MaxFM, Waingapu – Paket Viktori menolak untuk mengikuti proses verifikasi ulang yang seharusnya berlangsung hari ini hingga tanggal 18 September 2016 karena KPU Kota Kupang tidak paham model sensus dan dilakukan tanpa persiapan. Akibat dari minimnya persiapan ini telah terjadi pelanggaran di 37 kelurahan dari total 51 kelurahan di Kota Kupang. Ketidakmampuan komisioner KPU Kota Kupang maupun lembaga di atasnya untuk menerjemahkan model sensus telah menyebabkan hilangnya 11.000 suara Paket Viktori karena kekurangan personel PPS (Petugas Pemungutan Suara). Kesengajaan yang dilakukan oleh para komisioner KPU Kota Kupang telah membuat Paket Viktori kehilangan lebih dari 50% dukungannya.
Detil persiapan yang tidak memadai yang dilakukan oleh KPU Kota Kupang tercermin dari:
Pertama, hingga hari H-1 pelaksanaan proses verifikasi faktual, KPU Kota Kupang tidak berinsiatif untuk melakukan pelatihan terhadap proses verifikasi faktual tahap I (Bahasa Hukum = Penelitian Faktual). Paket Viktori sendiri yang berisiatif meminta KPU untuk datang memberikan materi. Bahkan secara lisan Paket Viktori telah meminta kepada komisioner KPU agar diadakan simulasi sebelum dilaksanakannya verifikasi tahap II. Namun, permintaan ini tidak dihiraukan.
Kedua, selama pelaksanaan verifikasi faktual tahap 1, obyek verifikasi faktual yakni formulir dukungan B1-KWK jumlahnya hanya 1, sedangkan jumlah petugas PPS ada 3 orang untuk setiap kelurahan. Akibatnya dalam proses verifikasi faktual petugas PPS cenderung hanya membawa format ringkas hasil print file excel. Kondisi ini pun tidak mendapatkan pengawasan karena di setiap kelurahan hanya ada 1 orang PPL (Petugas Pengawas Lapangan perwakilan Panwaslu).
Ketiga, jika berkaca pada model sensus maka sejak awal KPU Kota Kupang seharusnya memiliki blok sensus. Blok sensus adalah peta wilayah pencacahan yang akan memudahkan PPS dalam melakukan proses verifikasi dukungan. Hal ini sangat aneh karena sering alibi yang dipakai oleh para petugas PPS di lapangan bahwa penghubung dari paket perorangan lah yang harus menunjukkan rumah para pendukung. Untuk Paket Viktori kami hanya mampu mempersiapkan sepertiga (50 orang) dari jumlah penghubung. Akibatnya di kelurahan-kelurahan yang tidak memiliki penghubung maka angka manipulasi TMS (Tidak Memenuhi Syarat) menjadi amat tinggi. Angka terbesar TMS datang dari warga pendukung Paket Viktori yang tidak pernah didatangi sama sekali.
Keempat, tanpa adanya blok sensus, atau peta sensus telah membuat banyak pendukung dari Paket Viktori tidak disensus. Dengan model sensus yang hanya mengikuti data administrasi (RT/RW, Kelurahan) banyak pendukung Viktori yang tidak ditemukan. Hal ini disebabkan karena adanya pemekaran kelurahan, maupun perubahan RT/RW.
Kelima, sejak awal pihak KPU Kota Kupang yang sedang melakukan sensus tidak membedakan antara ‘wilayah konsentrasi penduduk’ dan ‘wilayah non konsentrasi penduduk’. Wilayah konsentrasi penduduk adalah wilayah dengan jumlah penduduk yang padat, dan wilayah non konsentrasi penduduk kurang padat. Dalam praktek sensus yang dilakukan KPU Kota Kupang, seluruh kelurahan mendapatkan 3 orang petugas PPS, padahal wilayah konsentrasi penduduk rendah seperti wilayah Kelurahan Oesapa Selatan tidak bisa dibandingkan wilayah dengan konsentrasi penduduk tinggi seperti Kelurahan Tuak Daun Merah (TDM), Oepura, dan Sikumana. Terbukti di seluruh wilayah dengan angka TMS tertinggi berada di wilayah konsentrasi penduduk tinggi.
Keenam, KPU Kota Kupang tidak bertanggungjawab atas kualitas sensus karena KPU tidak melakukan simulasi untuk memperkirakan waktu minimum yang dibutuhkan untuk memverifikasi satu dukungan setiap pendukung. Total dukungan dari dua (2) paket indipenden Kota yang harus diverifikasi oleh KPU Kota Kupang adalah sebanyak 57.000 dukungan. Jumlah ini amat tidak memadai dengan jumlah personil PPS yang hanya sebanyak 153 orang (3 orang tiap kelurahan).
Idealnya dalam tahapan sensus 1 orang PPS bertanggungjawab atas dua blok sensus wilayah konsentrasi penduduk tinggi, atau tiga blok sensus untuk wilayah konsentrasi penduduk rendah. Satu blok sensus terdiri dari 80-120 rumah tangga. Masa kerja petugas sensus pun diberi waktu satu bulan (30 hari), atau setiap subyek sensus membutuhkan waktu minimal 30 menit. Dengan kalkulasi model sensus resmi yang biasa dipakai di Indonesia KPU seharusnya membutuhkan tenaga PPS sebanyak 475 orang, atau saat ini KPU Kota Kupang defisit tenaga sebesar 322 orang. Untuk sensus biasa waktu yang dibutuhkan selama satu bulan sedangkan waktu yang disediakan oleh KPU dalam proses verifikasi hanya selama 10 hari. Matematika sederhana ini seharusnya dikuasai oleh KPU, terlebih oleh para komisioner KPU.
Ketujuh, seharusnya komisioner KPU yang membawahi masing-masing kecamatan melakukan kontrol kualitas sensus yang dilakukan dengan cara mengambil dua blok sensus sebagai sampling di seluruh kecamatan. Sebaliknya yang dilakukan oleh Komisioner KPU adalah melakukan intrik terhadap Paket Viktori seperti yang terjadi di Kelurahan Oepura. Tanpa adanya kontrol dari komisioner KPU maupun Panwascam secara sistematis telah membuat tidak ada mekanisme cek kualitas sensus yang dilakukan PPS.
Kedelapan, Paket Viktori menemukan bahwa baik KPU maupun Panwaslu Kota Kupang tidak memahami apa artinya sensus, dan tidak mampu membedakan dengan sistem sampling. Praktek verifikasi faktual yang telah dijalankan di tahap pertama masih menggunakan sistem sampling dan mengabaikan 50 % dukungan Viktori. Buktinya KPU Kota Kupang tidak memiliki perhitungan dasar tentang bagaimana melaksanakan sensus, dan KPU Kota Kupang hingga hari ini tidak membuka data berapa jumlah warga yang tidak dapat ditemui sama sekali karena terbatasnya waktu.
Kesembilan, proses pengabaian yang dilakukan oleh KPU Kota Kupang juga tercermin dari belum diserahkannya berita acara dari 12 kelurahan (Kelurahan NBD, Naioni, Airnona, Naikoten 1, Fontein, Fatukoa, Belo, Penfui, Kolhua, Oepura, Naimata, dan Sikumana) hingga pengumuman pelaksanaan verifikasi tahap II dilakukan.
Kesepuluh, kami menemukan bahwa proses penyeleksian PPS dan PPK tidak dilakukan secara obyektif. Contohnya kami menemukan pegawai honorer di pemerintahan Kota Kupang sebagai petugas PPS. Untuk itu kami memberikan rekomendasi agar tim seleksi untuk bekerja lebih obyektif, dan KPU sendiri tidak menjadi organ partisan dengan melakukan pembiaran agar indipendensi KPU sebagai penyelenggara Pemilu tetap terjaga.
Kami meyakini bahwa suara rakyat adalah suara Tuhan. Vox Populi, Vox Dei! Sehingga kami pantang menerima hilangnya satu suara, apalagi hingga 11 ribu suara dukungan. Atas amburadulnya kerja KPU Kota Kupang dalam melakukan proses verifikasi faktual tahap satu maka kami Paket Viktori menuntut:
1. KPU Pusat segera mengirimkan tim investigasi untuk meneliti ulang tahapan dan detil sensus yang dilakukan terhadap dukungan dua pasangan calon di Kota Kupang.
2. KPU Provinsi NTT sebagai pihak yang bertanggungjawab dan memberikan pelatihan kepada para Komisioner KPU Kota Kupang untuk ikut bertanggungjawab terhadap proses yang ada.
3. KPU Pusat segera mengevaluasi seluruh mekanisme sensus terhadap calon dukungan perseorangan
4. Sosialisasi mekanisme sensus perlu dilakukan secara mendetil dan diberitahukan secara terbuka kepada publik agar KPU tidak menjadi ‘tukang kebiri’ suara rakyat.
Kami juga menghimbau kepada insan media, para tokoh agama, maupun elemen kritis masyarakat sipil untuk bersama-sama mengawal detil proses sensus, agar pasangan calon perseorangan tidak dibunuh oleh KPU karena ketidaktahuan tentang apa artinya sensus. Kami berharap agar persoalan ini tidak hanya menjadi persoalan Kota Kupang tetapi menjadi persoalan nasional, sebab masa depan demokrasi Indonesia yang tengah didominasi oleh politik aliran dan oligarki politik. Paket jalur perorangan bukan lah musuh dari partai politik, tetapi merupakan pemecah kebuntuan dan menjadi alternatif sehingga tidak selayaknya dibunuh oleh DPR dengan menggunakan tangan KPU.
Tanpa adanya pemahaman tentang sensus secara mendasar oleh KPU Kota Kupang kami menolak untuk melanjutkan pembodohan massal yang sedang dilakukan. Kami menganggap ini merupakan penghianatan terhadap demokrasi.