MaxFM, Waingapu – Senin 2 Desember 2010 pagi, masih dengan semangat seperti hari-hari sekolah sebelumnya. Karena itu, setelah bersiap Elmi menggunakan jasa ojek berangkat ke Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri 1 Oesena tempatnya bersekolah. Namun sesaat sebelum tiba di sekolah, Elmi ini mengalami kecelakaan dengan sepeda motor yang ditumpanginya pagi itu.
Kecelakaan dua sepeda motor tersebut cukup berakibat fatal bagi Elmi, namun nyawa Elmo terselamatkan. Karena sebelum terpental ke badan jalan, jari kaki kanan Elmi terselip ke jari-jari roda sepeda motor yang ditumpanginya, yang kemudian mengakibatkan kaki kanannya terluka cukup serius. Pagi yang indah itu langsung berubah gelap, karena Elmi tidak sadarkan diri dan langsung dilarikan ke Puskesmas terdekat untuk mendapatkan pertolongan medis.
Nyawa Elmi kemudian terselamatkan, namun untuk sementara Elmi harus mengubur semangatnya mengejar cita-cita, karena kaki kanannya mengalami luka serius hingga bagian tulangnya, sehingga akhirnya Elmi hanya bisa menyaksikan teman-teman sekelasnya terus pergi dan pulang dari sekolah di rumahnya, bahkan hingga ujian akhir, Elmi tidak bisa mengikutinya dan masa depannya seakan sirna dalam sekejab.
Berbagai upaya medis dan non medis dilakukan Elmi dan keluarga untuk menyembuhkan kondisi kedua kaki Elmi. Namun semua langkah itu tidak memberikan efek maksimal, sehingga kondisi kedua kakinya kian hari kian memburuk, hingga akhirnya Elmi harus merelakan kedua kakinya diamputasi tim dokter RSU Prof. W. Z. Johannes Kupang, 14 Desember 2010. Walau peristiwa ini cukup membuat Elmi terpukul, secara perlahan Elmi kembali membangun semangatnya untuk terus berjuang.
Semangat juang Elmi lahir dari dukungan sang ibu, Tertuliana Ismau, kakak, adik dan keluarganya, sehingga secara perlahan Elmi bisa menerima keadaannya dan kembali berjuang menapaki kehidupan selanjutnya. Bahkan walau kecelakaan tersebut menunda waktu Elmi untuk menyelesaikan pendidikannya di tingkat SMA, kini Elmi justru bermimpi untuk bisa melanjutkan pendidikannya hingga ke jenjang magister.
Kepada media ini di studio Radio Max Fm Waingapu bersama Berti Malingara, aktivis peduli penyandang disabilitas belum lama ini Elmi menjelaskan awalnya saat hendak diamputasi kakinya oleh dokter, tim dokter menjelaskan, bahwa dirinya masih akan mampu beraktivitas sebagaimana biasanya, namun harus menggunakan kaki palsu atau bantuan kursi roda.
“Waktu itu saya pikir kaki saya pasti akan tetap berfungsi setelah diamputasi, kemudian saat diamputasi kan kaki saya dibius, sehingga saya tidak rasa sakit dan saya juga tidak merasa ganjil,” jelasnya.
Namun beberapa jam usai dioperasi dan reaksi obat bius dikakinya mulai hilang, Elmi kemudian mulai merasakan sakit dan menyadari kalau dirinya sudah kehilangan kedua kakinya. Karena itu, setelah lukanya mulai pulih dan boleh meninggalkan rumah sakit, Elmi makin putus asa karena tidak bisa melanjutkan pendidikannya (SMA) dan bahkan sampai meminta ibunya untuk mencarikan baginya sesuatu yang bisa dimakannya untuk mengakhiri hidupnya.
“Saya putus asa, karena saya berpikir saya tidak bisa lagi bermain, atau berlari dengan bebas bersama teman-teman saya lagi. Jadi saya rencana ingin meminta mama cari kasih saya obat yang bisa buat saya mati. Tetapi mama saya cukup sabar dan berkata untuk apa kamu Gereja, tetapi tidak mengenal Tuhan. Bersyukur kamu kehilangan kaki tetapi Tuhan masih memberikan kamu napas kehidupan, jika kamu mau ingin untuk meninggal, lebih baik mama saja yang mati, masih ada rencana Tuhan yang jauh lebih baik yang akan Tuhan berikan kepada kamu, asalkan kamu tetap setia kepada Tuhan. Mama, adik dan kakak terus menguatkan saya dari hari ke hari,” tutur Elmi mengulangi pernyataan ibunya.
Kurang-lebih enam bulan lamanya, Elmi terus mendapatkan motivasi daei ibunya, dan saudara-saudaranya untuk menerima kenyataan bahwa walaupun Elmi tidak lagi memiliki kaki, Elmi tetap masih bisa menjalani hidup sebagaimana biasa, bahkan harus mampu berpikir seperti seorang bayi yang baru lahir dan memiliki banyak mimpi yang dapat diwujudkan dengan semangat juang dan kerja keras.
Dari sanalah, Elmi mulai belajar untuk memulai aktivitas barunya dengan belajar mendesain motif adat Amarasi, yang kemudian mempertemukan dirinya dengan aktivis peduli penyandang disabilitas, Berti Malingara yang kini dianggap sebagai orangtua angkatnya, dan memperkenalkan Elmi dengan organisasi Perkumpulan Tuna Daksa Kristiani (Persani) Kupang.
Dari Persani Kupang, Elmi berkesempatan mengikuti pelatihan keterampilan di Balai Besar Rehabilitasi Sosial Bina Daksa (BBRSBD) Prof, Dr Soeharto Surakarta, dan mengambil keterampilan komputer pada tahun 2012-2013 yang kemudian mengantarnya menjadi administrator di Desa Oesena. Selain itu Elmi juga tetap mendesain motif adat Amarasi, walaupun dengan keterbatasan tersebut tetapi Elmi bersyukur melalui mendesain motif Amarasi, Elmi bisa membantu ibu-ibu yang ada di desanya, sebelum akhirnya memutuskan melanjutkan pendidikannya.
“Jadi Elmi cerita ke kak Berti (Berti Malingara) bahwa Elmi harus lanjut kuliah, tapi ijasah Elmi waktu itu masih ijasah SMP sedangkan kuliah harus pakai ijasah SMA. Jadi Elmi tahun 2014 ikut paket C di PKBM Harapan Bangsa, tahun 2015 Elmi lanjut kuliah di Kampus Akademi Pekerjaan Sosial (APS) Kupang ambil jurusan D3 Pekerjaan Sosial dan Elmi wisuda tahun 2018, dengan predikat Pujian (3,68),” urainya.
Setelah wisuda, Elmi kemudian makin giat di Persani NTT bersama teman-teman sesama penyandang disabilitas terutama dalam kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan pemenuhan hak-hak penyandang disabilitas sesuai Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang penyandang disabilitas dalam semua lintas sektor baik pemerintah dan non pemerintah. Elmi juga sebagai salah satu aktivitis penyandang disabilitas yang selalu menyuarakan hak-hak penyandang disabilitas sampai pada level nasional. “Saya selalu membawakan materi konsep Disabilitas baik sebagai Narasumber dan fasilitator dari Desa sampai Nasional,” ujarnya.
Selanjutnya awal tahun 2020, bersama empat temannya sesama difabel dan Berti Malingara (non penyandang disabilitas), mereka mendirikan organisasi baru bagi kaum muda difabel dengan nama Garamin atau Gerakan Advokasi Transformasi Disabilitas untuk Inklusi pada tanggal 14 februari 2020, dan Elmi menempati posisi sebagai wakil direktur.
“Kami berenam punya inisiatif untuk bentuk Garamin NTT dengan Direkturnya ka Yafas Lay, (amputasi tangan). Elmi sebagai wakil direktur, dan ka Berti di Garamin sebagai anggota dengan tiga teman lainnya, sekaligus koordinator tim penelitian. Sebagai anak muda kami juga ingin belajar menjadi pemimpin jika diberikan ruang dan kesempatan dan kami juga sebagai anak muda kami ingin memperjuangkan kesetaraan dan pemenuhan hak-hak penyandang disabilitas baik itu dalam pendidikan, kesehatan, partisipasi aktif penyandang disabilitas di masyarakat. Karena selama ini kami penyandang disabilitas dianggap sebagai orang yang membutuhkan belas kasihan, dan penyandang disabilitas itu tugasnya dinas Sosial. Jadi kami ingin merubah persepsi itu, bahwa masalah penyandang disabilitas adalah tugas kita semua lintas sektor baik pemerintah dan non pemerintah,” urainya bangga.
Diharapkannya dengan lahirnya Garamin NTT, kaum difabel di NTT bisa terdata dengan baik secara keseluruhan, dan gerakan pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah maupun lembaga-lembaga lain di NTT ikut mempertimbangkan kebutuhan-kebutuhan kaum difabel di NTT dan Indonesia umumnya. Karena kaum difabel juga merupakan warga negara yang memiliki hak yang sama untuk menikmati setiap proses pembangunan di NTT.
“Garamin NTT juga punya visi dan misi yang sama dengan Persani, dan LSM-LSM lain yang memperjuangkan konsep pembangunan inklusi di NTT. Tetapi kami sebagai anak muda ingin juga belajar mandiri untuk memberikan yang terbaik dari diri kami dan orang lain, termasuk memastikan kesetaraan dan pemenuhan hak-hak penyandang disabilitas dalam semua lintas sektor di NTT dengan kebutuhannya masing-masing,” tandas anak ketiga dari empat bersaudara ini.(TIM).