Scroll to Top
Menyimak Tiga Dongeng: Wilayah Beda Tema Sama
Posted by maxfm on 30th Mei 2018
| 13307 views
Frans W. Hebi, Wartawan Senior, Budayawan, Narasumber Tetap Acacra Bengkel Bahasa Radio MaxFM [Foto: Heinrich Dengi]

MaxFM, Waingapu – Tiga dongeng dimaksudkan, Memancing, karya I Wayan Arka, Umbu Miata, karya B. Retang Wohangara, dan Putri Kandil karya kami.

Memancing, dongeng berasal dari Rongga, Manggarai, Flores. Kami kutip dari buku Cerita Bahasa Rongga salah satu dari 18 cerita. Umbu Miata, dari Kambera, Sumba Timur. Kami kutip dari Cerita Rakyat Sumba, salah satu dari 10 dongeng. Dan Putri Kandil, dari Kodi Sumba Barat Daya. Belum diterbitkan meskipun kami sudah menulis dua buku masing-masing berjudul, Cerita Rakyat Sumba dan Cerita Rakyat Kodi, bahan Mulok di SD.

Kami kaget ketika membaca kedua buku tadi, Memancing dan Umbu Miata. Karena baik tema sentral maupun isi ceritanya sama. Adapun plot atau alur cerita serta pengembangannya bervariasi namun ide sentral tetap sama. Adanya variasi pasti kita maklumi bersama bahwa dongeng-dongeng pada umumnya termasuk Sumba, anonim. Artinya tidak diketahui siapa penceritanya. Kita mewarisinya hanya lewat cerita dari mulut ke mulut.

Dari sinilah timbulnya variasi, dalam arti menambahkan atau mengurangi cerita aslinya.

Yang benar-benar sama dari ketiga cerita tadi, adanya pemancing yang pancingnya diputuskan oleh ikan raksasa. Bedanya, jika dua cerita, Umbu Miata dan Putri Kandil pemancing menggunakan mata kail dan talinya yang terbuat dari emas, dalam cerita Memancing tidak demikian.

Bahwa pancing itu pinjaman dari teman, kita temukan dalam Memancing dan Putri Kandil yang menuntut pancingnya harus dikembalikan. Ikan raksasa yang dianggap raja oleh rakyatnya dan mengalami sakit tenggorokan gara-gara mata kail yang tersangkut sehingga perlu dukun sama di tiga cerita.

Sebagai imbalan karena raja sudah disembuhkan tidak terdapat dalam Umbu Miata, sedangkan dalam Memancing dan Putri Kandil diceritakan raja ikan menghadiahkan putrinya. Dalam Putri Kandil namanya Kandil, sedangkan dalam Umbu Miata tidak disebutkan namanya.


Tiga cerita dimaksud kami turunkan berikut ini:

Memancing

Oleh I Wayan Arka

Dahulu ada seorang nelayan, namanya kakek Ndaro. Pada saat dia memancing kailnya putus digigit ikan Manu Liu. Manu Liu adalah raja ikan. Tidak lama kemudian kakek Ndaro pulang untuk memberitahukan kepada pemilik kail bahwa kailnya putus.

“Kau harus membayar atau mencarinya”, kata pemilik kail.

“Ya, saya harus pergi membelinya dulu”, jawab kakek Ndaro.

“Jangan, tidak boleh diganti”, kata pemilik kail.

“Terus sekarang aku harus bagaimana?”, jawab kakek Ndaro.

“Engkau harus mengambilnya, aku tidak mau kailku diganti”, kata pemilik kail.

“Kalau begitu tunggu sampai besok”, jawab kakek Ndaro.

Keesokan harinya dia pergi mencari kail menggunakan sampannya. Sesampainya di sana, dia terjun ke dalamnya. Saat itu ia sangat kaget, karena di dalamnya terdapat perkampungan besar. Tak lama kemudian datanglah masyarakat untuk melihat rajanya dan bertanya kepadanya.

“Ada keperluan apa anda datang ke sini?”

“Tujuan kedatanganku untuk mencari kail”, jawab kakek Ndaro.

“Kalian mau ke mana?”, tanya kakek Ndaro.

“Kami pingin melihat raja kami, dia sakit tenggorokan”, jawab mereka.

“Di mana? Mungkin saya bisa menyembuhkannya?”, tanya kakek Ndaro.

“Mungkin engkau ingin mencoba kekuatan magismu?” tanya mereka.

“Saya tidak memiliki kekuatan magis, kalau begitu kita sama-sama ke sana” kata kakek Ndaro.

Sesudah itu mereka berjalan ke tempat raja mereka berada. Sesampainya di sana memang benar keadaannya begitu parah.

“Coba kamu lihat ke dalam mulutnya, mungkin kailmu yang hilang itu tersangkut di dalamnya” kata mereka.

“Saya takut untuk mengambilnya, mungkin dia akan menggigitku nanti”, kata kakek Ndaro.

“Katanya kamu mempunyai kekuatan magis” tanya mereka.

“Kalau begitu, coba anda membuka mulutmu” kata kakek Ndaro.

Sesudah itu kakek Ndaro segera memasukkan tangannya ke dalam mulut raja ikan. Sesudah dicabut kakek Ndaro berkata.

“O, memang benar, ini memang kailku” Dan segera disimpannya ke dalam saku bajunya.

“Bagaimana keadaannya” Apakah sudah membaik?” tanya kakek Ndaro.

“Ya, sudah agak membaik” jawab raja ikan.

“Saya mau membayarmu dengan apa?” tanya raja ikan.

“Sebaiknya tidak usah saja, saya tidak mengharapkan apa-apa” jawab kakek Ndaro.

“Ah, jangan. Kamu nikah dengan salah satu dari anakku, agar bisa pergi bersamamu”, kata raja ikan.

Akhirnya kakek Ndaro mengiyakan apa yang telah dikatakan raja ikan.

Tidak lama kemudian mereka merayakan acara perkawinan yang lamanya dua hari, dua malam. Ketika hari yang ketuju, mereka pamit untuk pulang.

“E, bapa, kami mau minta pamit”, kata kakek Ndaro bersama isterinya.

“Jangan dulu pulang, tunggu ada pemberitahuan dari saya”, jawab raja ikan.

“Kalian tidak bisa jalan sendiri, saya harus membuat perahu untuk kalian”, kata raja ikan.

“Baiklah kalau begitu”, jawab kakek Ndaro beserta isterinya.

Sesudah perahunya dibuat, yang lamanya satu minggu, mereka langsung meminta pamit untuk pulang.

Mereka membawa serta kapur sirih yang dititipkan ayahnya untuk disiramkan ke badan para anak buahnya. Dalam perjalanan mereka menyiram kapur sirih tersebut ke badan anak buahnya.

Maka anak buahnya berubah menjadi ikan berbisa. Ikan ini ditugaskan sebagai bala tentara untuk menjaga kakek Ndaro bersama isterinya dalam perjalanan pulang.

Sesampainya di daratan kakek Ndaro segera memberi kail kepada pemiliknya, lalu mereka berdamai.***


Umbu Miata

Oleh B. Retang Wohangara

Seorang pemuda bernama umbu Miata memotong sebatang pohon untuk membuat sebuah perahu. Setelah perahu siap untuk digunakan dia menyiapkan alat memancing dan bekal untuk pergi melaut. Pancingnya terbuat dari bahan emas yang ditempa sehingga membentuk benang emas yang amat panjang. Umbu Miata adalah manusia pertama dan demikian juga perahunya. Setelah semuanya siap pagi-pagi benar dengan perlahan-lahan dia mendorong perahunya ke dalam air dan mendayungnya melewati bibir teluk. Setelah agak terang, dia tiba di tujuannya dan segera membuang sauh. Umpan dipasang pada mata kailnya dan dilempar ke laut. Dia kemudian berseru, “Hai, kamu yang ada di laut dalam! Bila engkau yang lebar sisiknya dan besar mulutnya sedang lewat, bawa lari dan tariklah pancing saya sampai putus”

Tidak lama kemudian, sesuatu menarik pancingnya. Dengan sekuat tenaga dia menggulung pancingnya dan berhasil mendapatkan ikan merah yang besar (ru hani). Namun dia sangat kecewa dan berkata, “Bukan engkau udang yang saya inginkan dan kepiting yang saya cari”

Umbu Miata mendayung sampannya ke tempat yang lebih dalam. Dia memasang umpan dan melempar kailnya ke laut sambil berseru.

“Hai, kamu yang ada di laut dalam. Bila engkau yang lebar sisiknya dan besar mulutnya sedang lewat, bawa lari dan tariklah pancing saya sampai putus”

Tidak lama kemudian, ada yang menarik pancingnya. Dengan sigap dia menarik pancingnya dan berhasil mendapatkan ikan yang lebih besar (punggul), ikan yang jarang didapat dengan memancing. Namun dia tetap kecewa dan berkata, “Bukan engkau udang yang saya inginkan dan kepiting yang saya cari”

Dia mengayuh sampannya ke tempat yang lebih dalam, melemparkan lagi kailnya dan berseru, “Hai, kamu yang di dalam laut dalam. Bila engkau yang lebar sisiknya dan besar mulutnya sedang lewat, bawa lari dan tariklah pancing saya sampai putus”

Tidak lama kemudian, sesuatu menarik pancingnya dengan kencang. Dia gembira dan berseru, “Engkaulah udang yang saya inginkan dan kepiting yang saya cari”

Dua hari dua malam dia berusaha menarik pancingnya namun sia-sia. Umbu Miata kehabisan bekal.

Karena kuatir pancing emasnya putus dan adalah tabu bagi seorang nelayan untuk memotong tali pancingnya dengan sengaja ketika ada ikan yang terkait pada kail pancingnya, maka umbu Miata memutuskan untuk terjun ke laut, menyelam mengikuti tali pancingnya. Setelah sampai ke dalam dia mendapati sebuah lembah. Tali pancingnya tersangkut pada sebatang pohon asam namun ujung mata kailnya tidak kelihatan. Dia terus menelusuri tali pancingnya, dan akhirnya sampai di pinggir sungai. Di tempat itu ia bertemu dengan beberapa orang gadis. Dia bertanya kepada mereka,

“Ho rambu, kalian sedang apa?”

“Kami datang untuk menimba air. Semua orang berkumpul di istana karena raja kami (maramba tahiku) sedang sakit mulutnya”

“Kalau begitu”, katanya, “pulanglah cepat-cepat dan katakan kepada orang-orang bahwa kalian baru saja bertemu dengan orang pintar yang dapat menyembuhkan rajamu”

“Baiklah”, jawab gadis-gadis itu dan bergegas kembali ke istana untuk memberitakan kabar tersebut.

Pihak kerajaan menyuruh utusan untuk memintanya menyembuhkan raja mereka. Umbu Miata dipersilahkan duduk di atas tikar dan diberi sirih pinang. Beberapa orang memikul sang raja ke hadapannya. Dia memasukkan jarinya ke dalam mulut sang raja. Dengan kelihaiannya umbu Miata berhasil mengeluarkan mata kail dari mulut raja, namun menunjukkan sepotong kecil kayu yang tajam untuk meyakinkan mereka bahwa kayu itulah penyebab sakit sang raja. Hal itu terjadi karena kesaktiannya, orang-orang tidak dapat melihat ketika dia menggulung tali pancingnya atau mengeluarkan mata kail dari mulut sang raja.

Setelah raja sembuh, umbu Miata lalu berenang ke permukaan dengan mengikuti jejak tali pancingnya. Dia naik kembali ke atas perahunya, menggulung tali pancingnya dan bergegas pulang ke rumah.***


Putri Kandil

Oleh Frans W. Hebi

Tersebutlah dua bersaudara, Ra Mone dan Pati Mone. Tinggal di kampung berdekatan, Waindimu dan Halekandangar.Ra Mone mengawini Pati Bebe. Lahir dua anak laki-laki, Pati Tuyo dan Pati Capa. Ra Mone kawin lagi dengan putri kayangan bernama Kahi Lendu Awang. Dengan bantuan kinjo (benang klos) yang direntang dari kayangan dia bisa naik-turun ke bumi.

Dari perkawinannya dengan putri kayangan diperoleh dua anak laki-laki pula. Ra Tuyo dan Ra Capa. Pati Bebe selalu cekcok dengan Kahi Lendu Awang madunya. Keempat bersaudara ikut-ikutan pula. Rumah tangga Ra Mone menjadi ajang perselisihan. Jangan heran, satu isteri dari kayangan dan satu lagi dari bumi. Saling menunjukkan kelebihan untuk mengambil hati suami. Tidak heran kalau Ra Mone lebih berat hatinya pada Pati Bebe.

Pada suatu hari Pati Tuyo dan Pati Capa mengajar kedua saudara tiri membakar hutan yang sudah ditebang. Tujuannya membuat kebun, tapi tujuan utama mau membunuh mereka. Kayu-kayu dan daun kering disusun begitu rupa hingga membentuk lingkaran, lalu menyuruh mereka masuk ke tengah.

Begitu kedua saudara tiri masuk ke tengah, Pati Tuyo dan Pati Capa serentak mebakar keliling. Untunglah di tengah kebun ada batu besar plat dan di bawah batu itu ada sumur penuh berisi air. Keduanya berlindung di bawah sumur sehingga luput dari amokan api.

Mengira mereka sudah mati, Pati Tuyo dan Pati Capa kembali ke rumah. Tapi mereka heran, karena tidak berapa lama di antaranya, kedua saudara ini muncul lagi. Bagaimana mungkin mereka bisa selamat? Bukankah mereka sudah dimakan api? Pikir mereka. Namun Ra Tuyo dan Ra Capa tidak pernah membuka rahasia.

Pati Bebe mencari daya lain untuk mempermalukan madunya yang dianggapnya saingan berat mentang-mentang berasal dari kayangan.

“Hai Kahi Lendu Awang perempuan dari kayangan. Mau menantang saya? Kalau benar engkau perempuan dari kayangan, mari kita buang hajat yang menghasilkan emas dan perak!” Kata Pati Bebe dengan suara lantang pada suatu hari.

Kahi Lendu Awang diam sejenak, kemudian berkata,

“Baiklah, tapi saya harus berunding dulu dengan orang tua dan saudara-saudara saya di kayangan”

Kahi Lendu Awang menggunakan kinjo lalu meluncur ke kayangan mengikuti alur benang. Di sana dia menceritakan masalahnya, bahwa dia dinantang selirnya berhajatkan emas dan perak.

Mendengar hal itu kedua orang tua menyarankan agar dia memakan telur ayam dengan aturan mula-mula putih telur kemudian kuningnya. Seusai dinasihati, Kahi Lendu Awang turun ke bumi.

Pati Bebe pun menghadap orang tuanya di kapung yang jauh dari kampung Halekandangar. Tujuan sama, meminta petunjuk. Disarankan oleh orang tuanya, agar sekembali ke Halekandangar dia memakan labu merah mulai dari kulit hingga isi, tidak boleh ada yang sisa.

Pada hari yang ditentukan, kedua perempuan itu mengundang banyak orang guna menyaksikan kehebatan mereka. Di halaman rumah dibentangkan tikar besar dan sebatang tongkat sepanjang dua depa ditegakkan untuk mengukur ketinggian emas dan perak yang dihajatkan. Orang berdatangan ingin menyaksikan perempuan siapa yang betul-betul hebat dan karena itu layak disebut isteri sejati.

“Siapa yang memulai?” Tanya pengatur acara.

“Sebaiknya Pati Bebe, dia isteri pertama dan lagi pula dia yang menantang saya” Tukas Kahi Lendu Awang yang segera disepakati oleh para penonton.

Pati Bebe mengeluarkan hajat. Ternyata hanya perunggu dan tembaga yang bermunculan walaupun memenuhi tikar dan setinggi tongkat. Hadirin menggeleng-geleng kepala seraya mencibir.

Giliran Kahi Lendu Awang. Hajat pertama menghasilkan perak dan emas muda. Menyusul hajat kedua yang menghasilkan emas tulen berkilauan memenuhi tikar dan setinggi tongkat. Gegap gempita dan sorak sorai memenuhi seluruh kampung dan akhirnya menjalar ke kampung-kampung tetangga. Semua emas dan perak dikumpulkan dalam bakul-bakul serta sokal untuk disimpan di dalam rumah.

Pati Bebe beserta seluruh keluarga yang hadir terpaksa pulang dengan malu yang tidak bisa dihapuskan. Sejak saat itu dia mengurangi sikap bermusuhan, dan tidak lagi menyindir kepada madu dan anak-anak tirinya.

Untuk menghindari sikap sindir menyindir Ra Tuyo dan Ra Capa berangkat ke negeri seberang dengan tujuan mengaduh untung. Mereka cukup lama di perantauan hingga Ra Tuyo memperoleh hasil. Dia mendapat kail emas baik tali maupun mata kailnya.Begitu mereka menemukan barang berharga itu, timbul niat untuk kembali ke kampung Halekandangar. Tentu saja mereka disambut gembira terutama ibu mereka.

Tidak berapa lama Ra Tuyo pergi lagi ke tempat lain untuk jangka waktu yang tidak diketahui. Inginlah Ra Capa memancing di muara Langgur tidak jauh dari kampung Halekandangar. Dia mengambil pancing emas saudaranya yang disembunyikan di atas loteng. Baru saja dia membuang pancingnya ke dalam air, Rato Manonggol (kerapu raksasa) menyergap pancing bersama talinya lalu lari ke dasar laut. Ra Capa hanya terpaku di pinggir karang. Mau mengejar, itu perbuatan sia-sia. Dia bingung karena ini merupakan barang yang mahal hasil merantau bertahun-tahun, lagi pula milik kakaknya. Teringat olehnya betapa dia akan dimarahi.

Benar juga. Ra Tuyo kembali selang berapa lama. Ketika akan mengambil kail karena ingin memancing, ternyata sudah tidak ada. Hal itu ditanyakan kepada adiknya. Akan berbohong kiranya sulit.

“Sayalah yang meminjam kail itu kak. Sialan, ikan jahanam merampasnya dan membawa kabur”

“Pokoknya kau harus cari kail itu sampai ketemu. Kalau tidak, akan kubunuh” Ra Tuyo mengancam adiknya.

Sehari-harian Ra Capa menyisir muara dan pesisir sekiranya ikan mati terdampar. Namun sia-sia, ibarat mencari jejak di dalam air.

Tersebutlah Wala Manengge orang tua yang punya kebun di sekitar Waihadu, satu-satunya mata air yang tidak jauh dari pesisir. Dia heran melihat gelagat orang muda itu yang saban hari lalu-lalang. Orang tua ubanan ini sakti, lagi ahli nujum.

“Apa yang kau cari, tiap hari lewat di sini”, tanya Wala Manengge.

“Saya ini manusia yang paling sial di dunia. Kail emas kakak saya hilang. Ikan besar menyambar dan melarikannya, sementara saya sendiri tidak mampu menahannya. Lantaran itu kakak saya mengancam saya” Ra Capa berkisah.

“Bapa bisa membantumu. Tapi ingat, mata air Waihadu yang adalah milik kampung Waindimu dan Halekandangar, berikan kepada kampung kami, Ngahuwatu sebagai imbalan”, pinta orang tua sakti, dan Ra Capa mengiyakan. (Kini mata air Waihadu menjadi milik kampung Ngahuwatu, kampung orang tua sakti itu).

“Besok sebelum matahari terbit kau ke sini lagi. Kita cari kail itu”, dia menambahkan.

Pagi-pagi sekali Ra Capa sudah berada di rumah Wala Manengge.

“Naiklah ke bahu saya dan jangan kau toleh ke belakang”, kata orang tua itu. Tiba di pinggir laut Ra Capa diturunkan persis di depannya. Tiba-tiba laut berubah menjadi padang rumput.

“Itu tali kail” kata orang tua itu seraya menunjukkan tempatnya tidak jauh dari situ.

Wala Manengge kembali. Ra Capa menelusuri tali pancing dan akhirnya tiba di suatu mata air. Dia beristirahat sejenak. Tidak jauh dari mata air ada perkampungan besar. Di salah satu rumah terbaringlah Rato Manonggol kesakitan. Disentak-sentaknya pula tali kail itu sehingga Rato Manonggol meraung-raung kesakitan yang bisa didengar dari mata air.

Tidak lama kemudian datanglah beberapa wanita hendak menimba air. Melihat muka baru, sengaja mereka bercerita betapa raja mereka sakit berat. Penyakit aneh yang diidap raja adalah akibat perbuatan manusia dari darat juga. Banyak dukun yang mengobati tapi penyakitnya bertambah parah. Jika saja ada dukun berhasil menyembuhkannya, nona Kandil putri tunggal raja mau dihadiahkan sebagai imbalan jasa.

Mendengar itu tergerak hati Ra Capa, namun dia menunggu kapan kiranya ada tawaran wanita-wanita tadi. Salah seorang wanita memberanikan diri menanyai dia, apa mampu mengobati raja. Tidak perlu khawatir soal imbalan sangat mahal, (sambil berbisik, taruhannya putri Kandil).

“Akan kucoba kalau memang demikian taruhannya”, menjawab Ra Capa lalu membuntuti wanita-wanita itu seraya menggulung tali pancing. Wanita-wanita itu segera melapor kepada raja tentang adanya dukun yang bersedia mengobatinya.

“Suruh dia masuk”, kata raja.

“Inilah saya yang sakit. Tidak makan tidak minum, tidur pun tidak. Sudah banyak dukun memberikan pertolongan, tapi semuanya gagal” Rato Manonggol menjelaskan dalam bahasa terbata-bata. Soalnya mata kail masih tersangkut di tenggorokan.

“Kita sama-sama boleh berharap. Saya akan mencobanya”, jawab Ra Capa.

Disuruhnya membuat kemah tertutup sehingga tak seorang pun boleh masuk, kecuali mereka berdua. Kemudian menyuruh tongkat kedua rahang Rato Manonggol agar dengan leluasa bisa memeriksa tenggorok raja. Dia membuat kayu silang menggantikan mata kail.

Pemeriksaan dimulai. Dia menggulung tali kail kemudian mengangkat mata kail yang tersangkut di tenggorok, lalu memperlihatkan kayu silang kepada orang-orang yang sudah lama menunggu di luar.

“Inilah penyakit rajamu. Untung belum terlambat”, katanya seraya meminta air panas yang disiramkan ke tempat luka.

Rato Manonggol segera merasakan perubahan. Disuruhnya hamba-hamba menjamu dukun itu sebaik-baiknya. Lepas tiga hari luka pada tenggorok hampir sembuh sama sekali. Namun Rato Manonggol belum berbicara apa-apa tentang imbalan jasa. Karena itu Ra Capa menghadap raja.

“Tuan, maafkan kalau boleh saya berbicara. Penyakit tuan sudah hampir hilang. Karena itu, dan seandainya boleh, buka perasaanlah pada saya, karena saya di sini sudah terlalu lama, saya mau beranjak pulang”

Rato Manonggol segera memahami maksud dukunnya. Karena itu dia memanggil salah seorang putri. Kiranya bukan putri Kandil, melainkan salah seorang hamba.

“Inilah putri tunggalku yang akan kuberikan padamu sebagai balas jasa”

Ra Capa sangat kecewa karena dia tahu bahwa itu bukan putri Kandil, namun rasa amarahnya ditahan. Bagaimana mungkin saya dikibuli, karena nama putrinya sudah saya ketahui dari wanita-wanita itu, pikirnya dalam hati.

“Saya akan memeriksa sekali lagi penyakit tuan jangan sampai kambuh. Sekarang tuan bisa buka mulut sendiri tanpa dibantu dengan tongkat”, kata dukun.

Rato Manonggol membuka mulut lebar-lebar. Ra Capa mengaitkan kembali mata kail itu ke dalam tenggorok. Dia keluar sambil menarik tali pancingnya kencang-kencang. Rato Manonggol kini meraung kembali, dan rasa sakitnya bertambah hebat. Sampai-sampai ada yang bertanya, mengapa gerangan penyakit raja kambuh lagi. Yang lain menjawab, rupanya ada persyaratan yang tidak dipenuhi. Hal itu dijelaskan kepada Rato Manonggol. Akhirnya raja sadar lalu memanggil putrinya yang sebenarnya. Di hadapan dukun dia berterus-terang kalau putri yang satu-satunya ini dia sangat mencintainya dan tidak mau berpisah dengannya.

“Ini putri tunggalku yang akan kuberikan sebagai balas jasamu”

Sebagai bukti cintanya, dia akan menyerahkan separuh emasnya yang tak terbilang banyaknya untuk dibawa serta dengan putri Kandil ke Halekandangar.

“Terimakasih tuan, dan coba saya periksa penyakit tuan sekali lagi”

Rato Manonggol membuka mulut. Ra Capa mengeluarkan kembali mata kail sehingga pasiennya sembuh untuk seterusnya.

Dalam pada itu Rato Manonggol beserta seluruh isi kampung mengadakan kenduri besar, empat hari empat malam lamanya sebagai tanda syukur karena telah sembuh dari sakit dan sekaligus perpisahan dengan putri Kandil. Akhirnya putri Kandil diboyong ke kampung Halekandangar. Emas-emas yang menjadi harta bawaannya diangkut setiap hari. Karena sulit tempat penyimpanan, maka seluruh emas bawaan ditambah hasil hajat Kahi Lendu Awang disimpan di dalam gua di lereng kampung Halekandangar dekat muara Langgur. Hingga kini gua itu disebut Kandil sesuai nama putri Rato Manonggol.
( Frans W. Hebi )

Show Buttons
Hide Buttons