MaxFM, Waingapu – Pada Rabu, 17 Januari 2018 jumlah korban meninggal akibat campak di Kabupaten Asmat, Papua, tercatat 61 anak balita. Mengapa masih ada kematian balita karena campak?
Menurut Profil Kesehatan Indonesia yang terbit Juli 2017, Indonesia sudah memiliki cakupan imunisasi campak 93,0% dan provinsi dengan cakupan terendah yaitu Kalimantan Utara 57,8%, Papua 63,5% dan Aceh 73,5%. Incidence Rate (IR) campak pada tahun 2016 sebesar 5,0 per 100.000 penduduk, dengan Jambi, Kepulauan Riau dan Aceh merupakan provinsi dengan IR campak tertinggi. Pada tahun 2016, jumlah KLB campak sebanyak 129 KLB dengan jumlah kasus sebanyak 1.511 kasus. Frekuensi KLB campak tertinggi terjadi di Sumatera Barat sebanyak 33 kejadian KLB, dengan 495 kasus dan 1 orang meninggal.
Campak disebabkan oleh virus paramyxovirus dan biasanya ditularkan secara kontak langsung melalui udara. Virus menginfeksi selaput lendir jalan napas atas, kemudian menyebar ke seluruh tubuh. Virus menyebar melalui batuk dan bersin, kontak pribadi atau kontak langsung dengan orang yang terinfeksi. Virus tetap aktif dan menular di udara atau pada permukaan yang terinfeksi hingga 2 jam. Gejala klinis lainnya adalah pilek, batuk, mata merah dan berair, dan bintik-bintik putih kecil di dalam mulut sisi pipi. Setelah beberapa hari, ruam kemerahan pada kulit muncul, biasanya pada wajah dan leher bagian atas. Selama sekitar 3 hari, ruam akan menyebar, akhirnya mencapai tangan dan kaki. Ruam berlangsung selama 5 sampai 6 hari, dan kemudian memudar. Rata-rata, ruam terjadi 14 hari setelah terpapar virus.
Campak dapat menyebabkan kematian karena terjadi komplikasi, yang lebih sering terjadi pada anak balita. Komplikasi serius adalah kebutaan, radang otak (ensefalitis), telinga (otitis), dan paru (pneumonia). Campak berat lebih mungkin terjadi pada anak kurang gizi, terutama mereka yang kekurangan vitamin A, atau yang sistem kekebalan tubuh telah dilemahkan oleh HIV / AIDS atau penyakit lain. Dalam populasi dengan tingkat kekurangan gizi dan kurangnya layanan kesehatan yang memadai, 10% kasus campak mengakibatkan kematian. Wanita yang terinfeksi saat hamil juga berisiko mengalami komplikasi parah, keguguran atau melahirkan bayi prematur.
Sampai sekarang, tidak ada pengobatan antivirus untuk mengobati virus campak. Komplikasi campak yang berat dapat dihindari melalui perawatan suportif yang menjamin gizi tetap baik, asupan cairan cukup dan pengatasan dehidrasi dengan cairan rehidrasi oral. Solusi ini menggantikan cairan dan elemen penting lainnya yang hilang melalui diare atau muntah. Antibiotik harus diberikan, untuk mengobati bukan mencegah komplikasi infeksi telinga, mata, dan pneumonia. Semua anak di negara berkembang yang didiagnosis campak, harus menerima dua dosis tinggi suplemen vitamin A, yang diberikan terpisah 24 jam. Dosis tinggi ini akan mengembalikan kadar vitamin A yang rendah, yang sering kali terjadi, bahkan pada anak bergizi baik sekalipun, sehingga dapat membantu mencegah kerusakan mata dan kebutaan. Suplemen vitamin A juga telah terbukti mengurangi jumlah kematian akibat campak sebesar 50%.
Sepanjang tahun 2016 lalu terjadi 89.780 kematian campak secara global, yang menandai tahun pertama adanya penurunan kematian karena campak, yaitu di bawah 100.000 per tahun. Vaksinasi campak menurunkan kematian akibat campak sebesar 84% antara tahun 2000 dan 2016 di seluruh dunia, sehingga menguatkan bukti bahwa vaksin campak merupakan salah satu intervensi medis terbaik untuk kesehatan masyarakat. Pada tahun 2016, dukungan ‘the Global Vaccine Action Plan’, ‘the Measles & Rubella Initiative’ (Inisiatif MR) dan ‘the Gavi Vaccine Alliance’, berhasil meningkatkan cakupan vaksin campak, untuk mencegah sekitar 20,4 juta kematian. Selama tahun 2016, sekitar 119 juta anak divaksinasi campak selama kampanye vaksinasi massal di 31 negara.
Semua negara sekarang telah menetapkan tujuan untuk menghilangkan (goals to eliminate) campak, penyakit yang dapat dicegah ini pada atau sebelum tahun 2020. The Measles & Rubella Initiative yang diluncurkan pada tahun 2001 adalah sebuah kemitraan global oleh American Red Cross, United Nations Foundation, Centers for Disease Control and Prevention (CDC), UNICEF dan WHO. Inisiatif M & R berkomitmen untuk mengurangi kematian campak hingga 95% pada tahun 2015. Selanjutnya pada akhir 2020 memiliki target untuk mencapai tujuan eliminasi campak dan congenital rubella syndrome (CRS).
Berdasarkan laporan terkini, termasuk kematian balita di Asmat, Papua awal tahun 2018, maka ‘Strategic Advisory Group of Experts on Immunization’ (SAGE) menyimpulkan bahwa tujuan penghapusan atau eliminasi campak tahun 2015 tidak tercapai. Penyebab utamanya adalah masih adanya kesenjangan cakupan imunisasi campak. Untuk itu, SAGE merekomendasikan fokus pada perbaikan cakupan imunisasi, sistem pelaporan, dan surveilans secara rutin, untuk melacak penyebaran virus campak secara internasional. Selain itu, juga terus memperkuat jaringan laboratorium global, untuk memastikan diagnosis campak tepat waktu, sehingga dapat berkontribusi untuk mengurangi kematian anak akibat campak di manapun.
Kerjasama semua pihak diperlukan, untuk menurunkan angka kematian anak Indonesia karena campak. Sudahkah kita berperan aktif dalam vaksinasi campak untuk balita di sekitar kita?
Penulis : FX. Wikan Indrarto Ketua IDI Cabang Kota Yogyakarta, dokter spesialis anak, Lektor di FK UKDW Yogyakarta, Alumnus S3 UGM