

MaxFM, Waingapu – PGI hanya numpang berapat di Sumba. Pernyataan ini disampaikan Pendeta Herlina Ratu Kenya yang tergabung dalam Aliansi Masyarakat Bersuara kepada MaxFM.
Menurut Herlina Ratu Kenya dirinya dan beberapa kawan Pendeta sampai kepada kesimpulan PGI hanya numpang sidang di Sumba karena hampir tidak ada isu lokal Sumba yang dibicarakan dalam SR PGI XVII di Waingapu, Sumba Timur, NTT.
“Pikiran ini muncul karena dalam persidangan yang diikuti baik di pra sidang PPrG di GKS Mata Sumba Barat Daya maupun pra SR Pemuda di GKS Waikabubak bahkan sampai di SR sekalipun tidak ada orang Sumba yang diberi kesempatan untuk memperkenalkan isu atau masalah sosial di Sumba yang digali secara mendalam,” jelas Pdt. Herlina Ratu Kenya kepada MaxFM, Senin (11/11/2019) sesaat selepas aksi teatrikal di lokasi makansiang peserta SR PGI XVII.

Tambah Pendeta Herlina Ratu Kenya yang juga Pendeta di GKS jemaat Waingapu ini, memang ada persoalan Sumba yang dibicarakan tetapi hanya letupan-letupan kecil dalam sesi tanya jawab diskusi topik lain dan bukan dibicarakan dalam topik khusus.
Pergumulan gereja-gereja di Sumba dalam isu sosial ada banyak kata dia, misalkan human trafficking, ekologi yang rusak, kawin tangkap, korban perbudakan, kekerasan seksual dan banyak yang lain yang khususnya dialami kaum perempuan Sumba yang juga masuk sebagai anggota gereja.
Lanjut Pendeta Herlina Ratu Kenya dirinya berharap paling tidak dalam persidangan seksi peserta SR PGI juga memasukkan isu sosial yang dimunculkan dalam aksi teatrikal ini untuk dipercakapkan secara serius dan diambil sebagai keputusan atau sikap gereja ke depan.

Terkait pengurus MPH PGI periode berikutnya Herlina Ratu Kenya yang juga sekretaris BPD PERUATI Sumba ini berharap yang akan terpilih nantinya juga mempunyai keberpihakan pada isu-isu soal dan bekerja untuk merangkul semua gereja untuk menjawab persoalan sosial yang ada.
Sementara itu dari pantauan MaxFM, aksi teatrikal dilakukan saat peserta SR PGI XVII makan siang. Aksi dimulai dengan lambang mamuli diarak dan diangkat tinggi oleh laki-laki yang berpakaian hitam kemudian diikuti suara : aku datang dari rahim Tuhan, meneruskan hidup di tanah ini, tapi kini aku menyaksikan rahim ini berdarah bahkan nyaris mati, aku meratap, kemudian diikuti bunyi gong kematian.

Menyusul para perempuan berpakaian hitam dan mulut diselotip, digantung kardus bertulis human trafficking, korban ekologi yang rusak, korban kawin tangkap, korban perbudakan, perempuan penenun, kekerasan seksual menggunakan baju robek warna hitam semuanya akan bergerak terseok-seok menggambarkan rasa kecewa, hilang harapan, sedih, marah sesuai bunyi gong
Sambil para perempuan berbaju hitam bergerak, lelaki pemegang lambang mamuli tampak berwajah lesu dan tertunduk, narasi dibacakan dan setelah semua narasi dibacakan para perempuan terjatuh, sampai ada yang mengangkat mereka untuk berdiri kemudian diikuti bunyi gong berubah menjadi sukacita karena harapan itu ada, lalu terlihat beberapa peserta SR PGI XVII iktu maju ke atas panggung untuk mengangkat perempuan yang terjatuh diakhiri undangan untuk menjadi sahabat masyarakat, perempuan Sumba.

Terlihat Ketua Majelis Sinode Harian (MSH), Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT), Pdt. Dr. Merry Kolimon ikut naik ke atas panggung teatrikal dan mengangkat perempuan yang terjatuh serta membacakan puisi Rinduku Pada Sidang Raya di Sumba.
Berikut Adaptasi Puisi karya Taufiq Ismail oleh Pdt. Dr. Merry Kolimon
Rinduku pada Sidang Raya di Sumba
Adalah rindu pada para sahabat
Kawan2 di lingkaran ekumenes seIndonesia
Rinduku pada Sidang Raya PGI di Sumba
Adalah rindu pada pelayanan gereja2 di Indonesia
Yang merangkul para korban dan penyintas pelanggaran HAM
Yang menghargai dan memulihkan mereka yg distigma dan didiskriminasi.
Rinduku pada sidang raya di Sumba
Adalah rindu pada pembangunan bangsa dan masyarakat
Yg tidak mengeksplotasi dan menghancurkan alam
Yang meneguhkan budaya dan harkat masyarakat adat
Menjaga keutuhan hubungan manusia, alam, dan TuhanNya
Rinduku pada Sidang Raya di Sumba
Adalah rindu kepedulian gereja2 kepada sekolah miliknya
Gereja jangan berpaling dari keterpurukan pendidikannya
Cari jalan memulihkan dan memberdayakan sekolah2 yg sedang sakit parah
Rinduku pada Sidang Raya di Sumba
Adalah rindu gereja2 berjalan bersama
Bahu membahu
Mewartakan dan mengerjakan kabar baik
Agar Indonesia mendengar kabar Yesus Kristus
Melalui kami
Keadilan, perdamaian, keutuhan ciptaan
Makin menjadi nyata.
Setuju dgn kritik ini. PGI dlm SR seperti tidak berpijak di tanah. Isu yg dibahas juga jarang menyangkut pelayanan ril gereja. Yg begini ini terjadi dlm setiap SR yg saya tau. Contoh di Mamasa, Nias, setelah selesai SR tak ada apa-apa (kecuali di Mamasa dibuat bandara, tp bukan dimanfaatkan oleh rakyat kecil). Tuan rumah menjadi seperti hotel yg disewa utk pertemuan.
Trima kasih om Hen telah menolong km mewartakan kisah kmrn agar dunia mendengarnya
Pelaksanaan Sidang Raya PGI di Sumba memang menjadi cermin bagaimana gereja-gereja di Indonesia masih belum secara optimal mebuka mata terhadap praktek-praktek ketidakadilan. Dalam PRPrG di Sumba Barat Daya mentalitas “Nyonya” masih sangat terlihat dalam perlakuan terhadap adik2 pandu sidang yg dengan luar biasa melayani peserta persidangan (yg punya segudang permintaan). Perlakuan peserta persidangan terhadap anggota2 jemaat GKS tuan rumah yg sdh dengan sepenuh hati menyediakan rumah tinggal, semuanya masih mencerminkan mentalitas “Nyonya” yang dilayani ketimbang hamba yang melayani. Tanpa perubahan spiritualitas gereja, maka sekeras apapun isu2 kemanusiaan diteriakkan, tidak akan membawa dampak bagi gereja2 di Indonesia. Alih2 mengangkat isu2 kemanusiaan dan melakukan sesuatu untuk Sumba, Gereja masih akan lebih asyik mengejar kepentingan2 kelompok dan golongan. Saya sih berdoa, agar periode ini ada perubahan. Meski orang2nya masih relatif sama dengan periode lalu, saya berharap gereja tidak buta dan tuli serta bisu terhadap kemanusiaan.