MaxFM, Waingapu – Petikan jungga (alat musik tradisonal Sumba) mengalun pelan diikuti suara penyanyi Ata Ratu dalam bahasa Kambera membuka monolog “Sarung Penyembuh Luka” dalam Acara Malam Budaya Konsultasi Nasional (Konas) Perempuan Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI) Sabtu (27/11/2021). Lagu yang dibawakan Ata Ratu ini berisi pesan menghentikan kekerasan terhadap perempuan.
Seorang perempuan renta berusia 66 tahun dengan sarung hitam pudar dan kaos garis-garis kebesaran, tertatih-tatih melangkah memasuki panggung Gedung MPL Hapu Mbay lalu tidur di atas balai-balai bambu beralaskan tikar lusuh. Di ujung lagu Ata Ratu, empat orang remaja laki dan perempuan sedang bersenda gurau di panggung dan dikejutkan dengan kehadiran seorang laki-laki yang menarik paksa seorang anak perempuan usia 14 tahun dan anak laki-laki berusia 14 tahun, mereka dipaksa untuk duduk bersanding. Lalu seorang perempuan dewasa mengenakan slayer putih kepada kedua anak dan jas hitam kepada anak laki-laki, layaknya pengantin.
Selang dua menit, kembali laki-laki dewasa ini menarik dengan kasar seorang remaja perempuan lalu. Remaja perempuan ini memberontak tapi tetap ditarik dan dipaksa untuk duduk. Tinggal seorang remaja perempuan. Seorang perempuan dewasa masuk dengan langkah sombong lalu mengikat tangan remaja perempuan ini dan menariknya duduk di pinggir panggung.
Adegan di atas ini mengajak penonton untuk mengimajinasikan praktik kawin anak, kawin tangkap dan perbudakan tradisonal yang masih marak terjadi di Pulau Sumba.
Terdengar suara seorang pembaca berita dari Radio Max FM Waingapu yang menceritakan praktik Kawin Tangkap di Sumba dan data terkini yang dimilikinya.
“Cukup!” kata Lodang, perempuan renta tadi. Dia bangun dari tempat tidur dan mulai bercakap sendiri.
Lodang geram dengan pemberitaan media tentang Kawin Tangkap di berbagai media. Dia juga menuturkan anak perempuan belasan tahun tetangganya dipaksa menikah karena orang tuanya sudah menerima belis.
Lodang menyinggung belis hamba dalam perbudakan tradisonal yang masih kental terjadi di Sumba Timur. Hamba perempuan ditukar dengan sejumlah ternak kemudian dikawinkan dengan hamba laki-laki dari bangsawan yang membelis si perempuan hamba tadi.
“Soal cinta, aiii tidak ada memang. Mau kawin tangkap, kawin anak, belis hamba semua korbannya perempuan. Iya perempuan!”
Lodang mengisahkan masa lalunya yang pilu sebagai penyintas Kawin Tangkap. Bagaimana dirinya, 50 tahun lalu saat berusia 16 tahun waktu itu menjadi korban atas nama tradisi dan budaya Sumba. Di sebuah senja, Lodang baru pulang dari melayat di kampung ibunya. Di tengah jalan dia ditangkap laksana hewan buruan oleh segerombolan laki-laki dan hampir seluruh bagian tubuhnya tersentuh oleh tangan para lelaki tersebut karena Lodang yang berusaha melepaskan diri.
“Mereka meringkus saya seperti babi hutan hasil berburu, semakin memberontak semakin erat mereka mencengkeram tubuh 16 tahun ini. Saya menangis, saya menjerit melolong minta tolong supaya semua orang mendengar supaya mereka semua menolong saya. Tapi tidak ada yang menolong,” tuturnya.
Lodang mengisahkan dia dinaikkan ke seekor kuda dan diapit oleh dua lelaki, sepanjang jalan para lelaki yang menculiknya menyerukan yel-yel khas Sumba seperti pemenang perang. Meski tetap menangis dan berteriak, suaranya hilang ditelan derap kaki kuda.
Lodang meraung mengingat bagaimana dirinya dipaksa bersetubuh, dia diperkosa oleh laki-laki bernama Todu yang kelak terpaksa menjadi suaminya.
“Dia perkosa saya, tidak peduli saya terluka, saya meronta, tidak peduli saya merintih kesakitan. Ia hanya peduli bagaimana menuntaskan nafsu birahinya,” ujar Lodang terduduk meraung di lantai.
“Dari luar saya dengar suara orang bicara dengan suara keras menyemangati Todu untuk menuntaskan aksi nya kepada saya,” tambahnya.
Lodang menuturkan kepedihannya yang makin bertambah saat dia tahu bahwa dirinya hamil setelah diperkosa Todu. Dia berniat menggugurkan kandungannya namun segera menyadari bahwa anaknya tidak bersalah. Dia kemudian membiarkan anaknya lahir hingga anak keempat. Dia harus berhadapan dengan pergunjingan tetangga dan masyarakat yang merundungnya karena dulu dia pernah melawan, pernah ingin pulang ke rumah orang tuanya. Dia merasa dikucilkan.
Sarung Penyembuh Luka yang menjadi judul monolog ini adalah kisah sarung tuanya yang dipakai saat dirinya ditangkap 50 tahun silam. Sarung inilah yang selalu menjadi pengingat untuknya tidak berhenti melawan kekerasan terhadap perempuan, agar mendidik anak-anaknya laki dan perempuan untuk berani melawan kekerasan. Sarung inilah yang menemaninya menyembuhkan luka, untuk mewartakan bahwa perempuan harus merdeka atas tubuhnya sendiri. Merdeka atas kejahatan yang mengatasnamakan budaya, mengatasnamakan tradisi juga mengatasnamakan kekayaan, atas nama apapun.
“Sarung ini yang menemani saya membesarkan anak-anak saya. Sarung ini menemani saya bertahun-tahun. Memberikan saya daya untuk tetap hidup agar saya sempat merasakan sisa-sisa kemerdekaan. Sarung ini memberi saya semangat untuk menasehati anak laki-laki saya supaya jangan pernah melukai perempuan. Juga anak perempuan saya, supaya berani melawan kekerasan atas budaya, tradisi dan atas nama apapun.”
Di akhir monolog, Lodang menuturkan lima tahun lalu Todu, suaminya meninggal dunia. Dia kembali mengenakan sarung itu. Dia menangis meraung melepas Todu. Raungan yang sama saat dia ditangkap. Tetapi kali ini bukan karena kesedihan, tetapi rasa merdeka yang menyergapnya. Seluruh keluarganya mengira Lodang menangis sedih karena kepergian Todu. Rupanya Lodang menangis bahagia karena merasa duri dalam tubuhnya sudah pergi.
“Kain putih ini, kain kesayangan Todu, suami saya. Kain yang dipakainya setiap hari. Melihat kain ini saya merasa sudah merdeka. Saya merdeka, saya medeka, saya merdeka,” pekik Lodang dengan tangan gemetar.
Dia menyelubungi dirinya dengan kain putih melangkah ke tempat tidur dan terus bergumam “Saya merdeka, saya merdeka, saya merdeka, saya merdeka”. Lodang membaringkan dirinya di balai-balai bambu tempat dia tidur di awal monolog.
Bunyi gong dan tambur menggema, dari bagian barat panggung muncul penari Garuda berkostum merah putih menari mengitari anak-anak pemeran korban kawin tangkap, kawin anak dan perbudakan tradisonal kemudian membebaskan mereka secara simbolik dengan melepaskan slayer dan jas pengantin, tali yang mengikat pemeran hamba perempuan lalu menari bersama. Hentakan musik gong dan tambur beralih ke irama tarian Harama, sepasang penari Sumba, Grace dan Domi menghentakkan kaki dan menari mengitari panggung membawa pulang anak-anak. Di tangga panggung utama, sudah duduk Group SMAK Andaluri, Leksi Kodu memetik gitar mengiringi Indri, Gisel, Yuyun melantunkan tembang “Memang Kenapa Bila Aku Perempuan” karya Melly Goeslow.
Monolog ini diangkat berdasarkan hasil riset dari Solidaritas Perempuan dan Anak (SOPAN) Sumba tentang Kawin Tangkap. Ira Lodang sebagai pemeran Lodang, naskah dan sutradara oleh Martha Hebi, keduanya adalah relawan SOPAN dan juga senior GMKI Cabang Yogyakarta. Empat remaja yang berperan dalam awal monolog adalah Riski, Efrin, Nia dan Misel dari Rumah Aman Waingapu. Sedang Yuki dan Ruben berasal dari SOPAN Sumba. Penabuh gong dan tambur dari Sanggar Ori Angu, Penari Garuda: Putri, penata suara: James dan Edi, penata lampu: Indra, properti GMKI Cabang Waingapu dan Yuliana Laji, tim pendukung : Panitia Konas Perempuan GMKI 2021 dan Radio MaxFM Waingapu.
“Kami berharap lewat karya seni monolog ini dapat menggugah kita semua untuk bersama menghentikan kekerasan terhadap perempuan atas nama tradisi, budaya, agama dan atas nama apapun. Kisah dalam monolog ini kami buat berdasarkan penelitian dan merupakan suara para penyintas. Semoga ini bisa memberikan suara baru bagi percepatan pengesahan RUU Tindak Pidana Penghapusan Kekerasan Seksual,” kata Martha Hebi yang dalam pementasan berperan sebagai narator.
Martha juga menambahkan bahwa praktik perbudakan tradisional seolah-olah sudah berakhir di Sumba, tapi lanjutnya, cobalah pergi ke desa-desa di Sumba Timur, di sana suasana relasi tuan dan hamba masih nyata dilihat. Fakta kawin anak yang tidak tercantum dalam pendataan statistik, dapat dijumpai dalam percakapan langsung di desa-desa maupun pinggiran kota.
Monolog berdurasi 47 menit ini mampu menguras emosi ratusan penonton yaitu peserta Konas Perempuan GMKI dari seluruh Indonesia, Gubernur NTT Victor Laiskodat, Bupati Sumba Timur, Bupati Belu, anggota DPR RI Ratu Wulla, sejumlah pejabat lainnya dan undangan dari berbagi institusi.
“Saya terharu dan sedih. Saya menangis. Ternyata itu potret nyata perempuan korban kawin tangkap,” ungkap seorang penonton laki-laki bernama Erwin. Tidak hanya Erwin, banyak penonton menitikkan air mata selama monolog berlangsung.
Monolog ini tidak hanya disaksikan di Gedung MPL tapi juga didengarkan oleh ribuan masyarakat lewat channel Radio Max 96.9FM Waingapu yang menyiarkannya secara secara langsung. (TIM)