Scroll to Top
Masa Jabatan MPH PGI Dibatasi Dua Periode
Posted by maxfm on 13th November 2019
| 2160 views
Suasana pleno hasil komisi-komisi pada Sidang Raya XVII PGI yang berlangsung di gedung MPL Hapu Mbay. (Foto: ONI)

MaxFM, Waingapu – Masa jabatan Majelis Pekerja Harian Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (MPH PGI) diputuskan untuk hanya boleh menjabat selama dua periode pelayanan atau 10 tahun, baik dalam jabatan yang sama maupun jabatan yang berbeda. Keputusan ini akan mulai diberlakukan untuk masa jabatan MPH PGI hasil pemilihan pada Sidang Raya PGI XVIII tahun 2024 mendatang, dengan tuan rumah bersama Gereja Kristen Sulawesi Tengah (GKST) dan Gereja Toraja.

Hal ini disepakati dalam sidang pleno atas hasil komisi-komisi pada lanjutan Sidang Raya PGI XVII tahun 2019 yang berlangsung di gedung MPL Hapu Mbay, Rabu (13/11) yang dipimpin Pdt. Alfred J. Samani, didampingi Majelis Ketua Persidangan (MKP) lainnya, Pdt. Nurcahaya Gea, Pdt. Edward Tureay, Pdt. Dr. Merry Kolimon, Pdt. Wardinan L. Lidim dan Penatua Veldi Damasar.




Keputusan ini diambil setelah beberapa peserta dari sejumlah Sinode meminta MKP untuk memutuskan batas masa jabatan MPH PGI adalah 10 tahun atau dua periode pelayanan, baik dalam jabatan yang sama maupun jabatan yang berbeda secara berturut-turut, dengan pertimbangan banyaknya kader-kader PGI yang memiliki kapasitas untuk menjadi MPH PGI.

“Tolong untuk dokumen lima tentang tata dasar dan tata rumah tangga PGI poin tiga mengenai masa jabatan MPH PGI agar cukup 10 tahun, atau dua periode pada jabatan yang sama atau jabatan yang berbeda, agar ada proses regenerasi dalam kepengurusan MPH PGI. Karena ada 91 sinode saat ini, dan banyak yang layak memimpin PGI,” tegas Pdt. Jeirry Sumampow.

Pernyataan ini kemudian mendapat dukungan dari sejumlah peserta lainnya, sehingga kemudian Pdt. Alfred Samani yang memimpin pleno ini meminta persetujuan peserta sidang raya untuk memberikan persetujuannya dengan cara mengangkat papan orange sebagai tanda setuju atau biru sebagai tanda tidak setuju yang sudah dibagikan kepada setiap pemilik hak suara dalam sidang raya kali ini, dan hasilnya mayoritas peserta sidang raya mengangkat kartu orange sebagai tanda setuju.




“Ada beberapa yang mengangkat papan biru, tetapi karena mayoritas mengangkat kartu orange tanda setuju, sehingga kita nyatakan ini sah untuk kemudian akan digunakan mulai masa kerja MPH PGI hasil Sidang Raya XVIII nanti,” jelas Samani sambil mengetikkan palu.

Selanjutnya juga sempat terjadi perdebatan untuk batas usia peserta pemuda dalam Pertemuan Raya Pemuda Gereja (PRPG) yang diusulkan pada PRPG Waikabubak maksimal berusia 35 tahun, namun dalam forum sidang raya diusulkan 30 tahun, sesuai dengan standar yang dipakai pada Dewan Gereja-Gereja Sedunia (DGS). Namun kemudian karena pertimbangan masih banyaknya sinode yang mengirim pemudanya diatas usia 35 tahun pada PPRG Waikabubak lalu, forum sidang raya memutuskan tetap pada usia maksimal 35 tahun, dengan syarat sinode-sinode harus memberikan ruang kepada pemuda, agar di PRPG berikutnya bisa makin diturunkan hingga usia 30 tahun.

“Ini adalah tugas dan tanggung jawab kita semua, termasuk di sinode-sinode hingga gereja-gereja agar memberikan ruang kepada pemuda-pemuda kita, sehingga kemudian kita bisa memenuhi syarat yang ditetapkan oleh DGS. Karena banyak gereja yang belum bisa memenuhi syarat ini, khususnya gereja-gereja di Asia dan Afrika,” jelas Ketua Umum PGI, Pdt. Dr. Henriette Tabita Hutabarat-Lebang.




Sementara itu mengenai tuan rumah Sidang Raya XVIII PGI tahun 2024 mendatang, Sekretaris Umum PGI, Pdt. Gomar Gultom menjelaskan sebelumnya ada empat sinode yang mengajukan diri menjadi tuan rumah SR XVIII PGI tahun 2024 mendatang, namun kemudian Gereja Kristen Sangir Talaud dan Gereja Kristen Protestan Bali mengundurkan diri, sehingga kemudian ditetapkan GKST dan Gereja Toraja sebagai tuan rumah bersama. “Kalau Jepang dan Korea bisa menjadi tuan rumah bersama menyelenggarakan Piala Dunia tahun 2002, gereja juga harus bisa. Jadi untuk menghindari mekanisme voting, walaupun voting juga tidak berarti tidak baik. Kita putuskan agar GKST dan Gereja Toraja menjadi tuan dan nyonya rumah bersama. Mengenai tempatnya, kedua sinode bisa memutuskannya bersama nanti,” jelas Gomar.(ONI)

Show Buttons
Hide Buttons