MaxFM, Waingapu – Layanan pasien peserta JKN (Jaminan Kesehatan Nasional) harus mengikuti regulasi yang ada. Salah satunya adalah rujukan berjenjang secara ‘on line’. Apa yang sebaiknya diperbaiki?
Tujuan kita adalah untuk menciptakan layanan kesehatan yang bermutu, terjangkau dan legal. Layanan kesehatan bermutu buruk, terbukti menghambat kemajuan dalam meningkatkan derajad kesehatan pada warga negara. Hal ini termuat pada laporan gabungan yang dikeluarkan pada Kamis, 5 Juli 2018 oleh Organisasi Kerjasama Ekonomi atau ‘The Organisation for Economic Co-operation and Development’ (OECD), Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan Bank Dunia (World Bank). Laporan tersebut berjudul Layanan Kesehatan Global menuju Cakupan Kesehatan Semesta atau ‘Universal Health Coverage’ (UHC), yaitu sebuah kondisi di mana setiap orang dapat menerima layanan kesehatan yang mereka butuhkan, tanpa mengalami kesulitan dalam bidang keuangan.
Layanan pasien di Indonesia yang memerlukan rujukan oleh dokter di puskesmas atau Faskes Primer lainnya, saat ini dilakukan menggunakan aplikasi p-care. Layanan dokter spesialis di RS tipe D atau tipe terendah yang dituju, dilakukan sesuai data HFIS (Health Facilities Information System), termasuk jadwal praktek dokter spesialis dan kuota pasien yang akan dilayani. Kalau sudah hampir penuh atau 80% kuota terpenuhi, maka pasien akan dirujuk ke RS dengan tipe D yang sama, bahkan dapat juga diteruskan dengan naik tipe RS ke C, B dan A, bila tetap penuh.
Tujuan pengaturan rujukan ‘on line’ dan berjejang ini adalah agar pasien peserta JKN mendapatkan kepastian layanan, terjadi kendali mutu, dan juga kendali biaya layanan. Hal ini disebabkan karena tarif INA CBGs di RS dengan tipe yang lebih rendah, memiliki nominal yang lebih sedikit. Dampak buruknya, pasien kadang harus pergi jauh ke RS tipe D yang lebih rendah, sementara RS dengan tipe C atau B yang lebih tinggi, ada di dekat rumahnya. Demikian juga, anggota TNI, Polri dan karyawan RS tipe tinggi, tidak dapat langsung dilayani di RSnya sendiri.
Mungkin perlu dipertimbangkan untuk diberlakukan tarif INA CBGs yang sama (tunggal), untuk kode diagnosis dan atau prosedur medis yang sama, di semua RS tanpa membedakan kelas RS, di regional yang sama, dengan menggunakan tarif RS tipe C. Besaran tarif mengacu pada PMK (Peraturan Menteri Kesehatan) nomor 6 tahun 2018 dan nomor 52 tahun 2016, Tentang Standar Tarif Pelayanan Kesehatan Dalam Penyelenggaraan Program Jaminan Kesehatan.
Beberapa keuntungan yang dapat dicapai pada tarif tunggal ini adalah pertama, kendali biaya dan kendali mutu tetap dapat diterapan. Kedua, tidak memerlukan pengaturan baru kelas RS, dan mencegah terjadinya perpindahan banyak sekali dokter spesialis ke RS lain, sesuai rencana baru PMK tentang kelas RS (rancangan PMK no 45 tahun 2018 yang berdimensi layanan maksimal), sebagai pengganti PMK 56 Tahun 2014 tentang Klasifikasi Dan Perizinan Rumah Sakit (yang berdimensi layanan minimal). Ketiga, pasien dilibatkan dan diberikan hak, untuk ikut menentukan RS yang akan dituju dalam proses rujukan, atau hak otonomi pasien tetap dihargai, tidak sepenuhnya dikendalikan oleh aplikasi.
Keempat, akan lebih mungkin terjadi persaingan yang sehat antar RS, untuk memberikan layanan pasien yang semakin lebih baik, meski dengan tarif yang sama dengan RS lain dan terhindar dari risiko perang tarif antar RS. Kelima, tidak terjadi pemusatan pasien di RS tipe D atau RS dengan tipe yang lebih rendah, dengan RS tipe yang lebih tinggi mengalami penurunan jumlah pasien secara hebat. Keenam, pasien yang merupakan anggota TNI, Polri dan karyawan RS dapat dilayani di RS-nya sendiri, sehingga dapat mengakomodasi surat protes Menhan Ryamizard Ryacudu nomor B/1341/M/IX/2018, tertanggal 17 September 2018. Ketujuh, data HFIS (Health Facilities Information System) dan p-care tetap digunakan, khususnya untuk melihat kuota layanan, agar antrian pasien yang panjang di RS yang dikehendaki, dapat digunakan oleh pasien untuk menentukan pilihan rujukan. Kedelapan, rujukan berjenjang ‘on line’ tetap digunakan, tetapi hanya untuk melakukan rujukan antar RS, bukan rujukan dari FKTP ke RS.
Memang ada risiko kerugian karena sumber daya untuk proses diagnostik dan tatalaksana pasien yang akan digunakan untuk suatu diagnosis mungkin saja sama di setiap kelas RS, tetapi tarif Hospital Based Rate (HBR) akan berbeda. HBR RS tipe yang lebih besar akan lebih mahal dibandingkan dengan RS dengan tipe yang lebih kecil, misalnya jumlah pegawai RS lebih banyak, gedung lebih luas, biaya pemeliharaaan lebih tinggi dan sebagainya. Namun demikian, risiko kerugian finansial ini tentu jauh lebih kecil, dibandingkan manfaat yang diperoleh atau kondisi tidak adanya pasien JKN yang dilayani, karena pasien sudah terseleksi di RS dengan tipe yang lebih rendah seperti sekarang ini. Selain itu, HBR antar RS yang berbeda, rasanya justru akan memicu hal positif berupa gerakan baru, misalnya efisiensi kreatif setiap RS.
Sistem layanan pasien dalam era JKN, memerlukan partisipasi sebanyak mungkin pihak dalam perbaikan terus menerus, untuk mencapai UHC sebelum tahun 2019.
FX. Wikan iIdrarto, Ketua IDI Cabang Kota Yogyakarta, dokter spesialis anak, Alumnus S3 UGM, Lektor FK UKDW