MaxFM, Waingapu – Pada suatu hari seorang camat bergurau dengan saya. “Frans kuat makan sirih, ya?”
“Ini kan budaya kita, Pak”, jawab saya. “Ya, tapi sudah kuno, carilah yang modern atau yang agak modern. Sirih pinang tidak cocok buat Frans” “Kalau merokok, bagaimana, Pak?” “Itu yang benar, saya setuju” “Kalau begitu numpang pesan, Pak. Kalau mencari jodoh buat putera Pak jangan bilang meminang anak orang, itu sudah kuno, tapi merokok anak orang saja” “Ah, Frans ini ada-ada saja”, katanya mengakhiri gurauan kami.
Belasan tahun kemudian putera Pak Camat menemukan jodohnya. Sebagai orang Sumba tentu saja harus membayar belis, tapi sebelum itu harus melalui tahap-tahap. Mengetuk pintu, meminang, dan membayar belis. Saat bersamaan saya menulis anekdote tadi di majalah yang ada di kabupaten. Pimpinan Redaksi yang paham siapa Pak Camat yang dimaksud dalam anekdote bergurau pada saya. “Frans, tidak tahu lagi Pak Camat (waktu itu sudah dialihkan ke staf) pakai ungkapan yang mana ketika nanti menghadap orang tua calon anak mantu. Meminang atau merokok?” “Yang pasti meminang”, jawab saya.
Pada tahun 1980, seorang wanita Jerman, Maria Alakoque Renate Knapp mengadakan penelitian tentang budaya makan sirih. Dalam skripsinya ternyata budaya makan sirih pinang itu bukan hanya orang Sumba, melainkan seluruh Indonesia, bahkan di Asia Tenggara. Bagaimana dengan kebiasaan makan sirih itu sebenarnya? Ceritanya demikian. Tersebutlah dua gadis kembar di Malaka Tana Bara asal nenek moyang orang Sumba. Yang kakak mncintai seorang pemuda rupawan. Dan cintanya pun berbalas. Gayumg bersambut, kata berjawab, kata peribahasa.
Dalam perjalanannya pemuda itu mencintai juga adik pacarnya. Yang kakak kecewa. Dan sebagai protes dia pergi bertapa dan berpuasa di hutan jauh dari rumah. Tidak membawa bekal. Dia hanya duduk di atas batu putih sambil merenungi nasib. Mengapa hal itu bisa terjadi? Pada suatu hari dia tidak bisa lagi menahan rasa lapar dan haus. Di dekat batu ada onggokan buah pinang yang berjatuhan. Tidak jauh dari situ ada juga pohon sirih yang merambat. Untuk menghilangkan rasa lapar dan haus dia memakan buah pinang dan daun sirih. Sisanya dia meludah di atas batu. Ternyata ludah itu menjadi merah seperti darah. Akhirnya dia kembali ke rumah dan menceritakan hasil temuannya itu kepada keluarga dan para tetangga. Sejak saat itu orang mulai makan sirih pinang dan kapur, yakni batu yang dibakar dan dihancurkan.
Bagi orang Sumba, kini sirih pinang itu menjadi alat pergaulan yang prima. Kalau seseorang lewat di muka rumah orang Sumba Timur, maka dia disapa dengan ucapan, nduhappa, artinya kami tidak bisa ajak mampir makan sirih pinang karena kami lagi tidak punya. Di Kodi orang yang lewat akan disapa, njango hamama ooo!”, artinya, maaf tidak ada sirih pinang!
Di Sumba Timur kalau orang bertamu, atau kalau ada hajatan, maka besar kecil, pegawai tinggi, rendahan, orang asing atau bukan, semuanya disuguhi sirih pinang. Dan adat sopan santun, makan atau tidak makan harus diterima walaupun nanti diberikan kepada orang lain, dibawa pulang atau ditinggalkan pada tuan rumah. Atau untuk menghargai tuan rumah bisa juga dimakan tanpa kapur.
Betapa sirih pinang itu sudah membudaya di bumi Indonesia, khususnya di Sumba dapat kita simak pada beberapa ungkapan. Dalam bahasa Indonesia ada ungkapan, meminang, seperti pinang dibelah dua, (orang yang sama rupa), sekapur sirih (kata pengantar), lamanya sepermakan sirih, darah belum setampuk pinang, bagai sirih pulang ke gagangnya, dll.
Dalam ungkapan Sumba Timur. Kuta angu lulu, winu angu helu, artinya sesama manusia yang tidak punya perbedaan di hadapan Sang Pencipta. Halulu kuta peku, haranggu winu hoka, menandakan kelayakan. Jika tidak ada sirih pinang orang Sumba Timur akan mengungkapkannya dalam bahasa baitan, uru nda urunda, mata nda matanda. Terjemahan harafiahnya, kita punya hidung tapi tidak punya, kita punya mata tapi tidak punya.
Mungkin kita akan bertanya mengapa sirih pinang disimbolkan dengan hidung dan mata. Menurut kepercayaan orang Sumba Timur yang beragama Marapu, sirih dan pinang itu berasal dari hidung dan mata sorang dewa. Ketika 8 dewa dari langit turun ke bumi untuk menjalankan tugas , di perjalanan mereka kehabisan bekal. Akhirnya adik mereka yang bungsu mereka bunuh dan makan separuh dagingnya. Ketika 7 dewa kembali ke langit, paraingu Marapu (surga), Mawulu Tau (Sang Pencipta) menanyakan di mana adik mereka. Lalu ketujuh dewa itu menceritakan keadaan yang sebenarnya. Mawulu Tau menyuruh mereka melapor ke Umbu Walu Mandoku di tingkat kedua (Sang Pencipta di tingkat pertama). Ketika melaporkan Umbu Walu Mandoku menanyakan apakah masih ada sisa daging adik mereka. Mereka mengatakan masih ada. Dari sisa-sisa daging adik mereka Umbu Walu Mandoku menjadikan tumbuh-tumbuhan dan binatang. Dagingnya jadi padi, darah jadi jewawut, gigi jadi jagung, ruas jari jadi kacang, tangan jadi ubi kayu, kepala jadi ubi manusia dan kelapa. Sedangkan hidung jadi sirih dan mata jadi pinang.
Dalam perkawinan adat Sumba, sirih pinang menjadi sarana utama. Di Kodi, antar sirih pinang, selain hewan, sirih pinang dalam jumlah banyak juga harus dibawa. Dulu sebelum mengenal surat-suratan, apalagi kini HP, seorang pemuda Kodi yang simpati pada seorang gadis, maka gadis itu diberikan sirih pinang. Dan ini dipahami oleh gadis itu apa maksudnya. Lebih-lebih lagi suku Sabu yang namanya kenoto selain belis juga sirih pinang terkadang bisa mencapai satu karung. Selesai acara sirih pinang tadi dibagikan kepada seluruh keluarga yang hadir.
Arwah leluhur pun diberi sesajen dalam wujud sirih pinang. Dalam menyongsong tahun baru Kodi yang bersamaan dengan datangnya nyale dan pasola, maka pada waktu itu sudah menjadi acara tahunan para arwah, selain makanan, mereka disuguhi sirih pinang. Karena kampung besar (parona, di Sumba Timur, paraingu) merupakan tempat persekutuan seluruh suku Kodi maka orang Kodi berbondong-bondong ke parona untuk memberi sesajen kepada arwah leluhur yang umumnya dikuburkan di parona. Bayangkan satu parona yang memiliki ratusan arwah, puluhan kg sirih pinang ditaburkan di atas kuburan. Tapi hanya sebentar, karena sirih pinang itu bisa diambil kembali asal yang bukan keluarga kandung orang-orang yang meninggal. Dalam hal ini anakawini/anaminye (anak perempuan) yang sudah bersuami dibolehkan mengambil sirih pinang yang disajikan tadi.
Arwah leluhur pun diberi sesajen dalam wujud sirih pinang. Dalam menyongsong tahun baru Kodi yang bersamaan dengan datangnya nyale dan pasola, maka pada waktu itu sudah menjadi acara tahunan para arwah, selain makanan, mereka disuguhi sirih pinang. Karena kampung besar (parona, di Sumba Timur, paraingu) merupakan tempat persekutuan seluruh suku Kodi maka orang Kodi berbondong-bondong ke parona untuk memberi sesajen kepada arwah leluhur yang umumnya dikuburkan di parona. Bayangkan satu parona yang memiliki ratusan arwah, puluhan kg sirih pinang ditaburkan di atas kuburan. Tapi hanya sebentar, karena sirih pinang itu bisa diambil kembali asal yang bukan keluarga kandung orang-orang yang meninggal. Dalam hal ini anakawini/anaminye (anak perempuan) yang sudah bersuami dibolehkan mengambil sirih pinang yang disajikan tadi.
Karena sirih pinang sudah merupakan kebutuhan pokok setelah makanan, maka hal ini menjadi peluang bagi pebisnis untuk mencari nafkah. Bahkan ada yang bisa menghidupi keluarga dari hasil penjualan sirih pinang. Di Kodi ada seorang yang sejak SD dia berjualan sirih pinang, da kini sudah memiliki toko serba ada. ( Oleh Frans W. Hebi )