Scroll to Top
Membuka Kembali Sekolah Dasar, Siapkah?
Posted by maxfm on 13th Januari 2021
| 2335 views
Evi Silvian Rospita – Pegiat Pendidikan [Foto: Istimewa]

MaxFM, Waingapu – Semester II tahun akademik 2020/2021 akan segera dimulai 4 Januari 2021 ini. Pekan depan, setelah menjalani proses Pembelajaran Jarak Jauh selama 1 semester sekolah-sekolah yang berada di wilayah zona hijau dan kuning akan dibuka kembali secara bertahap. Siapkah kita?

Selain meminta izin Kepala Daerah, memiliki jadwal Shift dimana siswa dijadwalkan untuk masuk sekolah secara bergantian, Satuan Pendidikan (sekolah) juga diminta mempersiapkan kelengkapan yang diharuskan oleh daftar periksa untuk memastikan siswa aman. Namun demikian apakah itu saja cukup?



Ketika harus melakukan PJJ, hampir semua guru terkaget-kaget dan belum siap menghadapi PJJ. Hal ini terjadi di seluruh dunia dan bukan hanya di negara kita. Ketidaksiapan guru utamanya dalam menyiapkan bahan ajar yang sesuai untuk digunakan oleh siswa di rumah dengan supervisi minimum dari pendamping belajar di rumah.

Resiko terjadinya Learning Loss (Kehilangan belajar) pada siswa sangat besar terjadi mengingat bahan ajar untuk PJJ belum sepenuhnya terdisain dengan baik, meski kemudian ini ditanggapi dengan sigap oleh kemendikbud dengan dikeluarkannya Modul Literasi dan Numerasi.

Ketika siswa Belajar Tatap Muka (BTM) di sekolah, guru akan dapat mengidentifikasi siswa-siswa mana saja yang belum memahami konsep/keterampilan baru yang diajarkan, namun tidak demikian halnya dengan PJJ. Siswa yang berada di daerah tuna-sinyal (meminjam istilah atasan kami) tidak mendapatkan akses untuk bisa mengunduh materi-materi ajar, pun guru kesulitan menjangkau mereka untuk memberikan bimbingan langsung ketika guru mendatangi siswa saat melakukan kunjungan ke rumah. Sebagai akibatnya bisa diperkirakan bahwa penyerapan belajar siswa mungkin akan tidak maksimal.




Lalu, saat sekolah dibuka nanti apakah cukup hanya melengkapi daftar periksa untuk memastikan kondisis siswa aman? Bagaimana dengan kesiapan guru terkait menyiapkan bahan ajar? Tentu tidak.

Semester II, Bahan Ajar Baru?

Selama siswa Belajar Dari Rumah, mereka belajar dengan supervisi minimum dari guru dan kadang juga dari orang tua. Banyak dari siswa di daerah pedalaman di Kalimantan Utara tempat pebertugas kini harus pergi ke ladang dan meninggalkan siswa sendiri. Pada daerah Tuna-sinyal (meminjam istilah atasan saya), guru biasanya datang untuk mengantarkan tugas atau mendampingi anak mengajarkan konsep atau keterampilan baru, namun jumlah jam pertemuannya terbatas karena guru masih harus berkunjung ke rumah siswa yang lain.



Dengan tantangan seperti yang dihadapi tersebut, tentulah memberikan dampak pada hasil belajar siswa. Issue Learning Loss atau kemunduran dalam belajar nampaknya seperti sudah mulai terlihat, khususnya di daerah-daerah sulit sinyal, dan daerah yang wilayahnya sulit dijangkau oleh guru.

Jika kita tidak mengidentifikasi kemampuan terkini siswa, dan langsung mengajarkan Kompetensi dasar untuk Semester II pada siswa, maka bukan tidak mungkin siswa akan mengalami kesulitan sehingga pembelajaran menjadi tidak efektif. Ilustrasinya seperti ini:

Seorang guru kelas III masuk kelas di minggu pertama pembelajaran tatap muka, guru langsung mengajarkan Kompetensi dasar 3.3 Menguraikan pesan dalam dongeng yang disajikan secara lisan, tulis, dan visual dengan tujuan untuk kesenangan. Guru menganggap bahwa KD ini seharusnya sudah tepat diberikan di semester ke-2. Padahal ketika proses BDR berlangsung proses pembelajaran KD sebelumnya belum maksimal sehingga siswa belum pada tahapan menguraikan pesan yang terkandung dalam teks, sehingga akhirnya siswa merasa kesulitan. Hal ini dapat mengakibatkan siswa menjadi stress dan apapun yang kita akan ajarkan pada siswa dalam kondisi seperti ini akan tidak maksimal diserap.




Sangat penting guru dapat mengajar sesuai dengan kesiapan siswa. Dalam bukunya Building Background Knowledge, Robert J. Marzano mengatakan bahwa salah satu hal penting yang membuat siswa dapat memahami konten baru yang dipelajari adalah apa yang sudah terlebih dahulu siswa ketahui/bisa sebelumnya. Demikian juga seperti diungkapkan oleh Vigotsky dengan teorinya Zone of proximal development dimana dikatakan bahwa pembelajar akan belajar dengan baik dengan bimbingan apabila pembelajar telah ada di zona “Apa yang Diketahui” sebelumnya.

Oleh karenanya menjadi hal yang sangat penting bagi guru untuk mengetahui kesiapan siswanya di awal semester II nanti. Karena jika guru tidak mengetahui kesiapan siswa setelah mereka belajar di rumah selama 1 semester kemudian langsung memberikan materi ajar untuk semester II, maka akan ada resiko bahwa pembelajaran menjadi tidak efektif.

Bisa jadi materi ajar yang diberikan pada siswa akan terlalu sulit sehingga akibatnya siswa akan merasa frustasi karena tidak bisa mengerjakan tugas. Caine and Caine dalam 12 Brain/Mind Learning Principle in Action mengatakan bahwa ketika tantangan sebuah tugas terlalu sulit untuk dikerjakan siswa, maka mereka akan berada dalam kondisi di bawah tekanan (Threat), dan ketika ini terjadi maka siswa akan sulit menerima hal baru yang diajarkan. Maka dari itu, tantangan yang diberikan oleh sebuah tugas haruslah didisain agar sesuai dengan kesiapan siswa lalu kemudian secara bertahap ditambah tingkat kesulitannya.




Dari hasil survey sederhana yang dilakukan oleh penulis kepada rekan-rekan guru tingkat Sekolah Dasar di wilayah DKI Jakarta, Papua, Papua Barat, Jambi, dan Jawa tengah diketahui bahwa 52.4% dari 21 responden menginformasikan bahwa terjadi kemunduran dalam belajar siswanya. Memang data ini belum sepenuhnya dikatakan valid karena sampelnya yang terlalu kecil, namun demikian mungkin kita dapat memiliki sedikit gambaran mengenai kondisi kesiapan guru dalam menghadapi tahun ajaran baru nanti.

Dengan demikian, melakukan pemetaan kemampuan awal siswa dengan melakukan Tes Diagnostik (Pre-Assessment) dan menyesuaikan materi ajar denggan menggunakan strategi Pembelajaran Yang Dibedakan (Differentiated Instruction) menjadi hal yang mutlak diperlukan di awal pembelajaran semester II nanti.



Dari survey sederhana yang sama diketahui bahwa 66.7% guru sudah melakukan kegiatan tes diagnostik (Pre-Assessment) sebelum mereka mengajar di awal tahun ajaran. Namun ketika pertanyaan meminta responden untuk menuliskan apa yang akan disiapkan di semester II mendatang, hanya 1 responden yang menyatakan bahwa akan meninjau kembali penguasaan siswa dari segi konsep dan pengetahuan mereka utnuk mengetahui sejauh mana siswa siap belajar.

Mungkin perlu ditelusuri lebih mendalam apakah guru sudah melakukan tes tes diagnostik (Pre-Assessment) sebelum mereka mengajar sehingga pengajaran yang dilakukan di semester II ini akan bisa lebih mendukung siswa dalam belajar.

Seperti membaca ini, Kemendikbud dalam hal ini PUSMENJAR (Pusat Asesmen dan pengembangan Bahan Ajar) juga sudah menyiapkan perangkat tes diagnostik yang dapat langsung digunakan guru apabila dirasa terlalu sulit untuk mengembangkannya sendiri.

Selain itu, dukungan dari Dinas Pendidikan di tiap daerah juga sangat diperlukan untuk memastikan bahwa guru dapat melakukan pemetaan kesiapan siswanya sebelum mengajar, sehingga guru dapat mengidentifikasi siswa mana saja yang mengalami kemunduran belajar dan lekas memberikan pelayanan untuk membantunya. Hal ini tentunya akan akan sangat baik bagi siswa.

Karena, jika tes diagnostik (Pre-Assesment) tidak dilakukan maka dampak ke depan bagi siswa adalah tidak terdeteksinya kemunduran dalam belajar saat masa pandemi ini. Hal ini akan merugikan siswa, dan pada akhirnya jika ini terjadi dalam lingkup yang besar akan membawa dampak tidak baik bagi Pendidikan di negara kita. Misalnya, siswa kelas II Sekolah Dasar yang kemampuan membaca lancarnya menurun karena kurangnya dukungan kemudian menjadi tidak paham dengan apa yang dibaca sehingga ketika ia nanti duduk di kelas atas (4-6) akan mengalami kesulitan karena semua mata pelajaran menuntut anak untuk memahami bacaan. Hal ini akan dapat berlanjut ke jenjang Pendidikan menengah.



Namun demikian, masih ada hal yang bisa kita upayakan untuk memperkecil resiko ini terjadi. Melakukan tes diagnostik (Pre-Assessment) akan sangat menolong guru untuk mengetahui kesiapan siswa untuk kemudian dapat memberikan pertolongan bagi siswa yang benar-benar membutuhkan.
[Oleh: Evi Silvian Rospita – Pegiat Pendidikan]

Bibliograpgy:
1. Building Background Knowledge For Academic Achievement: Research on What Works in School; Robert J. Marzano; 2004
2. 12 Brain/Mind Learning Principle in Action: Developing Executive Functions of the Human Brain; Renata Numela Caine; 2008
3. https://pusmenjar.kemdikbud.go.id/wp-content/uploads/puspendik-public/FINAL%20Buku%20saku%20Asesmen%20Kognitif%20Berkala.pdf
4. https://www.ukfiet.org/2020/the-covid-19-induced-learning-loss-what-is-it-and-how-it-can-be-mitigated/

Show Buttons
Hide Buttons