Scroll to Top
Belajar Logika dari Komentar Arif Rahman Terhadap Revolusi Mental Jokowi
Posted by maxfm on 5th Juli 2014
| 2151 views
Sumber http://www.wisegeek.org/
Sumber http://www.wisegeek.org/

MaxFM – Waingapu, Menurut beberapa kalangan , logika merupakan sesuatu yang tidak terhindarkan dalam kehidupan manusia. Saat kita berpikir dan berkomunikasi, maka logika tidak dapat dielakkan. Salah satu dukungan terhadap posisi tersebut adalah seperti ini: “Hukum logika yang disebut hukum kontradiksi mengharuskan satu kata hanya memiliki satu makna ketika digunakan (dalam komunikasi atau berpikir). Tidak peduli berapapun banyaknya makna istilah tersebut dalam kamus, tetapi saat digunakan, maka istilah tersebut harus memiliki makna tunggal, sehingga jelas apa yang dirujuk oleh istilah tersebut. Kalau tidak, maka yang ada hanya kebingungan mutlak.”

Kalau pandangan itu benar, maka seharusnya logika menjadi sesuatu yang sangat penting yang harus diperhatikan dalam kehidupan dan dunia pendidikan karena dari pengalaman saya dan juga dan pengalaman serta pengamatan orang lain, tidak peduli berapapun tingginya tingkat pendidikan seorang manusia, dia tidak selamanya memiliki pandangan yang logis. Hal yang sama tentu saja berlaku bagi penulis karena penulis adalah juga manusia.

Dengan semangat untuk belajar logika, kita akan mencoba membahas komentar salah satu pakar pendidikan di Indonesia, Arif Rahman, terkait dengan frase revolusi mental yang dikumandangkan Jokowi cs.

Salah satu berita yang dimuat oleh salah satu media berita online di Indonesia, Arif Rahman mengatakan, untuk merubah mental, diperlukan proses. Revolusi mental merupakan upaya merubah mental manusia tanpa ada proses atau tanpa memperhitungkan perlunya waktu yang cukup untuk perubahan mental. Karena itu revolusi mental adalah sebuah kemustahilan.

Kalau benar bahwa revolusi mental merupakan sesuatu yang dilakukan tanpa proses, maka kita dapat menerima yang dikatakan pak Arif Rahman. Namun demikian, apakah Jokowi Cs berpendapat bahwa revolusi mental berusaha merubah mental tanpa proses?

Dalam penjelasan tentang revolusi mental Jokowi mengatakan, “Revolusi mental itu artinya membangun manusianya dulu, membangun jiwanya. Pendidikan mulai dari SD persentasenya 70-30 persen pembangunan karakter, sikap, perilaku dan budi pekerti. Menginjak ke tingkatan SMP, 60-40 karakter juga masih ada. SMA/SMK 80-20 persen, karakter. Tanpa pembangunan manusia yang kita dahulukan, sekaya apapun sebuah negara, provinsi, ya, percuma. Kuncinya di pembangunan manusia.“

Dari penjelasan tersebut, jelas yang dimaksud dengan revolusi mental Jokowi bukanlah sebuah perubahan mental tanpa proses. Yang dimaksud Jokowi dengan revolusi mental lebih merujuk kepada fokus pada pengembangan jiwa manusia terlebih dahulu. Jokowi memberikan ringkasan tentang proses yang diambil untuk merevolusi mental. Jadi tampaknya Jokowi tidak mengabaikan masalah waktu dan proses seperti yang dikatakan Arif Rahman. Dengan demikian, yang dikritik Arif bukanlah pandangan Jokowi tetapi pandangan yang dikemukakan Arif sendiri seolah-olah merupakan pandangan Jokowi. Dalam logika, hal seperti ini dikenal dengan Sesat Pikir Strawman atau Sesat Pikir Menyerang Orang-Orangan Sawah.

Namun demikian, tentu saja orang dapat menyerang Jokowi karena kata revolusi dalam kamus mungkin kata ini merujuk pada perubahan mendasar cepat yang cenderung tidak memperhatikan proses. Kritik seperti itu bisa diterima kalau misalnya Jokowi sedang menggunakan kata revolusi dengan makna kamus. Namun Jokowi tidak menggunakan kata tersebut dengan makna kamus. Jadi Arif masih tetap tidak lepas dari sesat pikir strawman.

Bahwa orang menggunakan sebuah istilah yang memiliki makna yang berbeda dengan makna kamus atau makna lazim, bukanlah hal yang patut dikutuk, selama orang tersebut menjelaskan makna yang dia gunakan. Dalam logika terdapat sesuatu definisi atau makna yang disebut definisi atau makna stipulatif. Definisi stipulatif adalah definisi yang memperkenalkan suatu istilah baru atau makna baru dari sebuah istilah lama. Dalam kasus penggunakan kata revolusi dalam frasa revolusi mental, Jokowi menggunakan istilah lama dengan makna berbeda atau makna baru.

Kasus sesat pikir Arif di atas mendukung pernyataan yang dikemukakan di awal bahwa tidak peduli seberapapun tingginya pendidikan seseorang, ada saat-saat dimana dia salah atau melakukan sesat pikir logis. Karena itu kita perlu kritis dalam menilai pandangan yang dikemukakan orang lain termasuk yang disebut pakar. Agar kritis, maka belajar logika menjadi sangat penting.

Pelajaran lain yang perlu dipetik dari kasus ini adalah kalau kita mendengar lawan bicara menggunakan sebuah istilah, maka kita perlu menanyakan makna yang digunakannya, sehingga kita tidak menyerang pandangan sendiri yang kita anggap sebagai pandangan lawan. ( Ma Mata )

 

Print Friendly, PDF & Email
Show Buttons
Hide Buttons