Scroll to Top
Jumlah Ternak Mati di Hambapraing Masih Perkiraan
Posted by maxfm on 19th Februari 2020
| 1205 views
Ternak milik masyarakat Desa Hambapraing terlihat kurus karena kekurangan pakan.(FOTO:ONI).

MaxFM, Waingapu – Jumlah ternak kuda, sapi dan kerbau yang dilaporkan mati sejumlah lebih dari 200 ekor karena kekurangan pakan di Desa Hambapraing, Kecamatan Kanatang sampai dengan saat ini masih berdasarkan angka perkiraan para pemilik ternak. Proses pendataan masih dilakukan petugas dari Dinas Peternakan Kabupaten Sumba Timur.

Kepala Dinas Peternakan Kabupaten Sumba Timur, Yohanis Radamuri menyampaikan hal ini kepada wartawan di ruang kerjanya Selasa (18/2/2020). Dijelaskannya, jumlah ternak yang dilaporkan mati ini belum dapat dipastikan jumlahnya karena para peternak juga hanya memperkirakan jumlah ternak milik mereka yang mati, berdasarkan temuan bangkai ternak di padang.

“Saya sudah minta petugas saya di lapangan untuk mendatangi para peternak mendata jumlah pasti ternak yang mati. Tetapi belum bisa dipastikan jumlahnya, karena masyarakat juga hanya perkirakan saja sesuai cap pada bangkai ternak yang mereka temukan di padang,” jelasnya.




Menurutnya dari perkiraan 200-an ekor ternak mati ini terbanyak adalah ternak kuda, kemudian baru sapi dan kerbau. Karena menurutnya Desa Hambapraing merupakan salah satu desa di Sumba Timur yang memiliki populasi ternak kuda cukup banyak.

Sedangkan mengenai penyebab kematian ternak ini, disebabkan oleh kurangnya pakan di padang karena kemarau panjang yang diikuti dengan kebakaran padang. Karenanya, kuda yang membutuhkan makanan sepanjang hari menjadi kekurangan pakan dan akhirnya mati.

“Kalau sapi dan kerbau masih bisa makan daun lainnya. Sedangkan kuda hanya makan rumput, sehingga saat rumput di padang mati, keselamatan kuda menjadi terancam, dan itu masih menjadi tantangan terbesar kita dalam pengembangan peternakan di Sumba Timur,” jelasnya.



Mengenai ternak mati ini, menurut Yohanis pihaknya belum mendapatkan laporan dari peternak di kantong peternakan lainnya di Sumba Timur. Namun menurutnya dengan kemarau panjang akhir tahun 2019 hingga awal tahun 2020, diyakininya akan ada kemungkinan adanya ternak yang mati di padang karena keterbatasan pakan.

Sedangkan untuk mengantisipasi kekurangan pakan di setiap musim kemarau menurut Yohanes, pihaknya selalu mendorong petani melalui pelatihan fermentasi pakan maupun penanaman pakan hijau. Namun langkah ini belum mendapatkan respon positif dari para peternak perorangan, sehingga lebih diarahkan kepada kelompok peternak atau pengembang peternakan terkonsentrasi.

“Kita selalu lakukan pelatihan fermentasi pakan supaya disimpan dalam drum, dan bisa digunakan setelah tiga bulan sampai dengan satu tahun. Tetapi ini juga membutuhkan biaya dari peternak, sehingga cenderung tidak dilakukan. Atau penanaman pakan hijau juga, cenderung ditanam bebas dan kalau tidak mati terbakar, dimakan hewan saat masih kecil,” urainya.

Karena itu, untuk mengetahui jumlah ternak yang mati baru dapat dilakukan pada saat dilakukan vaksinasi atau saat para peternak membutuhkan ternak, sehingga dihalau untuk dimasukkan ke kandang. “Peternak sekarang belum bisa hitung secara pasti karena ternaknya masih di padang. Tetapi tidak bisa dihalau masuk kandang, karena khawatir jangan sampai justru makin banyak yang mati atau patah kaki saat dihalau, sehingga baru akan dihalau ke kandang pada pertengahan tahun, saat kondisi fisik ternak sudah stabil,” urainya.



Untuk diketahui, data yang diperoleh sebelumnya dari mantan Kepala Desa Hambapraing, Agustinus Tay Rawambaku dan peternak lainnya Matius Tandu Nggama mengungkapkan jumlah ternak milik mereka banyak yang mati karena kekurangan pakan sehingga kemudian ada yang terserang diare dan akhirnya mati. “Saya punya sendiri sudah mati sekitar 23 ekor,” jelas Matius.

Untuk menyediakan pakan bagi ternak yang ada di kandang mereka saat ini, menurut Matius pihaknya harus menggunakan truk untuk mengambil pakan dari sejumlah daerah yang jaraknya mencapai lebih dari 60 kilo meter. “Kami pakai truk untuk ambil rumput sampai di Maudolung dan daerah lainnya yang masih ada rumput. Kami juga harus pakai alat potong rumput supaya bisa cepat penuh truk. Karena kalau potong pakai tangan, kami pasti tidur dua hari baru bisa pulang,” urai Matius.(ONI)

Show Buttons
Hide Buttons