MaxFM, Waingapu – Film “Marlina si Pembunuh dalam empat Babak” menarik perhatian masyarakat Indonesia karena meraih predikat juara di tingkat internasional dalam ajang festival film di Australia, Maroko, New Zeland dan beberapa negara lainnya. Buah tangan sutradara Mouly Surya. Penghargaan-penghargaan itu layak diterima oleh film ini.
Saya menonton film “Marlina” bersama dua perempuan hebat Anggraini Nana Anggie dan Yanti Buky. Sebelum saya tiba di Kupang untuk kegiatan Peruati (TOT Keadilan Gender), tiket sudah dibeli oleh Anggie. Bukan karena dia membeli tiketnya jadi saya mengatakan dia hebat. Tapi pengalaman hidup mereka yg membuat saya mengatakan mereka adalah “Marlina” yang menempuh cara yang berbeda dari Marlina dalam film ini, demi membela hak-hak mereka. Bagaimana kisahnya?
Saya mulai dengan kisah Marlina si pembunuh dalam kisah 4 babak karya Mouly Surya. Kisah ini mengambil lokasi syuting di Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur, NTT. Marlina adalah sosok perempuan yang melawan kekuasaan patriarkhi (nilai yang mengutamakan kekuasaan laki-laki sebagai aturan kehidupan). Seorang perempuan yang menjanda, punya anak laki-laki namanya Topan tetapi meninggal (tidak diketahui penyebabnya). Untuk biaya pemakamannya Marlina berhutang, sedangkan suaminya belum dimakamkan kemungkinan belum punya biaya. Dalam budaya Sumba, biaya pemakaman sangat mahal. Karena belum sanggup memakamkan suaminya, maka jenazah sang suami diletakan dalam keadaan duduk di pojok ruang tamu ditutupi kain.
Karena terlilit hutang, segerombolan laki-laki yakni Markus dkk. (pihak yang mengutangi Marlina) datang ke rumah Marlina dan meminta ‘imbalan’ selain berupa pengambilan secara paksa ternak milik Marlina, mereka juga minta ‘dilayani’ oleh Marlina. Marlina diperkosa. Bayangkan 7 orang yang memperkosa Marlina, dan untuk membela hak serta martabatnya, Marlina menghabisi 4 lelaki pertama (anak buah Markus) dengan racun dalam sup ayam yg dimasaknya. Sedangkan dua lainnya lolos karena diperintahkan untuk membawa terlebih dahulu ternak-ternak Marlina. Markus yang sedang menunggu Marlina dalam kamar akhirnya memperkosa Marlina dan dalam keadaan yang begitu, Marlina menghabisinya dengan sebilah parang. Tidak tanggung-tanggung, kepala Markus terpisah dari tubuhnya. Terkesan sadis namun lebih sadis dan tidak manusiawi perempuan diperkosa. Marlina tidak menerima keadaan itu, dia harus melawan dan satu-satunya cara adalah menghabisi mereka.
Marlina tahu bahwa itu melanggar hukum dan karena itu ia membawa kepala Markus ke kantor polisi. Dalam perjalanan itu, ia bertemu dengan perempuan yang sedang hamil tua, tetapi selama itu tidak pernah bertemua suaminya. Perempuan itu bernama Novi. Dua teman Markus yang kemudian kembali ke rumah Marlina mendapati teman-temannya telah menjadi mayat busuk, mengejar Marlina. Sesuai perkiraan, Marlina belum jauh tetapi beruntung Novi mengarang cerita bahwa Marlina telah pergi. Walau pun ia melindungi Marlina, Novi mesti menjadi sandera oleh teman-teman Markus.
Marlina melaporkan kasus itu kepada Polisi tapi kasusnya justeru menjadi bahan olok-olokan di sana. Si Polisi menyuruh Marlina sabar 1 (satu) bulan untuk diperiksa lagi dalam rangka mencari bukti apakah benar telah diperkosa atau tidak. Padahal dalam waktu yang demikian lama bukti-bukti itu malah sudah tidak terlihat lagi.
Marlina menanggung beban yang luar biasa, penghakiman sosial dan ketidakberpihakan hukum terhadap masalahnya. Ketika semua ‘diam’ Marlina mengambilalih dengan perlawanan menurut caranya sendiri.
Perempuan yang memberi bahunya untuk menolong Marlina (Novi) mesti menanggung akibatnya pula. Teman Markus mengatakan kepada Umbu (suami Novi, yang dicari Novi – saat Umbu menelpon Novi) bahwa dia telah meniduri Novi dan itu membuat Umbu memukuli Novi dan meninggalkannya dalam keadaan menunggu waktu melahirkan. Novi kemudian dijadikan sandera untuk membawa Marlina kembali ke rumahnya.
Frans (perampok – teman Markus) itu berhasil membuat Marlina kembali ke rumahnya dan saat Marlina tiba di sana, Novi sedang duduk di ruang tamu memakai baju Marlina. Sebelumnya air ketubannya telah pecah dan itu berarti waktu melahirkan sudah tiba. Novi masih dipaksa oleh Frans untuk memasak untuknya. Sementara itu Frans mengurus jenazah Markus tanpa kepala, menyelubunginya dengan kain yang diambil dari jenazah suami Marlina.
Saat Marlina masuk, dia melihat Novi dan Marlina memeluknya sambil bertanya kamu baik-baik saja? Dua perempuan saling memberi semangat di tengah situasi yg sulit.
Sementara Novi kembali menyiapkan makanan, Frans memperkosa Marlina, dari dapur Novi mendengar teriakan minta tolong. Di tengah kesakitannya utk melahirkan, Novi menghunus parang, mendobrak pintu dan membela Marlina yg tengah di perkosa. Frans mengalami nasib yang sama dengan Markus tapi di tangan perempuan yang berbeda yaitu Novi.
Marlina dan Novi adalah dua perempuan yang membela haknya, saling membahu utk tidak diam saat mengalami ketidakadilan. Setelah itu Marlina membantu Novi utk melahirkan dan mereka sama-sama menangis, tertawa dan bergembira menyambut kehidupan baru.
Mungkin tidak detail kisah Marlina yang coba saya tuliskan karena itu supaya lebih jelas, silahkan nonton sendiri.
Kisah berikutnya adalah kisah dua “Marlina-Novi” yang ada dalam kisah nyata Anggrini Nana Anggie dan Yanti Buki. Pengalaman mereka tidak kalah seru, deg2an, sakit, bangkit seperti kisah Marlina. Mereka mengalami ketidakadilan, masa depan mereka terenggut begitu saja. Mereka tau apa artinya sakit seperti Marlina, mereka memilih jalan lain tapi juga bernilai sama dengan Marlina. Mereka dengan tegas mengatakan tidak mau disakiti, kami ingin hidup bahagia dan punya martabat seperti manusia lain, mereka dengan berani mengatakan stop kekerasan, pengkhianatan, penghakiman sosial, arahan utk kembali mencintai dan semua alasan lainnya yg hanya membuat mereka terus berputar-putar dalam lingkaran kejahatan. Mereka mengambil langkah ‘pergi’ meninggalkan orang-orang yang mengaku mencintai tapi bertindak jahat dan merendahkan kemanusiaan mereka sebagai perempuan.
Karena keputusan itu, mereka dicibir oleh masyarakat dan mungkin juga keluarga dan sahabat tapi bagi mereka itu adalah pilihan yg akan mereka hadapi dengan berani.
Kini, mereka bekerja dengan baik, menikmati kebebasan mereka, dan mereka bahagia. Terima kasih Anggi dan Yanti. Kalian adalah Marlina-Marlina yang dalam kisah nyata benar-bnar ada, kisah anda disuarakan oleh Muoly Surya dengan baik dan semoga masyarakat kita tercerahkan dan bergerak bersama utk mengehentikan kekerasan terhadap perempuan atas nama apa pun.
Trima kasih untuk kisah yang membuatku belajar banyak hal tentang arti “bangkit dan tidak boleh diam” berhadapan dengan ketidakadilan dan juga resiko di balik keberanian itu. Tuhan berkati! [Pdt. Herlina Ratukenya, Pendeta Jemaat GKS Waingapu, Pemerhati Sosial dan Pendidikan Interreligius]