Pada sesi pelatihan di sekolah tersebut penulis kemudian seperti dibuka “matanya”. Bahwa anak adalah mahluk berpikir, sama dengan kita. Bahwasanya belajarpun adalah sebuah proses, jadi apa yang kini anak belum bisa lakukan, bukan tidak mungkin akan dengan sangat baik dikuasai setelah adanya proses belajar. Jadi menurut pendapat penulis, mengkatagorikan anak-anak pada kategori-kategori tertentu adalah suatu bentuk pelabelan. Label, mungkin lebih tepat disematkan pada barang-barang, bukan pada anak.
Pelatihan guru yang penulis ikuti selama kurang lebih 4 minggu tersebut juga membuka mata penulis tentang bagaimana seharusnya kami sebagai guru mengajar.
Kami memfasilitasi anak-anak untuk mendapatkan ilmu pengetahuannya sendiri. Misalnya, melalui interaksi antara anak dengan tugas kelompoknya yang kemudian membuat anak dapat menyimpulkan mengapa suatu hal bisa terjadi. Misalnya seperti ini, saat penulis kecil kami hanya diberi tahu bahwa rumus lingkaran adalah 3,14 x jari-jari. Saat itu, penulis tak mengetahui dari mana angka 3,14 itu datang. Namun di sekolah disebut diatas, guru membuat sebuah kegiatan dimana anak diberi sebuah lingkaran. Lingkaran tersebut kemudian diukur dengan benangnya, kemudian guru mengajari dari mana angka 3,14 ini datang.
Proses ini membuat anak akan berpikir, bahwa suatu peristiwa tidak serta-merta timbul dengan sendirinya, pasti ada rasionalnya. Proses berpikir mencari rasional inilah yang kemudian akan tertanam di benak anak. Guru masa kini yang sudah melewati proses pelatihan PPG (Program Pelatihan Guru) menyebutnya dengan HOTS (Higher Order of Thinking Skill).
Waktu di SD, pelajaran MTK tidak saya sukai,dan saya lemah dupelajaran itu, sehingga nilai raport utk matematika paling tinggi 65. Banyak guru, orang tua beranggapan anak yang kurang pintar di Matematika itu bodoh, walaupun saya sebenarnya anak yang pintar dibidang Seni dan olahraga,jujur saya tertekan dan suka cemas ketika ada Jadual pelajaran Matematika. Semoga merdeka belajar dapat mengubah paradigma berpikir para Pendidik dan orang tua bahwa anak memiliki kemampuan yang berbeda-beda sehingga berada pada finish yang tepat sesuai kemampuan nya, tidak ada lagi cap siswa pintar,siswa bodoh hanya ditunjuk dengan Angka (perangkingan)
Amin.
Terima kasih ibu Nora.
Semoga dengan merdeka belajar anak-anak menjadi kian gemar belajar ya bu
Kalau menurut Pak Nadiem, ini disebut Merdeka Belajar. Tana Tidung di Kaltara berusaha melakukannya salah satunya melalui Ujian Sekolah. Sekolah diberi kewenangan menentukan bentuk asesmen. Alhasil, di sekolah dasar mayoritas menggunakan penilaian berbasis proyek.
Proyek di Tana Tidung harapannya melatih kemampuan bernalar anak dalam memecahkan masalah sehari-hari dengan memanfaatkan pengetahuan yang telah dipelajari. Proyek juga membantu anak mempelajari pengetahuan baru.
Menariknya, ada yang proyeknya dikerjakan bersama oleh siswa dan orang tua. Keduanya pun presentasi di kelas.
Alhamdulillah,
Saya amat senang membaca bahwa Tana Tidung dapat menjadi pelopor dalam assessment berbentuk proyek pak Musakkir.
Kalo di bukunya Jay McTighe Understanding by Design kalo ga salah jenis tes seperti ini namanya performance task. Salah tes tingkat tinggi karena mengharuskan anak berpikir dan mengaplikasikan apa yang sudah dipelajari secara riil
Sukses terus untuk Tana Tidung