Scroll to Top
Pompa Barsha Bantu Petani di Musim Kemarau
Posted by maxfm on 9th Agustus 2017
| 4599 views
Pompa Barsha di Sungai Waikudu, Sumba Timur [Foto: Ignas Kunda]

MaxFM, Waingapu – Sudah puluhan tahun lebih warga sekitar bantaran sungai Waikudu dan Mbatakapidhu, Kabupaten Sumba Timur ini harus merana ketika memasuki musim kemarau. Walaupun mempunyai lahan bertanam sepanjang bantaran sungai yang otomatis sangat dekat dengan sumber air namun mereka tak bisa menanam karena tinggi bantaran sungai dengan permukan air paling rendah mencapai 2 meter. Kondisi ini tentu membuat mereka kesulitan untuk menyiram apabila berusaha menanam sayuran di sepanjang bantaran sungai.

Kondisi ini membuat Adi Lagur dan Heinrich Dengi dua orang penggagas Yayasan Komunitas Radio Max Waingapu, NTT, (4/8), memberikan solusi dengan membagi 5 buah pompa bertenga air pada beberapa komuntas petani di sepanjang bantaran sungai.

Pompa Barsha

Beberapa petani sekitar kampung sering membawa mesin pengisap air yang menggunakan bahan bakar bensin, untuk mengalirkan air ke lahan mereka. Bahan bakar pun harus dibeli dari Kota Waingapu yang jaraknya sekitar 30-an kilo meter dan harus menggunakan ojek bila tak punya sepeda motor sendiri.




Menurut Adi Lagur penggunakan pompa barsha generasi kedua merupakan pertama di Indonesia dan tak membutuhkan bahan bakar dari fosil untuk dapat beroperasi. Hanya dengan memanfatkan aliran air sungai untuk memutar sayap-sayap turbin hingga air dari sungai dapat terangkat ke atas lahan petani. “

“Data di dua tempat yang telah dipasang pompa ini dalam sehari bisa memompa air 14 ribu hingga 19 ribu liter dengan elevasi mencapai 20 meter ,” kata Adi Lagur.

Rata-rata lahan di sekitar sungai dinamakan mondu, ini merupakan lahan potensial karena dekat air, namun hanya digunakan pada musim hujan, disaat musim kering sedikit sekali digunakan. Untuk bisa digunakan masyrakat harus mengeluarkan biaya lebih dengan menggunakan mesin pompa yang menggunakan bakan bahan bakar solar atau bensin. Walaupun demikian sedikit sekali lahan yang digarap.

“ Dengan pompa barsha ini, petani tak perlu memikirkan lagi bahan bakarmya dan dapat mengerjakan lahan dengan lebih luas untuk menanam tanaman jenis holtikultur bernilai ekonomis dan bisa dijual.
“ Ketika menanam di musim hujan itu biasa namun bila bisa tanam dan panen di musim kemarau di lahan yang kering seperti ini adalah hal lain dan berbeda,” jelas Heinrich Dengi.

Sistem Sewa Pakai

Dalam aplikasinya Radio Max Foundation menggunakan sistem sewa, inilah adalah skema yang dibangun agar petani yang menggunakan pompa ini bisa terus menanam. Kepemilikan sistem atau pompa ini adalah milik yayasan dan ditawarkan ke komunitas petani. Pihak yayasan bertanggung jawab secara teknis, memasang dan merawat serta memastikan air dari sungai dapat mengalir sampai ke lahan petani. Petani dapat menanam sebanyak mungkin, dan sebagian dari hasil panennya digunakan untuk membayar sistem ini.

“Maka dengan skema yang kami tawarkan ini sebenarnya juga membantu petani bukan hanya menanam tapi juga berjiwa bisnis. Petani tidak tergantung dengan bantuan namun kreatif dan memikirkan cara agar tanaman yang ia tanam dapat terus tumbuh dan mencapai masa panen. Karea bila tak sampai panen maka ia tak akan bisa membayar pompa ini, ” jelas Adi Lagur.




“Acap kali di sumba banyak bantuan dan program diberikan gratis, dan sebagian juga membutuhkan biaya sebagai ongkos produksi, seperti uang untuk beli bensin, namun itu tidak berjalan mulus dan sebagian besar berhenti di tengah jalan,” ungkapnya.

Lahan Warga Waikudu di sekitar mondu yang biasanya tidak ditanami karena kesulitan air sekarang dengan adanya air dari pompa Barsa lahan diolah dan ditanami berbagai sayur [Foto: Ignas Kunda]

Sebenarnya ketika musim kemarau warga sekitar bantaran sungai lebih sejahtera di bandingkan musim penghujan tiba, karena tanaman mereka tak tergangu akibat banjir bandang, dan hasil panen musim kemarau bisa disimpan disaat musim hujan tiba. Musim kering di Sumba cukup panjang dari april sampai desember, bila ada air mencukupi petani bisa panen berulang kali.

Dorkas warga kampung Waikudu, desa Mbatakapidu sudah bisa menam sayuran dimusim kemarau. Sebelumnya lahan yang sepanjang bantaran sungai hanya digunakan untuk tanam jagung ketika musim hujan, dan bila tidak memperoleh hasil maka mereka harus mencari ubi gadung atau iwi yang beracun.

“Untuk menghilangkan racun kami harus rendam di air baru bisa makan selam dua hari-dua malam lalu dijemur untuk bisa makan. Jadi membutuhkan waktu hingga seminggu untuk bisa dimakan,” jelasnya.
Ia mengeluhkan panen jagung tahun ini sangat minim. Biasanya dalam sekali panen tiap tahun kami bisa panen hingga lebih dari 30 ikat jagung namun tahun ini kurang dari 20 ikat. Untuk bisa beli beras kami jual buah pepaya, bunga papaya, dan bisa beli 5 sampai 10 kilogram. [Ditulis oleh : Ignas Kunda]

Show Buttons
Hide Buttons