
Ada juga orang yang merasa rendah diri dari dirinya sendiri. Padahal punya profil bagus (tidak ada yang kurang), pintar, kehidupan ekonomi medudukung. Tidak berani mengutarakan pendapat, tidak berani melakukan inisiatif, tidak berani tampil, tidak berani bertanggung jawab terhadap tugas yang dipercayakan kepadanya. Takut jangan sampai salah, takut resiko, takut rugi. Padahal kemampuan ada. Belum mencoba sudah takut bayangan.
Orang-orang seperti ini menurut filsafat Arab tergolong, “Dia tahu, tapi dia tidak tahu bahwa dia tahu”. Dia sesungguhnya punya potensi, bakat, tapi tidak menyadarinya yang oleh filsuf Arab dianggap orang mengantuk yang perlu dibangungkan.
Bagaimana cara membangunkan? Orang tua, pendidik/guru atau siapapun bisa menolong dia. Caranya, ,mengembalikan kepercayaan dirinya. Memberi dia kesempatan tampil berbicara, memimpin teman dalam diskusi. Memberi sugesti bahwa hasil kerjanya baik walaupun tidak maksimal.
Sebagai guru dari tahun 1968-2011 saya punya pengalaman dengan tiga siswa yang merasa rendah diri. Mereka punya cacat ketika berbicara atau disuruh membaca. Mungkin ini yang disebut kakafoni. Disuruh membaca mereka gagap, gugup, canggung. Kalau dipaksa mereka membaca dengan mendahulukan bunyi, sssssssss……, berhenti. Ssssssss, berhenti baru baca satu kata, dan seterusnya. Teman-teman tertawa. Saya memarahi mereka karena ini menambah dia gagap. Saya tempu cara dengan membaca terdahulu kata demi kata, kalimat demi kalimat perlahan-lahan lalu menyuruhnya mengeja dari belakang. Begitu saya lakukan hampir setiap pelajaran Bahasa Indonesia. Dan setiap ada kemajuan membaca sendiri tanpa mengeluarkan bunyi sssssss, saya memberi pujian. Hingga bisa membaca kalimat-kalimat tanpa hambatan. “Lihat teman yang selalu kamu tertawakan, sudah bisa membaca sendiri bahkan lebih lancer dari kamu”, kata saya.
Kemudian hari saya dapat tahu kalau dari salah seorang menjadi kepala sekolah dan sering berpidato di muka umum. Pidato yang berbobot dan menarik. Yang seorang jadi guru agama. Pandai berkhotbah, mebawakan renungan sehingga umat mempertahankan dia. Dan yang seorang lagi pagawai Dinas Kehutanan. Juga pandai berbicara, sudah tidak gagap lagi. Menurut pengakuannya pada saya, hasil laporannya yang lengkap dan akurat selalu mendapat pujian dari Kepala Dinas. Mereka ini sudah PD, percaya diri, sudah bangun dari kantuk.
Sebagian orang merasa rendah diri karena cacat fisik seperti tunanetra, tunarungu, tunawicara, tunadaksa (buta, tuli, bisu, cacat anggota tubuh). Bisa juga dari sosok tubuh. Gembrot, kurus, kerempeng, tidak cantik, tidak ganteng. Atau profesinya dianggap rendah misalnya tukang sapu, tukang antar surat, pembantu rumah tangga dan lain-lain.
Cacat fisik bukanlah alasan untuk merasa rendah diri. Tidak pernah ada orang yang menghendakinya karena semuanya ini berasal dari sang pemberi hidup. Kita tidak bisa protes. Makanya kita harus menerima diri kita apa adanya. Jangan menyesali diri. Mungkin suatu saat akan datang nikmat illahi yang lebih baik. Salah satu hal yang menentukan harkat manusia adalah selalu menyematkan harapan didada.
Kalau kita tidak menerima diri kita sendiri seperti apa adanya, kita akan konflik dan berperang melawan diri sendiri di dalam batin. Bertrand Russeli pemenang pemenang hadiah nobel sastra tahun 1950 mengatakan, “Seorang tidak mungkin bisa berdamai dengan orang lain sebelum dia belajar berdamai dengan dirinya sendiri”.
Jadi penerimaan diri sendiri penting sebagai batu loncatan ke jenjang peningkatan taraf hidup. Kita perlu mensyukuri keberadaan kita di bumi tanpa di minta. Walau dalam keadaan apapun diri kita pastilah kehadiran kita punya makna bagi orang lain.
Berapa banyak penyandang cacat namun bahagia. Mereka meraih prestasi dalam bidang-bidang tertentu kerena memiliki keunikan. Patricia Saerang, seorang penyandang cacat wanita. Dia diakui hebat karna lukisan-lukisannya yang menakjubkan. Dia melukis hanya dengan kaki dan mulut karena kedua tangannya puntung. Beberapa lukisannya diproduksi dan dijual sebagai kartu natal dan beredar diseluruh dunia.
Demikian juga Braga Stone penyanyi tunanetra dari Bandung, punya prestasi yang mengagumkan. Dalam pesta olah raga penca (Penyandang Cacat) Timur jauh dari Pasifik Selatan yang diselenggarakan di Solo tahun 1986 banyak penca baik dari Indonesia maupun dari luar negeri memperoleh prestasi dalam bidang olah raga. Itu semua terjadi karena mereka menerima diri mereka apa adanya serta membuat konpensasi sebagai batu loncatan untuk meraih prestasi.
Orang-orang yang tidak dikurniai postur tubuh yang molek seperti artis, bintang film tidak perlu merasa rendah diri. Kecantikan, kemolekan tidak hanya diperoleh dari bentuk tubuh. Ada yang namanya kecantikan/keindahan rohani/spiritual. Ini jauh lebih berharga ketimbang kemolekan jasmani yang kadang membuat orang sombong, lupa diri. Kecantikan spiritual dapat diperoleh dari kebajikan, keramahtamahan, suka menolong, jujur, rendah hati, punya rasa empati. Ini akan menutup kekurangan yang ada dalam diri kita. Orang hanya mengatakan, “Dia itu baik sekali”, titik.
Jadi rendah diri bisa berdampak konflik dengan diri sendiri, menyalahkan diri sendiri, akhirnya menyalahkan takdir, Sang Pemberi hidup. Kita akan mengatakan, mengapa saya tidak seperti mereka, kaya, ganteng/cantik, pandai, punya kedudukan, punya suara emas. Jadi kita harus berdamai dengan diri kita sendiri lalu mensykuri hidup hidup ini yang tidak pernah kita minta dari sang pemberi hidup.
[Frans Wora Hebi, Pengasuh tetap acara Bengkel Bahasa Max FM, mengudara tiap Rabu mulai pk.20.00 wita.]