MaxFM,Waingapu – Kata belis seringkali menimbulkan konotasi miring, penafsiran yang keliru. Seakan-akan hanya pihak laki-laki yang beraksi sepihak dengan memberi hewan kepada pihak perempuan. Orang bertanya, “Berapa belis isterimu?” Lalu dijawab, “25 ekor atau 50 ekor” “Wah, hebat kau”. Nama laki-lakilah di sini yang menonjol.
Sedangkan dari pihak perempuan tidak muncul. Padahal imbalan belis itu seringkali berimbang bahkan bisa lebih. Di Sumba Timur setelah jumlah hewan diimbal ana kawini (anak perempuan) masih diberi mbola ngandi, harta bawaan berupa kain-sarung, gading dan ana hida sebagai tanda kebesaran. Ini terungkap dalam bahasa luluk (bahasa baitan), Nggadi panda ruaru, hada panda utu, yang artinya gading yang masih utuh, muti salak yang masih lengkap. Bahkan dulu anak wanita diberi hamba sebagai mbola ngandi.
Di Kodi, Sumba Barat Daya setelah belis diimbal semestinya berupa kain sarung, babi bertaring yang hidup dan yang dipotong, anak wanita masih diberi perabot rumah tangga berupa periuk, piring, lemari, tempat tidur, kuda tunggang (kini diganti dengan sepeda motor, bahkan ada yang memberi mobil). Ada juga orang tua yang menghibahkan anak perempuannya sebidang tanah yang diistilah kan dalam bahasa Kodi, kamba njamadirako, wawi njakapore, artinya kain yang tidak akan robek, babi yang tidak kena penyakit. Ini sebagai tanda mata yang tidak akan pernah hilang.
Melihat keadaan seperti ini, setelah bayar belis dan menerima imbalan yang berimbang (orang Sumba Timur mengatakan jangan berat sebelah), bahkan masih ada mbola ngandi anak perempuan, maka ada orang Belanda di Sumba pada jaman kolonial yang mengatakan, kalau begitu, belis itu singkatan dari beli ala Sumba. Kebetulan sekali kata belis itu berasal dari kata beli. Karena gejala bahasa paragoge, penambahan konsonan di akhir kata jadilah beli menjadi belis. Seperti halnya bapa – bapak, adi – adik, ina – inang.
Kata belis yang berarti beli masih terasa dalam bahasa-bahasa daerah di Sumba seperti wili, Sumba Timur, welli, Waijewa/Lauli/Laura, walli/Kodi, yang kalau diterjemahkan berarti harga. Hanya suku Anakalang/Sumba Tengah yang membedakan antara wilu dengan hina. Wilu harga untuk barang, benda sedangkan hina untuk orang dalam hal ini perempuan yang berarti nilai, martabat. Kalau orang Anakalang bertanya berapa belisnya mereka mengatakan, “Pira na hina?” “Berapa nilai/martabat anak perempuan itu ?”
Mengapa janda tidak boleh dibelis lagi?
Dengan selesainya pembelisan dalam arti suami pertama, maka suami-isteri menjadi satu adanya dalam segala hal, suka-duka, sehidup walaupun jarang semati namun sekubur. Artinya kalau suami pertama meninggal lebih dahulu lalu isterinya kawin lagi dengan orang lain, kalau isteri tadi meninggal maka jenazahnya harus disatukan dengan suaminya yang pertama.
Di Kodi Sumba Barat Daya sebagai tanda kesatuan suami-isteri selain ungkapan ole uma (teman serumah/sekamar) nama awal suami-isteri digandeng/dirangkai. Misalnya suami bernama Rangga Mone dan isteri Muda Botha menjadi Rangga Muda untuk suami dan Muda Rangga untuk isteri. Walaupun Rangga Mone kawin lagi dengan Pati Kaka dan Deta Karere. Untuk suami tetap dirangkai dengan nama isteri pertama. Kedua isteri boleh dirangkai dengan suami; Pati Rangga dan Deta Rangga. Kalau suami meninggal lebih dulu maka isteri-isteri tadi terutama isteri pertama walaupun sudah bersuami lagi maka jenazah mereka harus disatukan dengan suami pertama karena mereka ini sudah dibelis. Tidak ada kompromi supaya salah satu dari kedua isteri tadi boleh dikubur bersama suami yang baru meski suami baru ini tidak punya isteri lain.
Jika janda dibelis lagi kasarnya sama dengan diperjual-belikan. Sudah dibelis (dibeli) kemudian dijual lagi. Timbul pertanyaan. Kalau isteri ini meninggal siapa yang berhak sekubur dengan dia, suami pertama atau kedua karena sama-sama membayar belis. Saya kira inilah masalahnya sehingga tidak boleh dobel membelis.
Boleh bersuami lagi tanpa membayar belis. Mungkin hanya acara sederhana untuk sekedar memberitahukan kepada kaum keluarga bahwa inilah pengganti almarhum yang memelihara isterinya dan anak-anaknya. Istilahnya di Waijewa kona, di Kodi rawing. Kalau di Kodi jika yang rawing itu saudara kandung suami maka cukup potong ayam, boleh juga babi. Jika orang lain yang rawing selain potong babi istilahnya tunu juga ditambah satu ekor kuda tapi ini bukan belis yang disaksikan oleh kaum-kerabat almarhum.
Oleh : Frans W. Hebi (Narasumber Tetap Acara Bengkel Bahasa Radio MaxFM Waingapu)