun ( (manu mara dangu manu nggoru nggoya) yang tertera  pada kain kaworu Kambera, perlu dipertanyakan pada sang produser/kolektor (Hendrik Pali) apa makna penggambaran ayam domestik dan ayam pendatang (Kalkhun, akronim Kalkuta Hun = ayam Kalkuta).  Apakah sekedar mode yang trend atau melambangkan keterbukaan terhadap budaya luar. Demikian juga kain kombu berbotif patula ratu, patula gajah, ular naga, singa berkepala manusia (mahang katiku tau), singa memegang mahkota. Jika dirunut maka banyak fakta sejarah dapat terungkap.

Dilihat dari obyek yang digambar, motif kain tenun ikat Sumba Timur dapat digolongkan menjadi dua: Pertama, gambar yang diambil dari dunia fauna dan flora. Kedua, gambar yang diambil dari dunia manusia itu sendiri. Kelompok pertama mencakup kuda, ayam jantan, bebek, kakatua, ular, rusa, udang, buaya, kura-kura, burung laut, kelabang/cicak terbang, gajah dan singa (fauna). Dunia flora meliputi pohon kalpataru, bunga dedap, bunga teratai. Kelompok kedua yang dibagi lagi dalam dua, pertama, dunia manusia sebagai individu, kedua,  manusia dalam hubungannya dengan sesama  (dalam hal ini dunia luar) yang menciptakan peristiwa bersejarah, seperti hubungan dengan India (patula ratu) dan Belanda (ana mahang).



Dunia fauna dibagi lagi atas yang domestik dan yang dari luar berupa gambarnya yang ditiru seperti singa dan gajah. Tidak adanya keberanian menggambar kedua binatang ini sebelum ada hubungan dengan India dan Belanda memperkuat anggapan bahwa di Sumba tidak terdapat singa dan gajah. Ini lebih diperkuat lagi oleh teori Wallace yang membagi dua dunia fauna di Indonesia. Dikatakan, di Indonesia bagian timur tidak terdapat singa, harimau dan gajah.

Secara faktual di Sumba hidup dengan suburnya cerita-cerita tentang meurumba (kucing raksasa yang buas) sebagai gambaran singa dan harimau, serta gajah. Di Sumba terdapat dua tempat yang mengabadikan nama meurumba, yakni di Kodi, Sumba Barat Daya dan di Masu, Sumba Timur. Kata gajah terdapat di sejumlah nama orang di Sumba Timur. Penemuan stegedon mandibula (rahang) gajah di Watumbaka (14 km dari Waingapu) pada 26 Agustus 1978 dan di Kecamatan Lewa pada Oktober 1977 , Nopember 1981 dan 3 Oktober 1982 sebenarnya telah menghapus mitos yang tidak meyakini binatang gajah pernah hidup di Sumba.



Mengapa singa dan gajah tidak digambar sebelum ada kontak dengan dunia luar?  Sangat mungkin binatang-binatang itu telah punah ketika manusia-manusia pertama mendarat di Sumba (proto Melayu tua). Karena menurut Panji Manu, Penilik Kebudayaan Kabupaten Sumba Timur saat stegedon Lewa ditemuakan, yang mengkonfirmasi ke Pusat Penelitian Arkheologi Jakarta, rahang gajah hasil temuan itu telah berumur 45.000 tahun. Jadi gajah dan singa hanya samar-samar dalam inggatan mereka ketika berada di daerah asal hingga datangnya kontak yang menghidupkan kembali ingatan mereka.

Pada umumnya kain ikat Sumba Timur dengan motif manusia bercorak naturalisme, telanjang bulat. Yang mengherankan, milimongga (manusia raksasa) yang keberadaannya hanya dalam cerita rakyat Sumba Timur juga dijadikan motif kain. Sedangkan tokoh Umbu Ndilu dan Rambu Kahi yang mendominasi cerita rakyat Sumba Timur tidak diekspo dalam motif. Barangkali karena kedua tokoh itu merupakan khayalan, sedangkan milimongga diyakini benar-benar hidup, bahkan ada marga/kabihu yang mengaku turunan milimongga.




Tugu dengan tengkorak manusia yang tertancap juga merupakan motif yang cukup bervariasi.  Ada tugu (andungu) dengan tiga tengkorak, tujuh, dua belas sampai dengan lima belas. Hal ini mengingatkan kita pada masa lalu di mana hukum rimba masih berlaku, siapa yang kuat dia yang menang. Yang agak eklusif adalah motif katiku kamawa. Mitos janin seorang putra raja yang lahir prematur, karena itu digambar setengah badan (torso). Dengan demikian motif milimongga dan katiku kamawa membutuhkan imajinasi yang kreatif oleh si perancang.

Kuda Juara Dengan Kain Sumba [ Foto : Heinrich Dengi ]
Kuda Juara Dengan Kain Sumba [ Foto : Heinrich Dengi ]

Tidak ditemukannya motif yang lahir dari obyek fiktif, khayalan, yang tidak nampak dalam dunia nyata seperti Mawulu Tau (Sang Pencipta), maranongu (bidadari), Umbu Ndilu dan Rambu Kahi (tokoh khayalan dalam dongeng), marapu (roh) menandakan bahwa seni memberi motif pada kain Sumba Timur tergolong naturalis. Yakni, meniru alam sesempurna mungkin tanpa mengembangkan ide-ide yang lebih tinggi. Ini kebalikan dari abstraksi yang menggambarkan sesuatu yang tidak dialami, tidak konkrit, secara simbolis, secara imajinatif.***

Show Buttons
Hide Buttons