Scroll to Top
Maki Mai
Posted by Frans Hebi on 26th September 2019
| 5156 views
Frans W. Hebi – Penulis Buku Autobiografi Frans W. Hebi Wartawan Pertama Sumba, Pengasuh Acara Bengkel Bahasa Max FM [Foto: Heinrich Dengi]

MaxFM, Waingapu – Kata Mai sebenarnya digunakan untuk menyebutkan jenis kelamin binatang dan tumbuh-tumbuhan. Bersinonim dengan kata betina, induk, biang. Misalnya, kuda mai, kerbau betina, induk ayam, biang keladi. Satu-satunya kata induk – dan ini sebagai pengecualian – yang digunakan untuk manusia kita temukan dalam ungkapan induk semang, yang artinya ibu asuh.

Semua suku bangsa di dunia mengenal juga maki lewat kata-kata, mimik dan panto mimik, lewat kinem atau bahasa tangan. Tapi tidak semua kata dan simbol itu mengarah pada seks atau alat kelamin.




Di Eropa misalnya, kalau orang mengepalkan keempat jari tangannya dan jari tengah ditegakkan lurus ke atas, itulah makian. Sama dengan orang Yunani. Jangan kita mengacungkan jempol di hadapan orang Yunani, karena itu adalah makian. Orang Roma tempo dulu ketika masih menguasai negara Yunani dengan ibu kota Constantinovel, kalau orang Roma marah atau maki, dengan suara keras mereka mengucapkan, CONSTANTINOVEL!!!

Orang Jawa kalau marah atau maki, cukup menyebut ndasmu (kepalamu), atau bajingan, yaitu tupai yang menghabiskan kelapa. Atau paling tidak, ndeso, artinya orang desa. Dan orang yang dituju sangat sakit hati.



Lain halnya kalau orang Sumba memaki. Sasarannya harus alat kelamin baik secara langsung menyebut barang tabu itu atau menyebut simbol-simbol berupa buah-buahan, umbi-umbian atau benda lain yang mirip alat kelamin baik perempuan atau laki-laki.

Untuk maki perempuan digunakan simbol-simbol kacang tanah (manila), kacang-kacang yang lain (kapapang), patatas (katabi), tiram (kima), siput mata tujuh. Untuk laki-laki simbolnya ubi kayu, keladi (hili), terong (kanduru), tomat (ambalai), dan bilangan tiga. Kalau memberikan sesuatu jangan jumlah tiga, kalau bukan empat ya dua.



Yang paling memprihatinkan adalah ketika orang Sumba memaki maka sasarannya alat kelamin ibu, atau bahkan menyuruh lawan itu bersetubuh dengan ibunya. (Di sini saya tidak menggunakan kata makian itu dalam bahasa yang sangat reflektif). Makian seperti ini seringkali berakibat terjadinya pembunuhan terutama di Sumba Barat dan Sumba Barat Daya.

Hampir tiap hari kita mendengar kata-kata makian dari anak-anak sejak TK hingga SLTA yang sasarannya ibu yang melahirkan kita. Sepertinya kata-kata maki itu sudah mandarah-daging sehingga tidak dirasakan lagi sebagai perilaku yang kurang ajar.

Ironisnya lagi baru-baru ini ketika saya berada di Kodi daerah kelahiran saya, seorang ibu memaki mai anak laki-lakinya dengan kata-kata yang sengaja saya haluskan, Bersetubuhlah dengan ibumu! Lalu saya tanya. “Siapa ibu anak itu?” Dia menjawab, “Saya” “Kalau begitu ibu maki diri sendiri”, kata saya, dan dia tersipu diam.




Kaum ibu selayaknya disebut pahlawan yang dengan susah-payah mengatasi berbagai penderitaan dalam membesarkan kita. Sembilan bulan mendukung kita dalam kandungan. Ketika lahir kita hisap tetenya selama kurang-lebih dua tahun, menyuao kita hingga besar. Dan jangan lupa ibu (tentu saja juga ayah) adalah pendidik utama dan pertama dalam keluarga sebelum memasuki pendidikan formal.

Ada cerita tentang ibu dan anak. Tersebutlah seorang gadis berumur 18 tahun. Sejak umur 15 tahun dia rajin membantu ibunya memasak, mencuci pakaian, menimba air dan macam-macam kerja yang lain layaknya di dalam rumah tangga. Entah setan dari mana yang menggoda gadis itu, tiba-tiba pada suatu hari dia minta supaya ibu membayar gajinya selama 5 tahun bekerja di dalam rumah tangga itu.

Ibunya menarik napas panjang sebelum menjawab. “Baiklah Nak. Adapun saya dukung engkau selama 9 bulan dalam perutku, susu saya yang kau hisap entah berapa gallon selama kurang lebih dua tahun, makan-minum yang kau konsumsi, pakaian dan lain-lain kebutuhan tidak perlu kau bayar”




Gadis itu terdiam dan menyesali perbuatannya. Betapa dia telah menyakiti hati ibunya yang selama ini selalu memperhatikan segala kebutuhannya, bila sakit dia tidak bisa tidur siang dan malam, dan lagi dia disekolahkan hingga SMA kelas III, dan kalau ada rejeki mau dikuliahkan.




Banyak ungkapan dalam Bahasa Indonesia yang mencerminkan keluhuran budi seorang ibu. Misalnya, lebih gampang seorang anak mencari ibunya ketimbang ayahnya. Kita paham maksud ungkapan ini. Seorang bapa bisa memungkiri anak hasil hubungan gelapnya, tapi seorang ibu tidak mungkin. Hal ini dikuatkan juga dengan ungkappan lain; kasih ayah sepanjang galah, kasih ibu sepanjang jalan. Jadi jalan lebih panjang dari pada jolok atau galah.***

Frans W. Hebi – Penulis Buku Autobiografi Frans W. Hebi Wartawan Pertama Sumba, Pengasuh Acara Bengkel Bahasa

Show Buttons
Hide Buttons