Scroll to Top
Peserta PNLH 2025 Desak Negara Akui dan Lindungi Perempuan Korban Krisis Iklim
Posted by maxfm on 19th September 2025
| 502 views
Peserta PNLH 2025 Desak Negara Akui dan Lindungi Perempuan Korban Krisis Iklim [Foto: ISTIMEWA]

MaxFM Waingapu, SUMBA – Sebanyak 109 peserta dari berbagai wilayah di Indonesia menuntut solusi nyata dan berkelanjutan dari negara untuk menjamin pengakuan, perlindungan, dan pemenuhan hak perempuan serta kelompok rentan. Tuntutan ini disampaikan dalam rangkaian Pekan Nasional Lingkungan Hidup (PNLH) 2025 di Kota Waingapu, Kabupaten Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur (NTT), Jumat 19 September 2025.

Baca juga:
Bupati Sumba Timur Jawab Kerisauan Warga Terkait Rencana Pembangunan Tambak Udang Raksasa

Mereka menegaskan bahwa kelompok tersebut berada dalam situasi paling berlapis akibat bencana ekologis dan krisis iklim yang kian meningkat, seperti banjir, kekeringan, krisis air bersih, dan kerawanan pangan.




Meski menjadi subjek terdepan dalam membangun solusi berbasis lokal, kontribusi perempuan seringkali tidak diakui dalam kebijakan nasional maupun global. Meski ada kemajuan dengan adanya Rencana Aksi Nasional Gender dan Perubahan Iklim (RAN-GPI), tantangan untuk melibatkan perempuan akar rumput tetap besar.

Baca juga:
Sumba dan 7 Segi Peradaban Jadi Rujukan Pemulihan Indonesia

“Banyak orang berpendapat bahwa kami tidak dapat mandiri, padahal saya hidup sendiri di rumah tanpa anak dan suami. Dengan identitas kami, kami membutuhkan informasi dan pelibatan bermakna yang mendukung tanpa dikasihani,” tegas Yustina May Nggiri, perempuan penyandang disabilitas dari organisasi PAHDIS Kabupaten Sumba Timur.

Bencana Perburuk Ketidakadilan Gender

Data dari Solidaritas Perempuan (Catatan Tahunan 2024) mengungkapkan dampak buruk yang dialami perempuan. Sebanyak 3.624 perempuan dari 57 desa tercatat sebagai korban dan mengalami pemiskinan akibat pembangunan yang ekstraktif. Kondisi ini diperparah oleh bencana iklim yang mempersulit akses air bersih, pangan, dan mata pencaharian—sektor yang banyak ditopang oleh perempuan.

Baca juga:
Ritual Adat Sumba Timur Panggara Taungu Menyambut Tetamu WALHI dalam Pembukaan PNLH XIV




Perjuangan perempuan untuk mempertahankan kedaulatan dan lingkungannya juga kerap berujung pada kekerasan struktural dan kultural, termasuk intimidasi dan kriminalisasi, akibat identitas perempuan yang berlapis.

“Kami berjuang bukan untuk kami, tetapi untuk generasi berikutnya. Perempuan telah memiliki kesadaran secara turun-temurun bahwa tanah merupakan warisan leluhur. Namun, Proyek Geothermal di Poco Leok telah menghancurkan sumber penghidupan bagi perempuan petani dan identitas masyarakat adat,” jelas seorang Perempuan Petani dan Perempuan Adat dari Poco Leok, Flores, NTT.

Baca juga:
Airlangga, Raja Tanjakan Tour De EnTeTe 2025 Terpesona Keindahan Rute Balapan Tana Rara Waingapu

Keluhan serupa disampaikan oleh Perempuan Adat dari Desa Ndapayami, Sumba Timur. “Kekeringan, krisis air, dan hama belalang telah menempatkan perempuan pada beban berlapis. Kami harus mengangkut air sejauh 2 km dan membutuhkan waktu yang lama untuk mengisi jerigen 5 liter,” ujarnya.

Pengetahuan Lokal sebagai Solusi Terbukti

Di tengah tantangan tersebut, perempuan di berbagai komunitas justru menunjukkan ketangguhan dengan menginisiasi praktik adaptasi berbasis kearifan lokal. Di NTT dan Maluku, misalnya, mereka mengembangkan sistem tanam tahan iklim, pengelolaan air, serta konservasi ekosistem laut dan hutan. Praktik-praktik ini terbukti efektif dan berakar pada nilai solidaritas, keberlanjutan, dan hubungan harmonis dengan alam.

Garselia, Perempuan Adat dari Desa Mbatakapidu, Sumba Timur, membagikan pengalamannya. “Kami mencari ubi hutan (Iwwi) dan mengelolanya sebagai kedaulatan pangan dalam menghadapi krisis iklim,” katanya.



Kekhawatiran akan punahnya pengetahuan lokal juga mendorong generasi muda untuk bertindak. “Sebagai orang muda dari Maluku, kami bergerak bersama-sama mengorganisir diri karena khawatir tidak akan ada daur pengetahuan. Pengetahuan masyarakat Maluku terkait alamnya mulai hilang dan akan mengakibatkan pengetahuan kami hanya sekadar dongeng di masa depan,” pungkas Yolis Atika, Perempuan Muda dari Maluku.

Baca juga:
Ratusan Peserta PNLH Mulai Berdatangan di Kota Waingapu, Panitia Menyambut dengan Budaya SUMBA

Pengetahuan komunitas ini ditengarai sebagai bagian tak terpisahkan dari perjuangan menuju Keadilan Iklim, dengan keyakinan bahwa hutan, tanah, dan laut adalah sumber kehidupan utama dalam merespons bencana dan krisis ekologis. [HD]

Show Buttons
Hide Buttons