MaxFM, Waingapu – Video kawin tangkap yang viral di media sosial dua minggu terakhir tidak hanya menggangu masyarakat Sumba, karena adanya pergeseran nilai dari proses kawin tangkap itu sendiri. Namun kawin tangkap yang sudah menjurus pada tindakan kriminal ini juga sampai ke istana dan mendapatkan atensi dari Presiden Joko Widodo.
Hal ini disampaikan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (P3A), I Gusti Ayu Bintang Dharmawati Puspayoga dalam sambutannya pada kunjungan kerjanya ke Sumba Timur, Kamis (2/7/2020), dan melakukan dialog bersama para bupati se-daratan Sumba, Forkopimda Kabupaten Sumba Timur, tokoh masyarakat, tokoh adat dan tokoh agama yang berlangsung di aula Setda Kabupaten Sumba Timur.
Ditegaskannya video kasus kawin tangkap yang viral beberapa waktu ini di media sosial benar-benar telah menyita perhatian masyarakat luas hingga ke istana dan mendapatkan atensi dari Presiden Joko Widodo, sehingga dirinya sebagai pembantu presiden yang memiliki kewenangan dalam urusan perlindungan perempuan dan anak, memutuskan untuk datang ke Sumba guna mendengar secara langsung informasi dari pemerintah daerah, tokoh agama, tokoh masyarakat, tokoh adat dan semua elemen terkait.
Sebab menurutnya budaya pada hakekatnya ada untuk mendudukkan manusia laki-laki dan perempuan berada pada derajat yang sama, sehingga kasus kawin tangkap yang terjadi 6 Desember 2019, 16 Juni 2020 dan 23 Juni 2020 merupakan sebuah degradasi nilai yang berkedok budaya.
“Saya yakin budaya sudah dijadikan kedok untuk merendahkan martabat perempuan Sumba, sehingga harus dicarikan solusinya secara bersama-sama. Karena kasus kawin tangkap ini pasti menimbulkan dampak traumatis yang luar biasa bagi seorang perempuan yang menjadi korban,” tegasnya.
Karenanya, istri mantan Gubernur Bali ini menegaskan sebelum datang ke Sumba, dirinya sudah berkoordinasi dengan Kapolri untuk memastikan kasus kawin tangkap yang melecehkan budaya Sumba dan menurunkan martabat perempuan Sumba harus dapat diproses secara hukum, sehingga dapat menimbulkan efek jera bagi para pelaku yang nekat melakukannya.
“Karena ini sifatnya delik aduan, silahkan teman-teman aktivis yang mendampingi teman-teman korban untuk melaporkan kasus-kasus ini ke Polres setempat untuk diproses pidananya,” jelas Menteri Bintang setelah mendengarkan penjelasan Kapolres Sumba Timur, AKBP. Handrio Wicaksono dalam pertemuan tersebut.
Wakil Gubernur Nusa Tenggara Timur (NTT), Joseph Adrianus Nae Soi dalam sambutannya menegaskan, dirinya baru mendengar istilah kawin tangkap. Karena sesungguhnya perempuan dan anak merupakan bagian dari kehidupan manusia yang harus saling menghormati dan mengasihi. Karena itu Istilah kawin tangkap juga masih perlu diperdebatkan lagi, apakah benar istilah ini sudah sesuai dengan kebudayaan Sumba atau justru sudah terjadi penyimpangan makna.
“Nilai-nilai budaya yang sudah diturunkan oleh nenek moyang kita tidak boleh dihapus, namun perlu diubah sesuai dengan kondisi saat sekarang ini. Saya hakul yakin, kasus kawin tangkap ini bukan bagian dari budaya orang Sumba,” tegasnya.
Menurutnya, nenek moyang orang Sumba tentunya tidak pernah mengabaikan nilai kemanusiaan, karena sesungguhnya perempuan selalu dimanivestasikan sebagai seorang ibu yang melahirkan. Karena itu sebagai pemerintah, dirinya meminta kepada semua elemen yang ada untuk secara bersama-sama tetap menghargai dan menempatkan perempuan pada tempat yang setara dengan laki-laki, sebagaimana seharusnya.
“Jangan salah gunakan nilai-nilai budaya yang diturunkan oleh nenek moyang orang Sumba, sehingga terjadi kesalahan dalam pelaksanaan nilai-nilai budaya orang Sumba yang hakiki,” tegasnya.
Karena itu kepada semua pihak, mulai dari pemerintah, tokoh-tokoh agama, tokoh-tokoh adat, dan semua elemen yang terkait untuk tidak lagi mentolerir kasus kawin tangkap yang kembali terjadi dalam beberapa waktu terakhir, agar nilai-nilai budaya yang diturunkan oleh nenek moyang orang Sumba kembali ditegakkan.
Bupati Sumba Timur, Gidion Mbilijora dalam sapaannya menjelaskan, untuk Kabupaten Sumba Timur sendiri tidak ada lagi kasus kawin tangkap, karena memang itu bukan bagian dari kebudayaan masyarakat Sumba Timur. Selain itu, untuk mengadvokasi kelompok perempuan dan anak yang menjadi korban kekerasan fisik maupun psikis, pemerintah Kabupaten Sumba Timur sudah membentuk Pusat Pelayanan Terpadu Perlindungan Perempuan dan Anak (P2TP2A) sejak beberapa tahun silam.
“P2TP2A diharapkan dapat menjembatani perempuan dan anak korban kekerasan untuk mendapatkan keadilan, termasuk mendapatkan pemulihan psikologis,” urainya.
Diuraikannya sesuai dengan data laporan kasus yang masuk ke P2TP2A Kabupaten Sumba Timur, sejak Januari hingga Juni 2020, terdapat 35 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak yang terjadi di Sumba Timur dan semuanya telah mendapatkan pendampingan dari petugas P2TP2A yang merupakan kolaborasi antara pemerintah dan lembaga-lembaga swadaya masyarakat, hingga aktivis peduli kaum perempuan dan anak.
“Kita di Sumba Timur dan Sumba umumnya saya yakin sependapat kalau kasus kawin tangkap itu adalah bentuk tindakan kekerasan yang merampas hak kemerdekaan kaum perempuan, bahkan ini merupakan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang harus kita lawan bersama,” tegasnya.
Para bupati kemudian bersepakat untuk tidak memberikan perlindungan dalam bentuk apapun untuk pelaku kawin tangkap berbasis kriminal, termasuk jika pelakunya adalah Aparatur Sipil Negara (ASN). “Sebagai informasi di Sumba Timur saya sudah pernah tanda tangan SK (Surat Keputusan) pemecatan untuk empat orang ASN yang terlibat kawin tangkap. Jadi tidak ada toleransi dari pemerintah, dan saya yakin teman-teman bupati lainnya juga akan melakukannya,” tegasnya.
Pantauan media ini, turut hadir dalam pertemuan ini, Wakil Ketua DPRD Kabupaten Sumba Timur, Jonathan Hani, Bupati Sumba Tengah, Paulus S. K. Limu, Bupati Sumba Barat, Agustinus Niga Dapawole, Bupati Sumba Barat Daya, dr. Kornelis Kodi Mete, Forkopimda Kabupaten Sumba Timur, Ketua Pengadilan Negeri Waingapu, Richard Edwin Basoeki, tokoh agama, tokoh adat, dan puluhan undangan lainnya.(TIM)