MaxFM, Waingapu – Sejak Selasa, 1 Mei 2018, telah berlaku aturan baru dari BPJS Kesehatan, tentang penjaminan biaya pasien gawat darurat pada era Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Apa yang harus dicermati?
Aturan baru tersebut, dimuat di dalam Peraturan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan Nomor 1 Tahun 2018, Tentang Penilaian Kegawatdaruratan Dan Prosedur Penggantian Biaya Pelayanan Gawat Darurat. Perlu dicermati, khususnya pada BAB II tentang Penilaian Kegawatdaruratan, khususnya Pasal 6 tentang penjaminan biaya pasien oleh BPJS Kesehatan. Pada ayat (1) mengatur tentang pelayanan gawat darurat medis yang harus memenuhi syarat, yaitu memenuhi kriteria sebagai pasien gawat darurat medis, pelayanan dilakukan di ruang pemeriksaan atau Instalasi Gawat Darurat (IGD) RS, dan pelayanan dilakukan sesuai tatalaksana penanganan pasien gawat darurat.
Namun demikian, ayat (2) menjelaskan tentang kriteria sebagai pasien gawat darurat medis yang cukup longgar untuk ditafsirkan. Kriterianya terdiri atas kondisi yang mengancam nyawa, adanya gangguan pada jalan nafas (airway), pernafasan (breathing), sirkulasi (circulation) dan dehidrasi (dehydration). Selain itu, juga adanya penurunan kesadaran, adanya gangguan hemodinamik, dan memerlukan tindakan segera, yaitu suatu kondisi yang harus ditangani agar tidak melewati ‘golden period’, atau kurang dari 6 (enam) jam sejak awal penyakit dan apabila terlewati, akan menyebabkan kerusakan organ yang permanen atau kematian. Yang terakhir adalah adanya gejala psikotik akut (panic attack) yang membahayakan atau kegawatdaruratan lain di bidang psikiatri. Kriteria ini cukup longgar, multi tafsir dan bukan terdiri dari diagnosis penyakit pasien, sehingga mudah diperdebatkan.
Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 856/Menkes/SK/IX/2009 antara lain mengatur jenis pelayanan. Jenisnya dibagi menjadi Level I sebagai standar minimal untuk Rumah Sakit Kelas D, sampai Level IV sebagai standar minimal untuk Rumah Sakit Kelas A. Kriteria kegawatan pasien tidak dijelaskan di situ, tetapi level I pelayanan adalah memberikan pelayanan dan penanganan permasalahan pada jalan nafas (A = airway problem), ventilasi pernafasan (B = breathing problem) dan sirkulasi pembuluh darah (C = circulation problem). Selanjutnya adalah melakukan stabilisasi dan evakuasi. Sedangkan level IV memberikan pelayanan serupa, tetapi dengan alat yang lebih lengkap, termasuk melakukan operasi bedah darurat.
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor 416/Menkes/Per/II/2011 tentang tarif Pelayanan Kesehatan Bagi Peserta PT. Askes (PERSERO), memang cukup detail mengatur diagnosis, jenis tindakan dan tarif pelayanan untuk pasien gawat darurat. Namun demikian, peraturan tersebut saat ini tidak berlaku lagi, setelah era JKN. Dengan demikian Peraturan BPJS Kesehatan Nomor 1 Tahun 2018 Tentang Penilaian Kegawatdaruratan Dan Prosedur Penggantian Biaya Pelayanan Gawat Darurat, adalah landasan legal utama yang sebaiknya diikuti. Hal ini termasuk Pasal 8, yaitu bahwa semua RS yang memberikan pelayanan gawat darurat medis yang termasuk dalam pelayanan yang dijamin, dilarang meminta atau menarik biaya kepada pasein peserta JKN.
Selain itu, masih ada beberapa hal yang perlu dicermati lagi oleh RS. Pertama adalah terkait persepsi pasien dan keluarga, tentang kegawatan dalam aturan baru. Kedua adalah tugas dokter jaga UGD di semua RS, yang harus menilai dan memberikan pelayanan kesehatan sesuai dengan indikasi medis. Dengan demikian, sosialisasi dan edukasi kepada para pasien peserta JKN haruslah dilakukan lebih gencar lagi, baik oleh petugas BPJS Kesehatan Cabang terdekat, maupun melalui media massa, pada saat ini. Tanpa adanya sosialisasi tersebut dan edukasi hanya dilakukan oleh petugas IGD RS, tentu akan berpotensi menimbulkan kesalahpahaman, komplain dan ketidakpuasan pada pasien dan keluarganya. Hal ini lebih mungkin, terutama pada saat emosi, cemas dan tidak tenang, karena kondisi pasien yang sedang kesakitan, nyeri hebat, atau ‘false emergency’, ternyata sekarang tidak termasuk di dalam kriteria darurat medis.
Selain itu, kewajiban petugas RS untuk memastikan eligibilitas kepesertaan melalui aplikasi BPJS Kesehatan, juga harus dilakukan dalam 24 jam penuh. Pada kondisi darurat medis, proses memastikan eligibilitas pasien oleh petugas RS ini secara teoritis mudah, tetapi secara praktis tentu tidak sederhana. Terutama saat proses tersebut petugas RS ditunggui oleh keluarga pasien, yang pada umumnya juga dalam keadaan kalut, risau dan cemas.
Setelah mendapatkan pelayanan kesehatan di IGD RS, pasien peserta JKN dapat pulang, dirawat inap di RS, atau dirujuk ke RS lain. Untuk pasien yang diperbolehkan pulang, pengajuan klaim layanan kegawatan di IGD disatukan secara kolektif, dengan klaim semua pasien di RS tersebut pada bulan selanjutnya. Dengan demikian, klaim layanan pasien gawat yang dilakukan di UGD akan lebih sesuai dengan sumber daya yang digunakan. Namun demikian, untuk pasien yang dilanjutkan dengan rawat inap di RS, pengajuan klaim layanan di UGD belum diatur detail, apakah digabungkan dengan klaim layanan pasien saat dirawat inap, ataukah dapat diklaim secara terpisah antara kedua layanan tersebut. Penggabungan klaim layanan pasien tersebut, akan berdampak buruk apabila layanan di IGD tidak atau lupa dimasukkan dalam resume akhir pasien dirawat. Hal ini tentu berisiko menurunnya besaran tarif INA-CBGs, dibandingkan dengan sumberdaya yang dikeluarkan RS, sehingga akan menyebabkan selisih bayar negatif untuk RS.
Aturan baru dari BPJS Kesehatan, tentang penjaminan biaya pasien gawat darurat, harus dicermati. Potensi gagal klaim atau selisih bayar negatif harus diperkecil, oleh segenap dokter dan petugas di RS. Sudahkah kita bertindak bijak?
FX. Wikan Indrarto: Dokter Spesialis Anak, Ketua IDI Cabang Kota Yogyakarta, Alumnus S3 UGM, Lektor di FK UKDW